Pages

Thursday, July 28, 2011

Rumah Sejati


Semalam aku sakit, masuk angin. Tapi sudah parah, karena mual dan badan nggak enak banget rasanya. Semalam Ria, salah satu yang menginap di Gedono ngeroki aku. Merah gosong semua, sampai dia bener-bener giloooo….
Pagi ini aku nggak ikut ibadat pagi, walaupun semalam sudah tidur nyenyak. Kemarin malam juga tidak ikut ibadat penutup, juga ibadat malam jam 3 pagi terlewat. Beruntung bisa tidur nyenyak, sehingga pagi ini sudah lebih segar rasanya.
Dikamar kecilku yang hangat kalau malam, pagi ini aku duduk di jendela menghadap ke halaman luas Gedono, dimana ada jalan salib di depan sana. Suara ibu-ibu menyapu rumput dengan sapu lidi, yang kemarin baru dipotong dengan mesin potong begitu jelas….sreeekkk….sreeek…sreeek…
2 hari di Gedono aku belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidupku. Aku berkeyakinan akan bertemu dengan seseorang yang menjadi tangan Tuhan untuk memberitahuku apa yang harus aku lakukan. Tapi, sejak aku datang aku bertemu berbagai macam orang yang justru membuatku bingung untuk membuat keputusan.
Aku bertemu seorang ibu seusiaku. Tentu saja dia bisa mengerti dan memahami apa yang aku rasakan. Dia tidak banyak memberi masukan, tapi aku diberi 2 buah artikel yang mestinya dia pakai untuk bahan renungan dia selama singgah di Gedono untuk beberapa jam. Kedua artikel itu, Keakaraban dan Lahirnya Visi; artikel satunya berjudul Ketika Anda Jatuh Cinta. Ketika aku melihat kata “jatuh cinta”… langsung spontan aku bilang “hah… jatuh cinta??”… dia tertawa… “hush… ini jatuh cinta pada Tuhan”…oooohhhh..

Membaca kedua artikel ini, justru menambah kebingunganku. Ketika aku nyeplos bertanya kepada beberapa orang yang menginap di sini… kenapa susah ya mengetahui kehendak Allah. Sampai saat ini aku belum menemukan apa-apa. Ada yang bilang begini “kalau mau tahu jawabannya lewat meditasi bu… nanti keluar sendiri jawabannya…jangan dipikir.. disini nggak usah mikir”.
Yah…. Ada untungnya aku masuk angin. Jadi aku tidak berpikir tapi tidur semalaman. Pagi ini, karena di meja kecilku sudah tersedia Kitab Suci, Penanggalan Liturgi 2011¸ dan juga Mazmur dan Kidung, maka aku membukanya.
Pertama mencari tahu hari ini bacaan Kitab sucinya apa ya?? Aku buka Penanggalan Liturgi 2011, di hari ini 28 Juli 2011.
BcE. Kel. 40:16-21,34-38. Menceritakan bagaimana Musa melakukan semua yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Mendirikan Kemah Suci dan meletakkan Loh Hukum Tuhan dalam tabut.  Awan hitam yang menutupi kemah menjadi pertanda kapan mereka berangkat kapan mereka harus berhenti. Hhhmmm… seandainya perintah Tuhan begitu jelas seperti itu, enak juga ya… tinggal mengikuti saja. Aku Cuma pingin membuat pilihan hidup, supaya hidupku bermakna. Tapi kok susah menemukannya ya… semakin dipikir kok malah pusing. Dijalani, kadang merasa mentok karena begitu banyak yang diinginkan dan bisa dilakukan tapi terbentur banyak hal yang membuatku frustrasi.
Mzm.3,4,5,6,8-11 . Mazmur tentang Rindu kepada Kediaman Allah. Kok bisa ya… menggambarkan seruan hatiku yang merindukan tinggal di pelataran rumahNya. Ingat kalimat sahabatku “rumahmu di hatimu…”. Tidak masalah, dimana aku tinggal, karena yang sesungguhnya “berbahagialah orang yang diam di rumahMu, yang terus menerus memuji Engkau…”
Mat.13:47-53.. Perumpamaan tentang Pukat yang mengumpulkan berbagai jenis ikan. Ikan yang baik dimasukkan dalam pasu, ikan yang tidak baik dibuang. Penggambaran dari akhir jaman, dimana para malaikat akan memisahkan orang benar dan orang jahat.
Ya ampuuunnn… ketiga bacaan ini benar-benar membuka mataku. Kenapa susah-sudah minta pertanda, minta petunjuk, minta juklak (petunjuk pelaksanaan) dari Tuhan untuk membuat hidup ini bermakna?? Memang benar, berpikir justru membuat kita terbelit dalam pemikiran sendiri. Memikirkan hal-hal besar, dan melupakan hal-hal kecil. Semua menjadi jelas bagiku. Musa diminta untuk mendirikan kemah suci untuk loh hukum Tuhan. Bukankah jelas sudah. Loh hukum Tuhan itu yang harus di hormati dan penting. 10 perintah Allah. Itulah yang akan membawa kita menjadi orang yang benar. Yang menjadi pegangan hidup agar bermakna. Itu saja!!.
Menjadi orang yang benar. Coba kita ke sepuluh firman Tuhan, Kel.20:1-17. Semua menjadi jelas bagiku. Hanya Tuhanlah, Allahku dimana jiwa dan ragaku tertuju padaNya. Tuhan hanya minta kepada kita untuk menguduskan harinya, yaitu hari sabat. Sehari saja dalam seminggu. Kita harus menghormati orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Yang tidak mungkin kita balas kasihnya dengan cara apapun juga. Jangan membunuh. Jangan berzinah. Jangan Mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta terhadap sesamamu. Jangan mengingini rumah sesamamu. Jangan mengingini istrinya atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dimiliki sesamamu”.
Begitu sederhana, pelajaran yang aku peroleh dua hari di Gedono. Kadang memang kita terlalu banyak berpikir. Hingga akhirnya pusing sendiri dengan berbagai keinginan yang tumpang tindih tidak karuan. Padahal Tuhan hanya ingin kita menjadi orang benar. Caranya sudah dia tunjukkan lewat 10 firmannya. Semua sudah jelas bagi kita. Lalu apa yang membuat kita bermasalah. Bukankah karena keinginan kita yang tidak bisa tercapai. Atau karena kita terbelit pada persoalan yang kita buat sendiri karena melanggar perintahnya???
Yang sederhana itu, memang luar biasa. Dan yang sederhana itu, sering dilupakan. Manusia sering lupa bahwa semua kekuatan yang dimiliki datangnya dari Tuhan, Allah kita.
Akhirnya, jawaban itu aku peroleh. Renungkan 10 firman Allah. Seberapa banyak kita mematuhi atau melanggarnya. Itu saja!. Bertobat, dan kembali kepadaNya… itulah rumah sejati. Rumah Tuhan… dan letaknya ada di dalam hati kita, masing-masing…


Lord, we desire to walk closely with You everyday. Help us to seek You diligently that we might know You intimately and follow You obediently. Amen (ODB.28 Juli 2011)

Thursday, July 21, 2011

Dipisah... dilepas...

Kemarin malam habis mahgrib, kami kedatangan tamu dari RT tempat aku tinggal dulu di Jogja. Maksudnya "kunjungan kangen". Sejak aku pindah, baru malam itu kami bertemu. Senang dan terharu...

Mendengar rencana mereka mau datang, pastilah aku mempersiapkan hidangan yang menarik untuk mereka. Walaupun mereka bilang "ra sah repot-repot mbeleh gajah lho mbak...." tapi aku bilang "aku arep mbeleh cicite gajah wae.. sing cilik" hehehe...
Hidangan kami sederhana.... snack dan nyamikan kacang kulit. Makan malam dengan gudangan, sambel lethok, dan ayam goreng kalasan ditambah kerupuk karak.... ternyata cukup memeriahkan suasana malam itu. Dan ketika rencana mau ngobrol sampai malam, gara-gara kekenyangan lama-lama ngantuk menyerang juga. akhirnya mereka pamit hampir jam 10 malam.

Pagi ini, aku menata kembali beberapa sisa snack yang masih ada. Walaupun semalam sudah dibagi-bagikan kok ya ternyata masih sisa. Ketika aku memasukkan kacang kulit ke toples plastik, rasanya kok penuh banget. Jadi ingat, toples mesti digoyang-goyang biar lebih mampat,kacangnya lebih tertata dalam posisi yang benar dan isinya bisa betul-betul penuh.

Saat itulah aku menyadari sesuatu....
Ketika aku sedang merasa digoyang-goyang oleh suatu peristiwa, oleh seseorang, oleh situasi.... pasti rasanya tidak enak. Namanya juga di goyang-goyang... bahkan kadang dipukul-pukul. Tapi itu pasti dimaksudkan untuk menata hidupku supaya lebih mapan, lebih baik, lebih enak dipandang....

Aku juga kemudian ingat. Ibu-ibu di desa, kalau memisahkan beras dari kotoran, seperti gabah, atau pasir yang tercampur ketika ditumbuk, mereka menggunakan tampah. Orang Jawa menyebutnya "napeni beras"
Tampah kadang diputar-putar... kemudian beras dilempar ke atas.... ditampung lagi dalam tampah, dilempar lagi... diputar.. dan seterusnya, sampai beras benar-benar terpisah dari semua kotoran.
Dikala hidup kita sedang diputar-putar.... dilempar ke atas... ditampung lagi.. diputar-putar... digoyang ke kanan... ke kiri... pasti pusing sekali... andai aku beras, pasti sakit sekali...
Tapi... lihatlah hasilnya, beras terpisah dari segala kotoran. Yang kotor tinggal di buang, dan yang baik bisa dinikmati, menjadi santapan yang bisa menghidupi kita setiap hari.
Hidup kita tidak selamanya berjalan mulus dan lancar. Ada kalanya kita seperti beras yang sedang di "tapeni" Tuhan, melalui berbagai persoalan yang kita hadapi, peristiwa yang terjadi, dan orang-orang yang tidak sesuai dengan pemikiran kita. Yang mungkin tanpa mereka sadari menyakiti hati kita.
Inilah saatnya kita merenung untuk menemukan sikap dan sifat apa yang baik dan buruk dalam diri kita. Membuang segala hal yang buruk dan mengembangkan yang baik. Kita juga bisa "napeni" berbagai peristiwa.. yang buruk kita tinggalkan, yang baik kita jadikan semangat lagi untuk menjalani hidup. Juga, kita bisa sekali lagi "napeni"... orang-orang di sekitar kita. Siapa yang memberikan dampak buruk dalam kehidupan kita, harus ditinggalkan. Yang baik kita tingkatkan persaudaraannya.
Seorang pecandu narkoba misalnya. Tidak akan mudah melepaskan diri dari kecanduannya, kalau tidak berani memisahkan diri dari lingkungan teman-temannya yang masih terjerumus dalam narkoba.
Pertobatan membutuhkan keberanian untuk memisahkan diri dan melepaskan hal-hal buruk yang mempengaruhi hidup kita dan menjauhkan kita dari Tuhan. Dan untuk itu diperlukan kerelaan dan kesiapan untuk "ditapeni" Tuhan. Bukankah semua penderitaan yang kita alami Dia maksudkan untuk kebaikan kita, untuk memperbaiki hidup kita, untuk memisahkan kita dari yang jahat.... hingga suatu saat nanti, kita bisa mempersembahkan hidup kita, sebaik yang diinginkanNya.

The Lord provides the strength we need, to follow and obey His will;
So we don't need to be afraid, that what He asks we can't fulfill. - Sper

Monday, July 18, 2011

HANDS, by Jewel

"Hands"

If I could tell the world just one thing
It would be that we're all OK
And not to worry 'cause worry is wasteful
And useless in times like these
I won't be made useless
I won't be idle with despair
I will gather myself around my faith
For light does the darkness most fear
My hands are small, I know
But they're not yours, they are my own
But they're not yours, they are my own
And I am never broken
Poverty stole your golden shoes
It didn't steal your laughter
And heartache came to visit me
But I knew it wasn't ever after
We'll fight, not out of spite
For someone must stand up for what's right
'Cause where there's a man who has no voice
There ours shall go singing
My hands are small I know
But they're not yours, they are my own
But they're not yours, they are my own
I am never broken
In the end only kindness matters
In the end only kindness matters
I will get down on my knees, and I will pray
I will get down on my knees, and I will pray
I will get down on my knees, and I will pray
My hands are small I know
But they're not yours, they are my own
But they're not yours, they are my own
And I am never broken
My hands are small I know
But they're not yours, they are my own
But they're not yours, they are my own
And I am never broken
We are never broken
We are God's eyes
God's hands
God's mind
We are God's eyes
God's hands
God's heart
We are God's eyes
God's hands
God's eyes
We are God's hands
We are God's hands

Rumah Tangga..dan Ular Tangga

Kemarin, aku menghadiri pesta perak adik ipar di Semarang. Dalam misa yang menjadi ungkapan berbagai rasa syukur, Romo menyampaikan khotbah yang sangat menarik. Walaupun dia masih sangat muda, baru 7 tahun menjadi Romo, namun isi khotbahnya begitu menyentuh kehidupan keluargaku yang sudah mencapai usia 26 tahun. Mungkin juga menyentuh setiap keluarga yang hadir dalam doa syukur tersebut.

 Ular Tangga

Kenapa keluarga di sebut rumah tangga? Kok yang muncul justru gambar mainan ular tangga. Dalam permainan ular tangga, langkah kita ditentukan dari berapa banyak titik yang tertera dalam dua dadu yang kita lempar. Banyak sedikitnya titik, tidak menggambarkan keberuntungan kita melangkah. Bisa jadi kita turun tangga, atau naik tangga. Semuanya proses mendebarkan tapi harus dijalani hingga kita sampai ke tujuan terlebih dahulu dari lawan main kita. Dan yang pertama itulah yang menang. Rumah tangga memang rasanya mirip dengan permainan ular tangga. Walaupun sudah dirancang dengan bagus dan teliti, jalan yang kita tempuh kadang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Bahkan kadang merosot, hingga kita harus mulai lagi ke titik awal. Tujuanlah yang membuat kita tidak henti-hentinya mencoba, dengan kenyakinan pasti akan sampai juga ke tujuan. Menang atau kalah, untungnya tidak ada dalam rumah tangga.

Rumah Tangga
Mengapa disebut Rumah Tangga? Pasti yang dimaksud bukan rumah tetangga khan…?? Rumah kita sendiri. Rumah terdiri dari 3 hal: fondasi, tiang dan atap. Fondasi rumah adalah cinta pasangan suami istri. Awalnya disebut “cinta… Karena…”. Maksudnya? Yah dulu.. waktu kita jatuh cinta, apa sih yang membuat kita jatuh bangun… pingin banget hidup bareng selamanya dengan dia. Cinta karena dia… karena ganteng atau cantik… karena janjinya yang gila banget bikin kita melayang… karena dia kaya, pasti enak deh hidup kita… karena dia pandai.. pasti membanggakan deh punya pasangan yang pinter seperti dia… dan berbagai alasan lain.. yang mungkin bisa juga konyol seperti… yaaah… karena nggak ada pilihan lain… yaah.. karena dijodohkan…. Yaaahhh… karena sudah terlanjur… uuppss…!!!
Ketika kita akhirnya memutuskan untuk berjanji setia di hadapan Tuhan. Dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, dalam suka dan duka… saat itulah “cinta… karena…” berubah menjadi “cinta… walaupun...” Gila banget tantangannya… tetep cinta.. walaupun ternyata nggak pinter, ternyata pembohong tingkat tinggi, ternyata pemalas, ternyata… ternyata… ternyata…. Banyak banget ternyatanya. Tapiiii… yah harus tetep cinta walaupun… ada yang lebih ok dari pasangan kita. Tetep cinta walaupun masa depan menjadi tidak jelas… berat memang!!.. Bukankah membuat fondasi rumah lebih berat dan lama dari pada memancangkan tiang dan atap?
Nah, tiangnya apa? Tiang adalah komintmen. Komitmen yang harus dijalankan bersama supaya atap bisa dipasang. Kalau komitmen dilanggar terus, ya tiangnya patah terus.. kapan dong atapnya bisa dipasang. Sementara atap adalah gambaran dari utuhnya sebuah rumah. Dimana seisi rumah bisa terlindung dari panas dan hujan… dari berbagai bahaya dll… selama tiang-tiang ini tidak bisa berdiri tegak, dengan menghormati dan menepati komitmen yang dibuat bersama, atap yang menghadirkan kenyamanan, kebahagiaan dan kedamaian tidak akan terwujud.
Ibu di sebelahku, berbisik.. “lha Romo gak ngerasain hidup berumah tangga ya…” hehehe rupanya tergelitik juga dia. Sejujurnya aku berpendapat sama dengan ibu sebelah. Bagus memang khotbahnya, cuma menjalankannya yang berat. Seberat hati kalau melihat tiang-tiang patah terus… seputus asa melihat atap nggak bisa juga kepasang… dan sekuat hati menolak berbagai godaan untuk melirik rumah tetangga….

Pitutur Jawa
Kalau sudah mencapai 25 tahun perkawinan, pastilah fondasi rumah sudah dibangun. Mungkin tiang dan atap masih dalam proses. Patah.. pasang… patah.. pasang… belum lagi kalau kena badai, tsunami, lahar dingin, banjir dan lain-lain. Toh dadu tetap dilempar, hidup terus dijalani. Kadang naik tangga, kadang turun tangga. Kadang maju, kadang mundur…. hingga nantinya sampai juga ke tujuan. Nggak pernah kok main ular tangga tuh kembali awal dan berhenti. Yang ada, mungkin kita menjadi yang pertama, atau kedua, ketiga atau yang terakhir. Tapi semua sampai ke tujuan.
Pitutur atau nasehat Jawa di bawah ini sungguh sederhana, namun memuat kekuatan yang membuat kita bisa terus berjalan.
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan hidup” (lelakon) manusia.
Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang wajib berihtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”.
Maka sesungguhnya manusia itu tidak semestinya mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Seandainya mengetahui (kejadian yang akan datang), kurang baik kalau diberitahukan kepada orang lain, karena akan mendatangkan bencana (bilahi).”

Wednesday, July 13, 2011

Pulang dengan selamat


Duduk dilantai, minum kopi sambil ngemil kacang atom, kami ngobrol. Aku dan anakku. Ngrasani bossnya, wanita tengah baya yang taxi minded. Wanita tengah baya, single parent dan anak satu-satunya sudah menikah. Masih productive sebagai direktur di sebuah hotel bintang 5. Dia tidak bisa stir mobil. Diluar jam kerja kalau mau pergi ya pesan taxi. Rasanya dia pasti mampu membeli mobil, Cuma mungkin sudah nggak pede lagi kalau mau belajar stir mobil.
Aku melihat diriku sendiri. Di usia hampir 52 tahun, aku tidak bisa naik sepeda, apalagi sepeda motor. Tapi aku bisa stir mobil, Cuma aku nggak punya mobil. Apa aku jadi sopirnya dia saja ya?? Atau jadi sopir taxi?? Sopir bis, truk… tronton… hahaha… rasanya gemes sekali ketika menyadari ada dalam situasi yang terbalik-balik seperti ini. Bisa beli mobil gak bisa nyopir. Bisa nyopir ga bisa beli mobil. Nggak bisa nyopir tapi bisa kok bayar taxi. Beli mobil?? Siapa bilang nggak bisa?? Aku jadi ingat kata-kata kakakku “apa yang bisa dilihat mata, bisa kok dimiliki kalau kamu usaha...”
Mobil, motor, sepeda, bis, truk dan lain-lain hanyalah kendaraan untuk membawa kita ke suatu tempat, selain kaki kita tentunya. Dahulu pun, orang bisa kemana-mana walaupun belum ada kendaraan secanggih sekarang. Mengarungi samudra, ketika belum ada pesawat terbang. Berjalan kaki ketika belum ada sepeda, motor dan mobil. Ada kuda, onta yang menjadi alternative ketika kaki sudah lelah berjalan. Semuanya sama… membawa ke tujuan.
Suatu hari aku memutuskan untuk naik truk yang mau  kembali pulang ke Klaten setelah mengirim barang ke Semarang. Keponakanku memandang dengan kawatir…”are you sure?”.. aku ketawa… ya iyalah.. kenapa tidak?? Dari pada naik bis, mesti turun Kartosura, pindah bis ke Klaten. Nah ini, tinggal duduk aja bisa sampai Klaten. Gak usah pindah-pindah dan sampai tujuan. Gengsi?? Malu?? Apa ruginya sih naik truk…? Kalau orang menterwakan aku, atau mencibir, atau merendahkan, atau meninggalkan aku karena merasa “nggak level” lagi.. apa ruginya buatku?? Mungkin akan lebih berarti kalau yang berkomentar itu menyewakan aku taxi yang menghantarku sampai tujuan dengan selamat. Tapi sudahlah… aku ingin menikmati perjalanan naik truk yang baru pertama kali kurasakan seumur hidup. Bukankah harus disyukuri.
Aku sampai tujuanku dengan selamat. Ternyata asik-asik aja kok naik truk. Semilir.. bahkan aku sempat tidur di perjalanan. Walaupun akhirnya aku tahu, sopirnya ternyata panik ketika tahu aku mau ikut truknya, lalu ban dia kurangi anginnya sedikit biar agak empuk jalannya…. Wah gak nyangka, dia punya pikiran seperti itu.
Perjalanan hidup bisa dicapai dengan kendaraan apa saja. Tidak ada seorangpun yang bisa meng klaim, yang naik pesawat jet super mewah, akan lebih baik hidupnya dari pada yang berjalan kaki, naik kuda, naik onta, naik becak, naik sepeda, motor, mobil, truk dan berbagai kendaraan lain. Tidak ada kendaraan apa pun yang bisa mengangkat kehidupan kita di hadapanNya lebih baik dari yang lain. Yang penting, bagaimana kita membuka mata hati kita selama dalam perjalanan hidup. Melihat bukan yang kasat mata. Belajar dari berbagai peristiwa. Menghargai apapun yang dilakukan orang lain terhadap kita. Melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Kendaraan terindah dan ternyaman sudah Dia sediakan bagi kita, yaitu ajaran-ajaranNya yang akan membawa kita semua kembali pulang ke rumahNya… dengan selamat.

Friday, July 8, 2011

Naik... Turun...

Pikiran memang tidak bisa dibendung. Melanglang kemana-mana sementara tanganku menyetrika baju-baju. Untung masih cukup waspada, sehingga tangan tidak kena setrika. Kala tanganku bergeser kekiri dan kekanan, pikiranku melayang ke pemandangan puncak G. Gede yang aku lihat di milis Loyola’77. Dan laporan detail pengalaman mendaki dan turun yang begitu mengesankan dan membuatku ingin suatu kali bisa merasakannya. Walaupun sedikit pesimis mengingat usia dan selama ini tidak punya kegiatan olah raga yang memampukan badan untuk bertahan sampai puncak.

Naik
Kegairahan untuk menghadapi tantangan hidup, itulah yang aku rasakan ketika aku memiliki suatu tujuan yang ingin aku capai. Mungkin hal yang sama dirasakan teman-teman ketika mempersiapkan mendaki dan mencapai puncak  G. Gede. Sebagai ibu, keinginan besarku adalah menghantar anak-anak sampai bisa hidup mandiri. Berbagai rintangan, tekanan, cobaan dan persoalan yang muncul, justru menjadi tantangan untuk bisa diatasi dan diselesaikan. Seperti cerita temanku Tiong Sien, yang bersyukur dengan adanya akar-akar pohon yang membantu dia naik setapak demi setapak. Dalam kehidupanku aku merasakan hal sama. Begitu banyak tangan-tangan yang membantuku dan memudahkan langkahku untuk merangkak naik… pelan… menghantar anak-anak.
Ada saat juga harus berhenti dan beristirahat. Menghimpun tenaga dan semangat untuk melangkah lagi. Keinginan, harapan dan cintaku kepada anak-anak memberikan energi yang luar biasa untuk membawanya sampai ke tujuan. Hingga akhirnya, mereka harus melanjutkan hidup mereka sendiri. Dengan puncak cita-cita yang mereka canangkan untuk masa depan mereka sendiri.

Puncak kehidupan
 Walupun belum pernah naik ke puncak gunung. Rasanya aku pernah sampai ke puncak kehidupan. Dengan berbagai perjuangan dan keinginan yang kuat aku  pernah mengalami sampai di puncak kehidupan. Apa itu? Dan kapan? Ya tentunya ketika aku mencapai sesuatu yang sungguh aku inginkan. Mengapa puncak? Bagiku, ketika aku mencapai suatu tahap dimana aku mampu meraih sesuatu, saat itulah aku berada di puncak. Misalnya, anak lulus, anak mendapat pekerjaan, anak menikah, membeli rumah, membeli mobil, pergi ke luar negeri, naik pangkat, mendapatkan order yang luar biasa, atau apalah… yang membuat kita merasa bahagia, puas, bangga, tersanjung, melayang-layang …. Sayangnya perasaan seperti ini tidaklah lama. Mungkin sama seperti kalau seseorang berada di puncak gunung, pasti juga tidak akan tinggal lama disana.  Ada saatnya harus turun.
Ketika aku mencapai puncak kehidupan, seharusnya saat itu aku melihat pemandangan hidup yang  dikaruniakan kepadaku. Ketika di puncak gunung, jelas sekali alam ciptaanNya pasti luar biasa indah. Sayangnya, sering aku lupa bahwa ketika aku berada dipuncak kehidupan, bukan karena kuasaNya, melainkan aku pikir itu berkat usaha kerasku. Itulah yang membuatku terlena, ketika rasa puas dan bangga merasuki hati. Apalagi menerima sanjungan, kehormatan, puja-puji dan kekaguman yang melenakan. Semuanya membuatku lupa, bahwa ada saatnya turun.  Turun untuk menyadari bahwa aku bukan apa- apa dan juga bukan siapa-siapa tanpaNya.

Turun
Baru sekarang aku tahu, kalau kita turun gunung sebaiknya menggunakan sepatu yang longgar. Setidaknya satu nomor di atas ukuran sebenarnya. Gunanya supaya ketika kaki mendesak ke depan, masih ada ruang yang cukup sehingga tidak sakit. Apalagi beban orang yang turun, katanya sampai 7 kali berat badan kita. Waduuuh… pasti berat sekali..
Seberat ketika aku sadar saatnya turun sudah tiba. Saatnya melepas, meninggalkan berbagai perasaan indah ketika kemarin mencapai puncak cita-citaku, yang kuperjuangkan habis-habisan. Melepaskan perasaan bangga, tersanjung, bahagia, melayang-layang akan berbagai puja dan puji…. Ternyata berat. Ingin berlama-lama dalam perasaan seperti itu. Tapi aku harus turun. Kembali menyadari kepapan yang kumiliki. TanpaNya, semua tidak mungkin bisa kuraih. Sama seperti butuh sepatu yang longgar ketika turun supaya tidak sakit. Ternyata akupun membutuhkan kelonggaran hati untuk menerima ini semua dan kerendahan hati untuk bisa menghayati kuasaNya. Mensyukuri segala sesuatu yang telah dicapai selama ini. Hati yang longgar dan lapang, akan mengurangi beban hidup, rasa sakit yang mendesak… dan membantuku menikmati perjalanan turun dengan kedamaian.


Tidak ada suatupun yang lebih baik bagi jiwa daripada kerendahan hati.
Dalam kerendahan hatilah terletak rahasia kebahagiaan,
Yakni, ketika jiwa mengetahui bahwa dari dirinya sendiri,
Kita hanyalah kepapan dan kehampaan,
Dan bahwa apapun juga harta yang kita miliki
Semua itu adalah anugerah dari Allah.
(BHSF. No 593)

(Thanks untuk cerita pengalaman naik G.Gede yang ditulis Tiong Sien… dan juga BHSF-Bacaan Harian St. Faustina yang selalu dikirim sahabatku Helena Winarti se tiap pagi)

Monday, July 4, 2011

TabunganNya

Sebagai orang tua, hal yang paling menyedihkan adalah ketika aku tidak bisa memenuhi kebutuhan anakku terutama dalam pendidikan. Kalau dalam hal kebutuhan primer, masih bisa di toleransi, tapi dalam pendidikan rasanya nggak ada toleransi. Setidaknya itulah pendapatku.
Bulan Juli 2009, saat yang menyedihkan buatku ketika aku harus membayar biaya semesteran anakku dan aku tidak memiliki dana sama sekali.
Dengan sedih aku membuka amplop laporan rekening yang tergeletak di atas meja riasku, yang sudah kubiarkan beberapa hari di sana karena memang sudah tidak ada dana disana. Tapi entah kenapa saat itu, aku ingin sekali membukanya. Padahal sejak Maret lalu, di sana sudah tidak ada dana aku tidak pernah membuka amplopnya karena aku pikir sia-sia saja, toh yang akan kudapati hanya angka 0.
Dengan sembarangan aku membuka amplop. Tiba-tiba aku melihat angka aneh!...$ 500 di kolom balance!.. kuamati... dengan seksama... bener nggak??? lalu kuletakkan lagi. Ah paling salah lihat!
Tapi tanganku akhirnya meraihnya lagi. kok aneh.. kok ada $ 500 disana?? dari mana?? kenapa kalau ambil lewat ATM selalu dibilang dana sudah kosong?? tapi kok masih ada.
Penasaran.. aku membongkar-bongkar lagi amplop-amplop laporan dari bank, yang sejak Maret tidak pernah kubuka. Cuma kulempar saja ke kotak surat-surat, tanpa keinginan membukanya sama sekali. Dengan penasaran aku urutkan dari Maret sampai dengan Juni.
Ya Tuhan... sejak Maret.. ternyata di tabunganku masih ada $ 500... dan tetap utuh sampai dengan bulan Juli ini. Kok bisa???
Dengan berdebar-debar, aku telpon ke Bank, memastikan apakah saldoku benar seperti yang tertera dalam laporannya. Jawabnya, BENAR... piye ki???
Bergegas aku ditemani anakku ke Bank. Kami disambut dengan ramah oleh CS yang sudah sangat kami kenal.
Butuh beberapa waktu untuk mencari tahu kenapa dana tersebut tidak bisa aku ambil lewat ATM. Jawabnya sederhana... "karena kami blokir bu".. kenapa??? aneh sekali...
Setelah beberapa saat kami menunggu, akhirnya data ditemukan. "ibu pernah mengadakan transaksi menggunakan dollar di Semarang sekitar bulan Februari?" lama aku mengingat... maklum pikiran jadi ruwet sendiri dengan pengalaman yang tak terduga ini. Untung ada anakku dan dia ingat... "iya ma... kan waktu itu beli tiket Singapore nya di Semarang, pakai dollar..." nah ketemu sudah... trus kenapa di blokir???
Pihak bank bingung juga, tapi kemudian memberikan alasan yang lumayan masuk akal " mungkin waktu itu, ada kerusakan di komputer bu, kemudian dana ibu di blokir sejumlah dana yang dipakai untuk membeli tiket, supaya tidak ikut kepakai untuk belanja. Ya maksudnya demi keamanan Bank. Cuma kami mohon maaf karena lupa mengaktifkan lagi..." Saat itu juga, danaku diaktifkan lagi, dan aku bisa menyelesaikan pembayaran semesteran anakku.... Terimakasih Tuhan...
Haruskah aku marah pada Bank? haruskah aku menyesali kemalasanku membuka amplop? Bukankah dana yang di blokir tersebut justru menyelamatkan anakku dan memperlancarkan pendidikannya. Kemalasanku membuka amplop laporan bank sejak bulan Maret, justru menyelamatkan dana tersebut. Coba aku tahu sejak bulan Maret, mungkin sudah langsung aku urus ke Bank dan mungkin sudah habis...
Danaku ditabung olehNya. Diberikan disaat aku sangat membutuhkannya... tepat waktu... dan indah pada waktunya.
Tidak ada yang sia-sia. Bahkan kesalahan Bank, kemalasanku, semua indah bagiku.... aku serahkan seluruh hidupku kepadaNya. Biarlah Dia yang menuntunku.. menguasaiku dan menggerakan hidupku.... karena bersamaNya tidak ada yang sia-sia.

Sunday, July 3, 2011

Masterchef Kehidupan

Kalau nonton acara Materchef di TV, banyak yang tergila-gila dengan chef Juna yang katanya "yummy and sexy".. terutama gadis remaja dan ibu-ibu. Tapi aku malah ngefans si gadis manis Rahmi. Wajahnya yang manis, selain enak dilihat dan gak mbosenin, juga aku melihat perjuangannya dari setiap kompetisi yang dia jalani. Penuh semangat dan tidak putus asa.
Acara kemarin dia dapat pin masterchef.. yang diberikan dengan tidak simpati oleh chef Juna.. mbok ya di sematkan di bajunya gitu lho.. mosok cuma diberikan begitu saja. Rasanya kok kurang menghargai dia...
Kenapa aku lebih tertarik ke Rahmi??
Justru karena dia sering banget nyaris-nyaris keluar dari pertarungan adu masak ini. Tapi dia tetap tegar dan selalu lolos. Bahkan ketika di melawan tim hitam berwajah sangar, kalau gak salah namanya Marcella... waduh tegang banget ngeliatnya. Sementara Marcella nampaknya udah pingin banget mendepak dia dan menggantikan posisinya... eeee ternyata Rahmi yang menang.
Ikut sedih juga ketika dia bilang "aku lagi... aku lagi"... ketika harus menjalani pressure test.. rasanya kasihan banget..
Tapi hingga saat ini dia masih bertahan bersama 7 orang lainnya. Aku salut banget dengan dia...

Melihat perjalanan Rami di masterchef ini, aku jadi ingat materi khotbah kakakku, ketika aku tinggal di Ungaran beberapa bulan lalu... yaitu tentang ikan dan penggorengan.

Ikan akan matang dengan sempurna kalau digoreng di penggorengan (wajan) yang tepat, dengan ukuran yang sesuai. Ya iyalah... ikan besar di penggorengan kecil.. mesti di potong-potong dulu pasti gak utuh hasilnya... dan mungkin juga kematangannya kurang sempurna.
Ikan gambaran dari berkah yang diberikan kepada kita, dan kita adalah penggorengannya. Untuk menjadi penggorengan yang lebih besar.. kita mesti rela di pukul-pukul... dibentuk...
Pasti sakit... dan juga buatnya lebih lama dibandingkan penggorengan yang kecil. Berarti butuh kesabaran dan kerelaan untuk dibentuk lebih lama.
Tapi lihat... setelah penggorengan menjadi besar.. pasti ikan (berkah) yang besar pun bisa dimasak dengan sempurna... dan hasilnya... pasti yummmyy...
Rahmi yang sering banget kena pressure test.. menurutku, justru membuat dia semakin ahli. Bayangkan, dia menjadi lebih sering masak dibandingkan dengan yang lain. Artinya, dia jadi semakin ahli kan?? trus dalam keadaan tegang dan waktu yang terbatas, dia harus memenangkan lomba.. jadi makin lama, dia makin tegar dan kuat... pastilah dia lebih punya pengalaman dibandingkan peserta lainnya... ini luar biasa..
Rahmi membuat aku melihat ke dalam diri sendiri. Apa pun yang terjadi dalam kehidupanku, ini semua latihan hidup yang diberikan Tuhan padaku. Emang susah dipahami, karena aku tidak tahu sedang mengikuti perlombaan apa, dan harus memenangkan apa...??
Tapi menikmati diri sedang dibentuk olehNya, membuat aku bisa menikmati hari-hariku dengan lebih baik. Menikmati segalanya dengan rasa syukur.
Perlahan, Tuhan membukakan mataku... Ikan besar tersedia bagiku. Anak-anaku yang sudah lulus dan bekerja, kesehatan, dan juga kegembiraan setiap hari. Walaupun, tidak disangkal pasti berat pada awalnya... namun akhirnya menjadi biasa ketika aku dengan ikhlas menjalaninya.
Hhhhmmm... bagi yang lagi merasa ditempa.. nikmati diri Anda sedang dibentuk menjadi penggorengan yang lebih besar... pasti ada ikan besar yang akan dimasak olehNya... Masterchef Kehidupan.