Pages

Saturday, May 6, 2023

IKIGAI, Hidup Menjadi Lebih Bermakna

 Awalnya cuma pingin pamer aku lagi membaca buku apa di group SMA. Kupikir kalau ada juga yang sedang membaca kami bisa mendikusikan bersama isi bukunya, mengingat judulnya sangat menarik. Buku yang aku baca adalah IKIGAI, Rahasia Hidup Bahagia dan panjang umur orang Jepang. Ternyata tanggapannya justru minta aku menceritakan isinya. Bahkan ada yang japri minta ringkasan isi bukunya apa... hhmmm.

Aku jadi ingat semasa SMA ( 45 tahun lalu), guru bahasa Indonesiaku Pak Roeslan (almarhum), sering memberikan tugas membuat sinopsis sebuah buku yang kita pilih sendiri judulnya. Tugas triwulan ini membuat kami selalu membaca buku dan mengerjakan tugas yang cukup berat. Kami tidak sekedar bercerita ringkasan isi buku, tapi juga mencari peribahasa atau jenis-jenis kalimat yang ada di dalam buku tersebut. Misalnya kalimat personifikasi (maaf hanya ini yang aku ingat). Kalimat personifikasi adalah kalimat yang menggambarkan suatu benda atau situasi seperti manusia. Misalnya Nyiur melambai, ombak menggulung dll. Dan masih banyak jenis kalimat yang harus kami cari dalam buku tersebut. Untuk itu kami harus membaca bukunya minimal 3 kali untuk bisa menemukan kalimat-kalimat tersebut.

Yang lebih berat lagi membuat ringkasan isi buku. Kalau itu sebuah novel maka kami harus bisa menceritakan kembali dengan bahasa sendiri dan hasilnya bisa berlembar-lembar.

Permintaan beberapa teman untuk menceritakan isi buku IKIGAI mengingatkanku pada tugas ini. Bedanya hanya menceritakan isi buku saja. Tidak menganalisa perkalimat. Ada semacam rasa nostalgia akan tugas menulis sinopsis yang membuat aku membaca buku IKIGAI untuk kedua kali. Memang tidak mudah merangkaikannya menjadi kisah singkat, karena tiap bab berisi materi yang penuh inspirasi. Bagi yang penasaran memang lebih baik membaca sendiri.

Menulis ringkasan buku IKIGAI ini bukan semata-mata memenuhi permintaan beberapa teman, melainkan tantangan buat diriku sendiri untuk lebih memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupanku sendiri. Karenanya, bagi yang sudah membaca dan tidak sepaham dengan apa yang aku tulis nantinya, tidak mengapa. Karena buku ini bisa menginspirasi siapa saja yang membacanya, dan masing-masing pembaca akan menyerap nilainya dengan cara masing-masing.

Bagi yang hanya ingin tahu ringkasan isi bukunya, semoga apa yang aku tulis cukup bisa memberi gambaran isi buku.


Tentang pengarang


Ditulis oleh Hector Garcia dan Francesc Miralles. Tebal 211 halaman. Hector kelahiran 1981 dan Francesc 1968. Hector tinggal di Tokyo sejak 2004 dan Francesc di Barcelona. Hector dan Francesc sama-sama penulis dan keduanya memiliki ketertarikan dalam buku masing-masing. Keduanya sepakat bertemu untuk berkenalan di Tokyo. Hubungan ini berlanjut dengan diskusi tentang psikologi modern untuk mencari jawaban berbagai pertanyaan tentang,

Apa sebenarnya arti hidup saya ini?

Apakah hanya untuk hidup lebih lama, atau haruskah saya mencari tujuan hidup yang lebih tinggi?

Mengapa beberapa orang terlihat sangat tahu apa yang mereka inginkan dan memiliki hasrat akan kehidupan, sementara sebagian yang lain merana dalam kebingungan?

Dalam diskusi mereka kata misterius IKIGAI pun muncul yang artinya Kehidupan yang berharga/bermakna. Peta buku IKIGAI di bawah ini bisa menggambarkan apa saja yang akan dibahas dalam buku ini



Hector dan Francesc memutuskan untuk tinggal selama satu tahun di desa Ogimi, Pulau Okinawa Jepang dengan berbekal kamera dan alat perekam untuk terlibat langsung dengan penduduk. Desa Ogimi dijuluki juga sebagai Village of Longevity (Desa Umur Panjang). 

Apakah IKIGAI merupakan alasan lebih banyak centenarian (orang berusia lebih dari 100 tahun)? 

Pendapat para centenarian 

Dan Buettner adalah reporter National Geographic yang mengenal negara Jepang dengan baik. Dalam bukunya The Blue Zones (Zona Biru). Ada lima Zona Biru di dunia ini dimana tinggal banyak orang yang berusia panjang (data yang sudah terverifikasi).

1. Okinawa Jepang. Terutama di daerah utara, desa Ogimi. Penduduknya banyak makan tahu dan sayuran dalam porsi kecil. Filosofi IKIGAI dan MOAI (teman dekat) berperan penting dalam umur panjang mereka.

2. Sardinia, Italia. Khususnya provinsi Nuoro dan Ogliastra. Mereka banyak mengkonsumsi sayuran dan satu atau dua gelas wine perhari. Sifat kohesif dari komunitas berhubungan langsung dengan umur panjang penduduk ini.

3. Loma Linda, California. Peneliti mempelajadi sebuah kelompok bernama Advent Hari Ketujuh yang berisi orang dengan usia terpanjang di Amerika Serikat.

4. Semenanjung Nicoya, Costa Rica. Penduduk disini masih aktif bekerja walaupun usianya di atas 90 th.

5. Ikaria, Yunani. Satu dari setiap tiga penduduk di pulau ini berusia di atas 90 th. sehingga dijuluki The Island of Long Life.

Lalu, apa pendapat mereka yang berumur panjang?

Misao Okawa (117 tahun). "Makan dan tidurlah, maka Anda akan hidup lama. Anda harus belajar rileks". Misao meninggal di tempat fasilitas perawatan di Osaka Jepang dalam usia 117 th 27 hari. Beliau suka makan sushi. Ketika ditanya rahasia umur panjang, Misao menjawab dengan tersenyum "saya juga bertanya hal yang sama pada diri saya sendiri".

Maria Capovilla (116 th). "saya tidak pernah makan daging seumur hidup". Maria lahir di Ekuador tahun 1889. Meninggal tahun 2006 karena infeksi paru-paru di usia 116 th. 347 hari. Pernah tercatat sebagai manusia tertua di dunia oleh Guinness Book of Records. Dalam wawancara terakhir diusia 107, Maria mengatakan, " saya bahagia dan bersyukur kepada Tuhan, yang membuat saya terus hidup. Saya tidak pernah berpikir akan hidup lama. Saya pikir saya sudah akan mati jauh-jauh hari..."

Jeanne Calment (122 th). "semuanya baik-baik saja" kata Jeanne yang lahir di Prancis 1875. Meninggal tahun 1997 karena faktor alami dalam keadaan bahagia dan tidak ada cacat kegagalan.  di Usia 100 th masih bersepeda dan di usia 110 th setuju untuk masuk panti jompo karena tidak sengaja menyalakan api kecil di apartemennya. Jeanne berhenti merokok di usia 120 th karena katarak dimatanya membuat dia kesulitan melihat rokok sampai ke bibirnya. Ketika ditanya rahasia umur panjang dalam wawancara pada usia 120 th, Jeanne mengatakan "Penglihatan saya buruk, pendengaran saya buruk, dan saya merasa buruk, tetapi semuanya baik-baik saja".

Walter Breuning (114 th). "Jika pikiran dan tubuh Anda sibuk, Anda akan lama ada disini". Walter lahir di Minnesota, Amerika Serikat 1896 dan meninggal di Montana 2011 karena faktor alami. Walter bekerja di perusahaan kereta api selama 50 th. Tetap beraktivitas dan berolah raga. Dalam wawancara dengan Associated Press th 2010 beliau mengatakan "Kita semua akan mati. Beberapa orang takut mati. Jangan takut mati, karena Anda terlahir untuk mati". Sebelum meninggal Walter mengatakan kepada seorang pastor bahwa dia sudah membuat kesepakatan dengan Tuhan: Jika dia tidak lagi menjadi lebih baik, itulah saatnya untuk pergi.

Alexander Imich (111 th). "saya hanya belum meninggal". Lahir di Polandia tahun 1093 dan meninggal tahun 2014. Beliau seorang ahli kimia dan parapsikolog yang tinggal di Amerika. Imich tidak pernah minum alkohol dan saat masuk dalam daftar manusia tertua di dunia, dia hanya mengatakan "saya tidak pernah berpikir saya akan menjadi begitu tua".

Dari komentar para centenarian di atas, nampaknya mereka tidak bermaksud atau bercita-cita untuk hidup lebih dari 100 th. Mereka hanya menjalani hidup ini dengan tetap beraktivitas dan menjalani hidup dengan penuh syukur.

Dalam buku ini banyak teori-teori psikologi yang disajikan berkaitan dengan filosofi IKIGAI. Saya tidak akan menceritakannya detail. Akan lebih baik kalau membaca bukunya sendiri. Saya tertarik untuk menceritakan kehidupan di desa Ogimi, Okinawa, Jepang, dimana penulis tinggal satu tahun untuk melihat kehidupan di desa tersebut hingga akhirnya menyimpulkan beberapa kegiatan di desa tersebut sehingga penduduknya banyak yang berumur panjang.

OGIMI

Untuk sampai ke Ogimi, harus terbang selama 3 jam dari Tokyo ke Naha, ibukota Okinawa. Dari Naha menempuh perjalanan darat selama 2 jam untuk tiba di Ogimi. Dalam perjalanan terhampar pantai yang kosong di sebelah kiri dan pegunungan Yanbaru di sebelah kanan. Desa Ogimi tidak ada pusatnya. Ketika memasukinya ada sekelompok rumah kecil di kanan kiri jalan.

Desa Ogini di Pulau Okinawa

Desa Ogimi seluas 62 km2 dengan penduduk hanya sekitar 3000 orang, 15 diantaranya berusia lebih dari 100 th. Mereka mengalami masa-masa sulit dan penderitaan karena dalam Perang Dunia II, lebih dari 200.000 orang penduduk menjadi korban di Okinawa. Penderitaan yang dilalui bersama justru membuat mereka kuat dan bertahan bersama-sama.

Didukung alam sekitar yang indah dan udara berkisar 16 - 24 derajat membuat mereka hidup dalam suasana yang tenang. 100 persen penduduknya memiliki kebun. Bertanam sayuran yang menjadi santapan mereka sehari-hari. Ogimi menghasilkan buah shikuwasa (jeruk yang mengandung antioxidan) dan penduduknya masih bekerja selama mereka mampu. Mereka setiap sore selalu bertemu untuk menari dan karaoke. Tertawa bersama teman-teman.

Tentang Ogimi bisa dilihat di internet untuk melihat gambaran kehidupan mereka. Salah satu yang menarik adalah mereka hanya makan 80%. Mereka menyajikan makanan dalam porsi sangat kecil tapi beraneka. Rasanya sudah makan banyak, tapi sebetulnya sedikit. 

Tatanan makanan yang nampak banyak padahal
mangkoknya kecil-kecil 

Di halaman 130-131 dalam buku ini, penulis menyampaikan Rahasia Gaya Hidup Ogimi.

- Seratus persen warga yang kami wawancarai memiliki kebun sayur. Sebagian besar juga memiliki lahan teh, mangga, shikuwasa dll. Semua menjadi anggota beberapa asosiasi lingkunagan. Di sana mereka merasa diperhatikan layaknya keluarga.

Mereka merayakan berbagai hal sepanjang waktu, termasuk hal-hal kecil. Musik, lagu dan tarian adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Mereka memilih satu atau beberapa tujuan penting dalam hidup. Mereka memiliki IKIGAI tapi juga tidak menganggapnya terlalu serius. Mereka santai dan menikmati semua yang mereka lakukan. Mereka sangat bangga dengan tradisi dan budaya lokal mereka. Mereka sangat menyukai segala hal yang mereka lakukan, betapa pun tidak pentingnya itu.

Penduduk setempat memiliki yuimaaru yang kuat (rasa mengenali hubungan antar manusia). Mereka saling membantu dengan segala hal mulai dari bekerja di ladang (memanen tebu atau menanam padi) hingga membangun rumah atau proyek kota. 

Miyagi, teman makan malam bersama kami di malam terakhir kami di kota, mengatakan kepada kami bahwa dia sedang membangun rumah baru dengan bantuan semua temannya, dan kami bisa tinggal disana jika kami berkunjung ke Ogimi lagi.

Mereka selalu sibuk, tetapi mereka menyibukkan diri dengan tugas yang memungkinkan mereka untuk rileks. Kami tidak pernah melihat satu kakek pun duduk dibangku dan tidak melakukan apa-apa. Mereka selalu bergerak datang dan pergi - untuk berkaraoke, berkunjung ke tetangga, atau memainkan gateball.

Berkumpul, tertawa, bergembira dan bahagia

Beraktivitas dengan santai

Nah, menurut pendapat saya setelah membaca buku ini, tujuan hidup kita sebetulnya bukan untuk berumur panjang. Sejak kita lahir, kita menjalani kehidupan yang berujung kematian. Entah pendek atau panjang, manusia menuju kesana tanpa kecuali. Yang utama justru bagaimana kita menjalani hidup dalam perjalanan ini. Mensyukuri setiap berkah yang diterima setiap hari, mencintai kehidupan dengan hidup sehat dan secukupnya. Bergembira, berteman, menari, tertawa, bernyanyi dan juga berbuat baik kepada semua orang dan juga pada diri sendiri.

Jadi masing-masing orang memiliki Ikigai dalam dirinya. Temukanlah Ikigai Anda, yang mana membuat Anda bersemangat setiap bangun pagi. Melakukan berbagai hal yang disukai dan membawa kebahagiaan dalam diri Anda. Umur kita, hanya Tuhan yang menentukan. Kita hanya bisa mengisi dan menjalani hidup ini sampai saatnya tiba untuk pulang ke rumah abadi.

Selamat merenung dan mencari Ikigai diri sendiri.

Salam sehat sejahtera!!



Sunday, August 14, 2022

Berhenti

 Bersepeda ke arah utara selalu menjadi pilihan selama ini karena relatif lebih aman. Terutama buat aku yang belum mahir banget bersepeda. Tiap kali berhenti sebentar di perempatan selalu berasa mau jatuh. Berkali-kali diajari suami supaya aman kalau berhenti, tapi nggak bisa mahir juga. Karenanya kalau ada pertigaan atau perempatan kecil aku lebih suka pelan-pelan mengayuh sambil melihat situasi aman atau tidak.

Karena mulai bosan dengan rute yang itu-itu juga selama hampir 6 bulan akhirnya aku diajak untuk mencoba rute ke selatan. Tapi itu berarti harus melewati traffic light Bendo Gantungan yang cukup lebar. Perempatan tersebut merupakan jalur utama Jogya-Solo. Bisa dibayangkan kendaraan yang melewatinya padat, termasuk kendaraan besar seperti truk, bis bahkan truk container. Menyeramkan. Masak nggak dicoba?? kan ada traffic light. Jadi pastilah aman kalau mengikuti aturan lalu lintas.

Tapi... tahu sendiri aku tuh belum bisa berhenti dengan mulus tiap kali bersepeda. Walaupun berangkat pagi hari, sebelum jam 5, tapi lalu lintas diperempatan sudah ramai. Pagi itu, aku sudah bersiap dan berdoa supaya pas lewat perempatan lampu hijau, jadi nggak perlu berhenti. Sayangnya begitu aku keluar kompleks (tempat tinggalku dekat dengan traffic light Bendo Gantungan), aku melihat lampu mulai hijau. Maka ngebutlah aku supaya bisa mengejar lampu hijau. Sayangnya begitu hampir sampai, aku melihat lampu mulai kuning mau berubah menjadi merah. Ada satu sepeda motor yang nekat terus. Dan aku mengikutinya supaya tidak perlu berhenti. Pikirku, cukuplah waktunya kan masih kuning... tapiiii... namanya juga sepeda, lebih lambat kan dari sepeda motor. Di tengah perempatan, jalur sebelah kanan mulai hijau dan ada mobil membunyikan klakson beberapa kali melihatku melintas di tengah jalan.

Traffic light Bendo Gantungan Klaten di jalur
Jogya-Solo yang tidak pernah sepi

Aku mempercepat kayuhan dan selamat sampai seberang. Aku membayangkan suamiku yang tertinggal di lampu merah pasti "tratapan". Akhirnya suamiku berhasil menyusulku. Dia diam saja, tidak menegur atau memarahi. Tapi aku sudah merasa malu dengan tindakanku yang "ngawur" dan membahayakan tadi. Walaupun tidak marah atau menegur tapi kemudian di setiap perempatan dia selalu mendahului untuk memberi aba-aba dengan tangannya berhenti atau terus. 

Kenapa sih susah berhenti??

Entah kenapa aku merasa tiap kali berhenti keseimbanganku kurang bagus. Selalu oleng. Bahkan sampai sekarang aku belum bisa lepas tangan, walaupun hanya satu tangan. Kalau dijalan pingin tengok kanan-kiri selalu jadi miring ke kiri atau ke kanan jalannya. Tiap kali mau mulai jalan, posisiku harus sudah ada di atas sadel. Kalau mengayuh sambil berdiri kemudian baru duduk di sadel, aku belum bisa lancar. Selalu meliuk-liuk kekiri-kanan. Aaahh... aku kalah trampil dengan cucuku. Karena dia bisa lompat dari sepeda sambil sepeda masih jalan. Dan dia bangga sekali memamerkan keahliannya ke aku.

Puji Tuhan bisa sampai desa Gantiwarno, di hantar 
bulan yang mulai menjauh dan samar-samar

Dulu ketika anak-anak masih balita dan kami berlibur di Pangandaran, kami menyewa sepeda untuk mencari warung untuk makan siang. Karena anak-anak masih kecil, mereka tandem dengan bapaknya, dan aku bersepeda sendiri. Kalau sepeda sudah berjalan aku bisa mengendalikannya dengan baik. Tapi ya hanya jalan lurus ke depan. Jalan ngelonyor sendiri nggak melihat kanan kiri, tiba-tiba suami dan anak-anak sudah ada disampingku. Mereka tertawa semua.

"mamaaaa.... warung makannya sudah kelewatan.... hahahaha" haduuuh... konyol sekali,  kenapa susah berhenti ya.

Aku jadi ingat saat dulu ketika didampingi bapak dan aku yang pegang stir mobil. Tiap kali di jalan ramai dimana ada becak dan sepeda berseliweran, bapak selalu bilang,

"kalau dijalan ngadepin becak atau sepeda kamu harus ngalah!"

"kenapa??"

"karena kamu kalau berhenti tinggal injak rem, mau jalan tinggal injak gas. Mereka kalau berhenti dan memulai jalan lagi pakai tenaga, dan itu berat".

Benar juga. Berhenti. Stop dulu. Diam dulu. Tidak akan sama bagi setiap orang.

Ketika seluruh dunia harus stop dulu, diam dulu, berhenti dulu karena pandemi covid, tiap orang akan menanggapinya dengan berbeda. Ada yang santai, ada yang berat, ada yang sudah tidak tahan lalu nekat keluar rumah (kayak aku nekat melewati traffic light). Berhenti dan memulai lagi dari awal selalu berat. Bagi perusahaan yang terhenti karena pandemi harus berjuang lebih keras untuk memulainya lagi.

Berhenti sebentar memang perlu untuk mengikuti aturan. Berhenti untuk beristirahat ketika badan sudah terlalu lelah. Berhenti sebentar dari rutinitas untuk mendapatkan angin segar atau inspirasi baru. Berhenti, berhentilah juga sebentar untuk mendengarkan, untuk melihat hal-hal baru, untuk mencium udara segar, untuk menyentuh dan menikmati air, udara, tanah basah habis hujan dengan kaki telanjang.

Boleh berhenti berdoa nggak?? pertanyaan muncul tiba-tiba. Hhmmm..... gimana yaa??

Menurutku, berdoa itu hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Tidak bisa kita menghakimi seseorang berdoa atau tidak hanya dilihat dari kehidupan sehari-hari beragama. Ketika berucap terimakasih kepada Sang Pencipta menurutku adalah doa. Berhenti atau tidak terserah masing-masing. Karena hanya masing-masing orang yang bisa merasakan relasi indah bersamaNya saat merasakan berkatNya, perlindunganNya, pendampinganNya dan penyertaanNya sepanjang hidup kita.

Dan menurutku juga, dalam berdoa, aku berhenti sebentar dalam menyampaikan permohonan khusus kepadaNya. Berhenti untuk,

Menguji kepercayaan dan kesabaran, bahwa Tuhan akan mengabulkan permohonan kita di saat dan waktu yang tepat.

Menguji kepasrahan, bahwa permohonan kita bisa dikabulkan juga bisa tidak, apabila tidak sesuai dengan kehendakNya.

Menguji keyakinan, bahwa hanya Tuhan yang bisa menyelesaikan semua persoalan manusia yang sudah tidak mungkin kita selesaikan. We do the best, God do the rest.



Wednesday, August 3, 2022

Aku Kayaaa...

 Setiap pagi mengantar Mosha sekolah, setelah parkir kami harus berjalan masuk ke gang menuju sekolahnya. Setiap kali masuk gang, mata Mosha selalu melirik ke kiri ke penjual mainan yang sudah menggelar aneka mainan di jalan. Lirikannya terhenti karena kami tiba di depan gerbang sekolah. Setelah menyapa selamat pagi ke bu guru, dia mengulurkan tangan ke mesin pendeteksi suhu tubuh dan hand sanitizer kemudian berjalan masuk ke kelas. Dan aku meninggalkannya untuk 3.5 jam bersekolah TK B.

Pulang sekolah yang menjemput mbak Rina karena dia lebih suka dijemput naik motor. Katanya bisa melihat ular mati, tikus mati di jalan (?). Aneh juga ketertarikannya. 

Jam 11.15 Mosha sudah tiba di rumah. Setelah makan siang dia akan mengeluarkan berbagai mainan kesukaannya sambil menunggu teman-temannya datang di sore hari untuk bermain bersama. Karena jam menunggunya cukup lama, maka orangtuanya membelikan berbagai mainan yang mengembangkan kreativitasnya seperti magnet, marble, berbagai media untuk menggambar, playdough yang harganya cukup mahal bagi kami. Kami biasa memberikan hadiah yang sungguh bermanfaat sebagai hadiah di hari besar, seperti ulangtahun dan natal. Karenanya mahal sedikit tidak mengapa supaya bisa awet dan bisa dimainkan lebih dari 1 tahun. 

Bosan? tentu saja. Kadang dia dengan polosnya bertanya,

"kita mainan apa lagi mimo? aku tidak tahu lagi.." lalu aku ikutan bingung mau mainan apa lagi. Sebetulnya bisa mainan apa saja, tapi nampaknya dia sudah tidak berminat. Ujung-ujungnya menggambar, membuat sesuatu dari kertas origami, atau membuat pudding kesukaan dia dengan cetakan macam-macam bentuk.

Suatu hari, Mosha pulang sekolah dengan wajah super ceria. Dengan ceriwis dia bilang kalau tadi dibelikan mainan mbak Rina. Sebuah kitiran plastik yang kalau di tarik ke atas bisa melayang-layang. Aku kaget karena mbak Rina yang membelikan.

"berapa harganya, mbak?"

"cuma 2000 rupiah kok bu, nggak papa saya belikan aja. Nggak papa to bu".

"nggak papa mbak, Mosha seneng sekali tuh" kami berdua memperhatikan Mosha memainkannya dengan gembira. Berteriak ceria kalau kitiran plastiknya bisa melayang lama di udara. Lari kesana kemari menangkapnya dan menerbangkanya lagi. Yang mengagetkan kata-kata yang keluar diantara teriakan ceria bahagianya.

Mainan peer seperti ini 3.500 rupiah

Kitiran plastik seperti ini 2.000 rupiah

"Aku kayaaaa... mimo!!" aku terpana. Kaya? hanya dengan mainan 2000 rupiah dia merasa begitu kaya dan sungguh membuatnya bahagia. Betapa mudah dan murah perasaan kaya dan bahagia yang dia rasakan.

Memang benar kata orang Jawa tentang pepatah "kebo nyusu gudel". Anak-anak bisa mengajarkan banyak hal pada orang yang lebih tua. Bahagia dan perasaan kaya bukan dilihat dari nilai uang yang banyak dan berlimpah. Dengan 2000 rupiah Mosha sudah begitu bahagia dan merasa kaya. Dia sangat menyukai mainannya, sehingga ketika dia pamerkan ke bapaknya kemudian kitiran tersangkut di eternit, dia ngotot saat itu juga harus diambil. Mainan itu menjadi sangat berharga baginya.

Anak-anak tidak mengerti barang-barang branded, nilai uang, mahal itu yang seperti apa. Yang mengetahui hal semacam itu hanya orangtuanya yang kemudian mengajarkan pada anaknya. Padahal anak-anak punya kemurnian hati untuk merasakan bahagia secara tulus dan apa adanya. Kadang aku juga mendengar obrolan anak-anak yang selalu menyebutkan harga mainannya.

"sepedaku mahal lho, kata mamaku harganya satu juta duaratus ribu"

"tas mainanku ini harganya seratus ribu lho"

"punyaku harganya lima ribu" jawab Mosha tidak mau kalah, asal-asalan menyebut angka, padahal dia tidak tahu lima ribu dan seratus ribu itu besar mana, hahaha....

Suatu kali kami mendengar obrolan anak-anak yang sedang bermain di teras rumah.

"kata mamaku kamu tuh sebenarnya kaya lho Mosh"

"iyaaa, aku kadang bisa kayak putri... kadang kayak superhero...." jawabnya polos sekali. Kami tertawa terpingkal-pingkal menguping obrolan mereka. Tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi temannya mendengar jawaban Mosha.

Kaya, bagi orang dewasa dinilai dari apa yang mereka miliki. Rumah, mobil, baju, tas, sepatu, kemana saja mereka pergi, apa yang mereka makan dll. Semakin mahal harganya semakin kaya mereka. Sebenarnya sebutan kaya ukurannya bisa menjadi tidak jelas. Bahkan ketika seseorang bisa membeli mobil dan rumah tiba-tiba langsung mendapat predikat OKB (orang kaya baru). Padahal banyak yang lebih kaya, lebih kaya lagi dan lebih lebih kaya lagi. Kalau kekayaan menjadi persaingan pasti tidak akan ada habisnya.

Kata "kaya" juga bisa menyesatkan. Coba bayangkan, banyak orang mengejar kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan cara yang tidak benar, hanya ingin mendapatkan predikat "kaya". Padahal kaya itu sendiri tidak punya ukuran. Karena manusia tidak pernah puas, maka kekayaan akan dikejar terus tanpa batas, hingga sampai pada batas kemampuan manusia untuk mencapainya.

Jadi menurutku, seseorang berhak merasa kaya saat dia memiliki barang yang mereka inginkan dan mampu mereka beli, merasa nyaman hidupnya, merasa bahagia dan menikmati hidupnya sesuai kemampuannya untuk meraih. Terlebih lagi mampu berbagi dengan orang yang sungguh-sungguh membutuhkan.





Tuesday, May 17, 2022

bye bye Moon.... hello Sunshine

 Masih cerita tentang bersepeda. Setiap kali kami sampai di rumah yang selalu membuat kami exciting adalah melihat data perjalanan kami di HP. Berapa kilometer yang dicapai, berapa kecepatannya, berapa jam, berapa kalori yang terbuang. Kemudian melihat pencapaian kilometer selama seminggu, sebulan dan total sejak awal mula kami bersepeda. Tentu saja data yang kumiliki belum sebanyak milik suamiku. 

Persiapan bersepeda ternyata banyak, selain celana panjang dan kaos/sweater lengan panjang tentunya. Tutup kepala, biar keringat yang turun di dahi tidak mengganggu pandangan. Masker, walaupun tidak kupakai sampai hidung, karena akan membuat kabut di kacamataku sehingga mengaburkan pandanganku. Jam, yang mendeteksi detak jantung. HP, untuk mendata rute perjalanan dan tentu saja untuk berjaga-jaga kalau dibutuhkan, juga untuk mengambil foto. Kaos tangan dan sepatu kets. Cek lampu sepeda sudah dinyalakan apa belum. Lampunya sudah di charge apa belum. Ban sudah aman terisi angin apa belum. Ribet banget ternyata. 

Di usia yang sudah "umur" sudah pasti sering terjadi kelalaian.

Lupa pakai masker, jadi deg-degan waktu berpapasan dengan polisi yang berpatroli di bulan puasa. Lalu, sibuk merangkai-rangkai jawaban kalau nanti ditanya. Ternyata aku lolos dari perhatian polisi. Jadi aman. Tapi tidak aman dari binatang sawah kecil-kecil yang menabrak wajah.

Lupa nggak pakai kaos tangan, biarlah.... lanjut teruuuuusss.

Lupa ngecharge lampu sepeda, biarlaaah... toh ada suamiku yang mengikuti di belakang dengan lampu yang cukup terang. Kami selalu berangkat pagi-pagi sebelum jalanan jadi ramai.

Lupa nggak pakai sepatu kets... hahaha... jadilah pakai sandal jepit, seperti kebiasaan kalau keliling kompleks hanya pakai sandal jepit.

sandal jepit... kekonyolan faktor "U"

Lupa cellular phone nggak di ON. Karena kalau di rumah pakai WIFI, kalau keluar rumah harus di ON supaya bisa mendata perjalanan.

Yang paling sedih kalau data perjalanan hilang. Sampai rumah rasanya perjalanan tadi sia-sia. Suatu hari kami mencoba rute baru yang di peta sepertinya kok tidak terlalu jauh. Setelah masuk desa Demak Ijo, ternyata jalan yang kami lihat di peta kecil dan masih jalan tanah. Karena ragu-ragu melewatinya, kami memilih jalan satunya yang lebar dan beraspal. Ternyata penuh perjuangan melewatinya karena jalannya naik dan berkelok-kelok. Hingga akhirnya bisa sampai ke jalan besar yang menurun terus. Perjuangan yang lumayan buatku. Dalam hati, aku berharap "wah pasti dapat kilometer banyak nih, sesuai dengan perjuangan pagi ini. Bisa nambah kumpulan kilometerku". 

Pikiran inilah yang menambah semangatku untuk menyelesaikan perjalanan ini hingga sampai ke rumah. Tapi betapa kecewaku, sangat kecewa karena ternyata HPku tidak mencatat perjalanan heboh ini dengan baik. Aku tidak tahu kenapa??? sediiih dan rasanya jadi lebih lelah dari biasanya. Kata suamiku yang HPnya bisa mencatat perjalanan kami, perjalanan tadi 19 kilomater lebih. Tambah kecewa dan sedihlah aku. Yang tercatat hanya 2,28 km. Dan entah kenapa kok berhenti disitu.

Seharian itu aku merasa sangat kelelahan. Mungkin juga karena kecewa dan sedih sehingga energi yang keluar semakin banyak. Esok harinya aku tidak bersepeda. Baru bersemangat lagi hari berikutnya. Kali ini aku memutuskan untuk tidak peduli dengan angka-angka dan data-data yang terekam di HPku. Biarlah... syukur ke rekam, enggak juga nggak papa. Aku ingin menikmati perjalananku dengan sungguh-sungguh melihat dan memandang alam sekitar saja. 


Tadi pagi saat akan berangkat aku disapa "selamat tinggal" oleh bulan yang sudah mulai turun ke kaki langit. Sinarnya yang mulai meredup seakan menyapa, mengucapkan "selamat tinggal, sampai ketemu lagi". Dan saat aku mengayuh pedal sepeda, udara pagi yang sejuk dan bersih bisa aku rasakan menyusup ke pori-pori kulitku. 

bye bye moon.... see you

Disepanjang jalan yang masih sepi dan gelap aku melihat para pekerja menyapu sisi-sisi jalanan. Hingga jalan aspal kelihatan hitam bersih dan berkilat.Warung sayuran mulai ramai dikunjungi orang-orang yang menitipkan dagangan dan juga pembeli yang memilih belanjaan. Ketika memasuki desa Manjung, centra produksi soun mulai beraktivitas setelah libur lebaran. 

Desa Manjung sebagai centra produksi soun berawal tahun 1950 diprakarsai bapak Slamet Somo Suwito. Karena berkembang baik maka penduduk sekitar ikut membuat dengan bantuan bapak Slamet. Walaupun produksinya mulai menurun karena banyak merek soun import, namun desa ini masih dikenal sebagai penghasil soun. Soun menjadi bahan pelengkap soto, atau bisa juga dimasak menjadi soun goreng dan oseng soun. Bahan baku dalam pembuatan soun adalah tepung aren yang merupakan hasil pengolahan dari batang aren yang sudah diproses menjadi tepung. Bahan baku ini diproduksi di Desa Bendo Kecamatan Tulung Kabupaten Klaten.



Dini hari memasuki kawasan indutri soun desa Manjung

Tepung aren dicampur air, dipanaskan
dan diaduk terus hingga kental


Bahan yang sudah mengental di cetak memanjang
 seperti bakmi kecil-kecil. Kemudian ditampung
 dalam kotak panjang dan dijemur diterik matahari
kurang lebih 3 jam

soun dijemur dengan tatanan rapi

Setelah kering soun di gantung
untuk memudahkan ditimbang dan
diikat dan kemudian di packing dan
siap didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Semangat para penyapu jalan, penjual di warung, pekerja di pabrik soun dan juga para petani yang mengolah sawah menyalurkan energi dalam diriku. Aku semakin bersemangat mengayuh sepeda sambil memanjakan mata dengan pemandangan alam di pagi hari yang indah. Sawah menghijau kekuningan dan matahari yang mengintip, menyemburatkan sinar oranye di cakrawala. Paduan warna indah ciptaanNya. Hingga hatiku menyapanya dengan riang... hello sunshine. Tak disangka dalam waktu kurang lebih satu jam antara sapaan "bye bye moon.... hello sunshine" aku mendapatkan pengalaman yang luar biasa indah juga penuh semangat. Rasa syukur sebagai panjatan doa kepada Sang Pencipta. Terimakasih atas karunia di pagi hari yang membawa kedamaian hati dan ketentraman pikiran.


hello... Sunshine


Note: tulisan ini terinspirasi chating di dini hari dengan sahabat SMA ku Baskoro. Dari sharingnya kalau bersepeda dia selalu sambil memanjatkan doa, hingga puluhan kilometer ditempuh tak terasa. Berkat yang didapat adalah kesehatan, kedamaian dan ketentraman. Dan itu benar. Thanks ya Bas untuk sharingnya.

Thursday, April 14, 2022

Se"conthong" Kacang Rebus

    Ternyata baru di usia menjelang 63 tahun, aku bisa menikmati bersepeda. Masih terkenang dulu masa kecil di Jogyakarta, mungkin umur 6 th lebih aku baru bisa naik sepeda roda dua. Waktu itu ibu langsung menghadiahiku kacang rebus yang dibeli diujung jalan. Penjual kacang, pisang dan ketela rebus itu selalu mangkal di bawah tiang listrik. Rasanya sudah mendapat apresiasi yang luar biasa dengan membawa pulang se conthong (daun pisang yang dilipat seperti kerucut) kacang rebus. Ketika klas 2 SD pindah ke Semarang, kami tinggal di perumahan, sehingga kalau main sepeda hanya di lingkungan kecil. Menjelang SMP sudah tidak bisa bersepeda lagi karena rumah kami di atas bukit kecil, hingga cukup berbahaya untuk bersepeda. Sejak saat itu aku berhenti naik sepeda.

Ini rumah kelahiranku, dulu namanya jalan Cemorojajar no 19.
Di halaman inilah aku pertama kali bisa naik sepeda

Masa kecil anak-anakku, bapaknya yang kebagian tugas mengajar naik sepeda. Aku sempat ikut kalau ada sepeda kecil yang kakiku bisa menyentuh tanah untuk menjaga keseimbangan supaya jalannya tidak meliuk-liuk. Akhirnya anak-anak semua lancar naik sepeda bahkan sepeda motor, dan aku tetap tidak lancar bersepeda.

Sekarang aku tinggal di Klaten dan cucuku ternyata mengubah segalanya. Menemaninya bersepeda roda tiga keliling kompleks membuatku ingin juga belajar naik sepeda lagi. Walaupun sering diejek anak-anak kecil di kompleks karena kelihatan sekali kalau aku tidak trampil mengayuhnya. Suami dan mantuku sudah bersepeda kemana-mana. Berpuluh kilometer. Aku masih belum tergerak. Hingga dua bulan lalu suamiku memberi kejutan dengan sepeda baru. Dia pilihkan sendiri, dengan pertimbangan kalau aku tidak mau, sepeda akan dia pakai sendiri.

Sepeda kecil cantik itu menggodaku untuk mencobanya berkeliling kompleks. Awalnya hanya 5 kali putaran. Kemudian naik sedikit demi sedikit 10 kali, 15 kali, 20 kali dan akhirnya 25 kali. Kurang lebih 6 km setiap hari. Lama-lama bosan juga berputar-putar terus di kompleks. Apalagi sering mendapat komentar,

"udah kelar belom?"

"masih berapa putaran lagi?"

"belum selesai juga?" hahaha.... lama-lama tetangga jadi menaruh perhatian karena aku biasa berputar-putar sekitar 45 menit setiap hari. Masing-masing tetangga sudah bersiap mengantar anak sekolah dan berangkat ke kantor.

Awal naik sepeda keliling kompleks

"Ayo kita coba sepedaan keluar kompleks" ajak suamiku suatu hari setelah hampir sebulan aku berputar-putar dalam kompleks. Baiklah, mari kita coba. Karena aku masih panik setiap kali ada motor atau mobil lewat, maka kami berangkat pagi hari, paling lambat jam 5 pagi. Semula hanya berkeliling pasar Gayamprit sebelah utara perumahanku. Lumayan, hanya 4.5 km tapi jalannya naik turun. Cukup berkeringat juga. Beberapa kali rute ini menjadi jelajah kami bersepeda setiap pagi, walaupun saat aku belok ke rumah, suamiku akan melanjutkan bersepeda yang lebih jauh lagi. 

Rute yang sama membuat bosan. Ayo kita cari lagi yang lebih jauh dan seru. Jaraknyapun mulai bertambah. Menjadi 8 km, ketika melewati dusun Karanglo yang indah dengan pohon mirip cemara di kanan kiri dan pemandangan sawah yang luas terbentang. Tercium udara segar aroma sawah dan pohon. Pemandangan hijaupun menjernihkan mata.

Kukayuh sepedaku makin jauh dan jauh. Bosan rute lama, kami mencari rute baru. Tak terasa sekarang hampir setiap hari kami berdua mengayuh sepeda sepanjang 12,6 km. Suamiku akan melanjutkan hingga 20 km dengan berkeliling kota Klaten. 

Desa Karanglo, indah nuansa sawah di pagi hari.

Aku bukan penggowes. Aku hanya senang bersepeda keliling desa. Aku juga lebih suka berangkat pagi-pagi saat jalan masih sepi, udara segar dan menikmati pemandangan alam di saat matahari baru bersinar redup di cakrawala.

Beberapa pengalaman bersepeda didesa-desa sering membuatku tertawa sendiri.

Suatu kali aku tidak melihat kalau ada kabel melintang miring di jalan. Entah kabel apa. Tahu-tahu sepedaku meliuk liuk tak terkendali, walaupun pelan. Campuran kaget dan panik akhirnya aku malah menjatuhkan diri ke rerumputan dengan gaya slow motion hahahaha... gaya yang menyelamatkanku dari kaki terkilir. Untung masih bisa berdiri dan mengayuh sepeda lagi sekitar 4 km.

Karena ada sepeda dengan keranjang di depan, kadang aku mampir beli sayur di warung, sementara suamiku melanjutkan perjalanan ke rute yang lebih jauh lagi. Dalam perjalanan pulang, ada mobil yang membunyikan klakson berkali-kali. Aku memang sedikit ke tengah karena ada lubang cukup dalam di depan. Karena panik, aku memilih nekad melewati lubang bukannya berhenti di pinggir. Alhasil sepeda dan aku terlompat juga tas sayurku terlempar dari keranjang. Ya ampuuunnn... padahal mobil yang melewatiku kecil lho... harusnya bisa mepet kekanan. Untung di belakangku tidak ada kendaraan lain, jadi aku bisa menyelamatkan tas sayurku.

Di bulan puasa, yang paling membuatku kawatir ketika melewati anak-anak yang memenuhi jalanan setelah saur. Mereka melempar-lempar mercon kecil. Kadang ada juga mercon yang lumayan besar tapi di lempar ke sawah. Beberapa hari ini, selalu ada mobil polisi yang berkeliling desa untuk menertibkan anak-anak ini. Jadi sekarang semakin aman dan nyaman bersepeda dari desa ke desa.



Baiklah, karena 'hidupku juga penting', maka aku menuliskan kisahku sebagai apresiasi untuk diriku sendiri. Dari belajar naik sepeda 'lagi' hingga kilometer yang kutempuh sedikit demi sedikit hingga hari ini bisa menempuh 15,81 km.

Jadi... ayuk kita beli se conthong kacang rebus!!


Saturday, September 14, 2019

Semangat Ibu-Ibu Buruh Tandur

Bangun pagi hari ini memberikan pencerahan yang luar biasa buatku. Seperti biasa aku belanja sayuran di seberang rumah, dimana bapak sayur menggelar dagangannya sejak jam 5.30. Di benak masih bingung nanti mau belanja apa. Belum ada ide mau masak apa. Jadi mau lihat-lihat dulu apa yang ada, siapa tahu muncul ide.
Dari seberang tidak biasanya pak sayur dikerubut ibu-ibu naik sepeda sampai sibuk sekali melayani mereka. Karena aku belum punya ide mau belanja apa, jadi memilih untuk menunggu sampai ibu-ibu selesai belanja.
Mengamati mereka baru aku sadar kalau ibu-ibu ini memang tidak biasa yang aku temui setiap pagi. Mereka berombongan sekitar 10 orang, bersepeda, bercaping dan sebagian besar tidak beralas kaki. Tergelitik untuk ingin tahu, maka aku bertanya pada seorang ibu yang sudah selesai belanja tapi masih menunggu teman-teman untuk bersama-sama melanjutkan perjalanan.

"saking tindak pundi to bu?" (dari mana bu?) tanyaku penasaran. Kalau mereka berbelanja berarti sudah dalam perjalanan pulang. Agak mengherankan juga karena sepagi ini mereka sudah pulang.
"sakajane ajeng tandur, ning mboten estu bu. Sawahe dereng wonten toyane" (harusnya mau tandur, tapi nggak jadi karena sawahnya belum diairi) jawab ibu itu yang kemudian disahut ibu yang lain,
"padahal nggih pun janjian. kok mboten disiapke sawahe, tiwas adoh-adoh le nyepeda" (padahal sudah janjian, kok nggak disiapkan sawahnya. Udah nyepeda jauh nih)
"wonten pundhi sawahe?" (dimana sawahnya?) tanyaku lagi.
"ler rel sepur" (utara rel kereta api) waduuh itu memang jauh banget. Sekitar lebih dari 6 km dari tempat ini. Padahal rumah mereka masih ke selatan lagi. Kasihan.
"niki dijanji tanggal 5 ken tandur. nek mblenjani melih, pun kulo mboten purun nek ken tandur teng mriko" ( ini mereka janji tanggal 5 disuruh tandur. Tapi kalau mereka ingkar janji lagi ya besok kalau nyuruh tandur, aku nggak mau lagi) kata salah satu ibu yang menyahut dengan kesal.
"idea-idep olah raga bu" (anggap aja olah raga bu) sahut ibu lainnya dengan tertawa.

Rata-rata mereka belanja diatas 20 ribu. cukup untuk mendapatkan sayuran dan beberapa jajanan. Juga bumbu untuk menyajikan masakan seluruh keluarga. Hari ini mereka tidak mendapatkan penghasilan setelah bersusah payah bersepeda. Tapi yang menyentuh hati adalah komentar salah satu ibu yang penuh semangat dan penuh syukur.
"deloken iki. Duit 50 ewu wis entuk akeh, malah isih ono susukke" (lihat nih, uang 50 ribu sudah dapat banyak, malah masih ada kembaliannya) katanya sambil tertawa.

Aku tertampar di pagi hari.
Gila banget... mereka mengayuh sepeda dipagi hari hanya berbekal harapan hari ini mendapat pekerjaan dan mendapatkan upah. Ketika harapan tidak terwujud mereka masih bisa menyikapinya dengan pikiran positif. Mereka ibu-ibu sederhana tapi penuh semangat hidup dan rasa syukur yang berlimpah. Betapa seringnya aku mengeluh soal harga yang mahal. Kecewa karena sesuatu yang terjadi tidak sesuai harapan. Capek dan kehilangan semangat. Memaki karena orang-orang berbuat seenaknya dengan kita dan mengeluh karena merasa tidak dihargai.

Lihatlah mereka....

Dari jerih payah merekalah, kita nikmati nasi kemebul setiap hari. Kaki-kaki mereka tertanam dalam tanah lembek. Punggung membungkuk menanam padi dengan kerapian yang indah dipandang. Tangan-tangan terampil dengan kerapian memberi kehidupan setiap batang padi dalam tanah yang subur. Betapa seringnya kita memuji hamparan sawah hijau yang indah. Melupakan tangan-tangan keriput dan hitam kena sengatan matahari. Kaki-kaki tanpa alas yang mengayuh sepeda untuk datang dan pergi.



Hari ini ketika nasi hangat beraroma sedap tersedia di meja makan beserta lauk pauk yang mengundang selera, aku ingat ibu-ibu buruh tandur dan semangat mereka yang luar biasa. Tanpa mereka aku tidak bisa menikmati nasi yang manis beraroma ini.
Terimakasih tak terhingga kepada mereka yang telah ikut berpartisipasi pada hidangan kita setiap hari. Semoga Tuhan memberikan rejeki, kesehatan dan semangat yang tak pernah padam. Amin.





Friday, August 9, 2019

Aku adalah aku

Menjadi Mimo (panggilan cucuku ke aku) mengingatkanku masa dulu ketika anak-anak masih kecil. Cucuku Mosha baru 3 tahun. Karena lima hari dalam seminggu bersamanya, aku bisa melihat pertumbuhannya dari hari ke hari. Kini memasuki usia yang oleh orang Jawa di sebut kemratu-ratu. bersikap layaknya ratu, princes atau apalah sebutannya, yang jelas menjadi sosok bocah yang mulai ingin menjadi perhatian. Kadang muncul karakter "milikku milikku". Untung Mosha tidak sampai "milikmu milikku", karena memang ada yang seperti itu. Mosha hanya posesif dengan barang-barang miliknya.
Kalau nonton Disney Yunior, ada Princes Sofia yang menjadi idolanya. Helm harus yang ada gambar Princes Sofia. Juga tempat minum dan sepatu. Ada baju tutu (bahasa jawa=mekruk) yang sangat disukainya karena seperti Princes Sofia. Setiap hari dipakai, bergaya menyebut dirinya Princes Sofia. Jadilah bajunya mbah ringgo (kumbah garing dinggo) atau curingkai (cuci kering pakai). Bahkan pernah belum sempat disetrika sudah minta dipakai.

Dari usia 2 tahun, seminggu tiga kali masuk sekolah junior playgroup. Tahun ini Mosha mulai masuk playgroup yang masuknya lima hari seminggu. Mosha bukan anak yang bisa dipaksakan untuk masuk sekolah setiap hari. Jadi kami ikuti saya maunya, toh baru 3 tahun.
Aku ingat dulu ketika anakku di TK kecil tidak mau sekolah sampai 3 bulan, gara-gara ditakuti ular oleh temannya. Waktu itu aku tidak kawatir karena ada juga anak yang masuk langsung TK besar juga tidak apa-apa. Kenyataanya anakku tumbuh dengan baik-baik saja dan sekolahnya lancar.

Menghadapi Mosha yang kadang mau masuk sekolah, kadang tidak, aku juga santai saja. Biasanya aku ajak bermain di rumah. Menggambar, melukis, membacakan buku. Kadang minta lembar tugas sekolah untuk dikerjakan di rumah. Juga bermain-main dengan teman-teman sekompleks.
Kalaupun mau masuk sekolah, maunya juga yang aneh-aneh.

helm Sofia kesukaannya
Suatu kali dia maunya pakai helm dan tidak mau dilepas walaupun di dalam kelas. Dari berangkat sampai pulang helm dipakai terus.

Hari lain Mosha mau sekolah tapi pakai kacamata hitam ibunya. Baiklah sayang... tidak apa-apa.. hahaha... Mosha cantik kok pakai kacamata. Guru-guru juga santai saja melihat penampilannya yang selalu beda.
kacamata ibu yang dia pilih untuk dipakai
kemana-mana
Lain hari, sekolah dengan rambut dijepit tutup sikat gigi. Dilepas tidak mau. Dia bangga sekali bisa menjepitkan sendiri di rambutnya. Nggak papa sayang... walaupun mimo malu juga dilihat teman-temannya dengan pandangan aneh.
Ada yang melihat tutup sikat gigi terjepit
di rambunya?
Dan di hari lain, Mosha mau sekolah kalau pakai sepatu ibunya. Sepatu dengan hak 5 cm. Sudah dibujuk-bujuk tetap saja pede dengan sepatunya. Kali ini aku kawatir dia jatuh. Jadi aku mengantarnya ke sekolah dengan menenteng sepatunya, untuk berjaga-jaga kalau dia mau ganti.
Tentu saja penampilannya ini menjadi perhatian orangtua dan pengantar teman-temannya. Mereka senyum-senyum, tertawa dan gemes melihat gayanya.
Guru-guru memberi dukungan, yang penting mau berangkat sekolah. Bahkan ada orangtua yang berbisik sambil senyum-senyum "anak saya tadi berangkat sekolah nggak mau mandi". Ada lagi yang bercerita kalau anaknya mau sekolah tapi harus pakai baju tidur... hahaha.. ternyata aku tidak sendirian.
Tentu saja Mosha dengan sepatu besar dan tinggi itu membuat dia tidak nyaman berjalan jadi akhirnya minta pulang. Menuju parkiran kendaraan, benar dia jatuh. Mosha tidak menangis dan akhirnya mau ganti sepatunya sendiri.
Baju Sofia dan sepatu ibu
Ada-ada saja Moshaku ini. Tapi aku sangat menghargai keinginannya menjadi diri sendiri. Dare to be different. Inilah aku. Biarkan aku mencoba sesuatu. Biarkan aku menjadi diri sendiri.
Baiklah Mosha... Mimo akan mendukungmu menjadi dirimu sendiri, dengan mencoba banyak hal dan belajar dari pengalaman. Seperti halnya dia berusaha dan bersusah payah memakai celana sendiri. Walaupun terbalik tapi berhasil. Dan dengan bangganya Mosha minta difoto dengan gaya khasnya dilengkapi kalung yang dipakai untuk penghias rambut. Cocok sekali dengan tulisan di kaosnya. "Seperti halnya dirimu, aku juga tidak mau dibanding-bandingkan dengan anak lain".

"I always love you Mosha" dan hatiku dipenuhi kebahagiaan ketika Mosha menjawab,
"I love you Mimo" dengan suaranya yang lucu menggemaskan.