Pages

Friday, September 30, 2011

Secangkir teh dengan senyum

Cangkir lucu ini hadiah natal dari anak perempuanku beberapa tahun lalu. Sudah lupa tepatnya kapan, tapi yang jelas dari 6 set sekarang tinggal 3 karena pecah. Jadi pasti sudah lama sekali cangkir ini menemani pagi hariku dengan senyumnya yang cerah.

Setiap kali melihatnya, aku pasti ikutan tersenyum. Betapa mudahnya, membuat orang lain tersenyum. Tinggal membuat kopi atau teh... dan senyum kita ikut merekah bersama cangkir lucu ini.
Tapi kalau hati sedang galau, sedih, marah, kecewa.... tidak ada istimewanya memandang cangkir ini. Semua bagai tertutup mendung. Hati tidak mampu melihat sinar yang sebetulnya selalu ada, tapi tidak terlihat.

Doa pagi, membawa suasana damai, menghatar ketenangan untuk menyambut hari ini dengan gembira. Dan senyum di cangkir tehku, mengajakku untuk tersenyum untuk orang-orang yang aku sayangi.

Selamat pagi semua, keep Smile....
Have a nice weekend

Sunday, September 25, 2011

Sepotong Mangga

Sekarang lagi musim buah mangga. Buah yang manis dan segar untuk di santap setelah makan siang. Seperti biasa, setelah makan, aku mengambil satu buah mangga dari kulkas. Cukup satu untuk berdua. Dan aku mulai mengupasnya di satu sisi bagian mangga kemudian aku membaginya 2. Pasti potonganku tidaklah sempurna, karena yang satu kecil dan satunya lagi besar. Aku menawarkannya ke suami, dan dia mengambil bagian yang kecil dan aku diberinya bagian yang besar.
Pasti sudah ribuan kali dalam perkawinanku yang berusia 27 tahun, aku mengupas mangga untuk kami berdua maupun untuk seluruh keluarga. Tapi kenapa kali ini lain??

Perbedaan pendapat dalam kehidupan suami-istri adalah biasa. Banyak yang bilang, suami-istri harus beradaptasi seumur hidup. Tidak boleh berhenti, tidak boleh putus asa, harus terus berupaya supaya perkawinan menjadi langgeng sampai kaken-ninen.
Kenyataannya, memang tidak mudah mengerti dan memahami pasangan masing-masing.

Sepotong mangga, membuatku mengerti dan memahami. Mengapa suamiku mengambil bagian yang kecil, dan memberiku bagian yang besar?? pasti bukan sekedar mengalah, tapi memang karena dia ingin memberikan yang terbaik dan terbesar untukku.
Aku sering melakukan hal yang sama, ketika suamiku yang mengupas mangga. Aku juga selalu mengambil bagian yang kecil, dan menyisihkan yang besar. Sekedar ungkapan terimakasih karena sudah mengupaskan mangga untukku. Kami melakukan hal yang sama, ingin memberikan yang terbaik dan terbesar yang mampu kami berikan.

Peristiwa kecil ini membuat aku sadar. Aku lebih sering melihat, bagaimana aku rela mengambil yang kecil, untuk memberikannya yang besar. Sementara aku tidak memperhatikan bahwa dia juga melakukan hal yang sama untukku. Memberiku yang besar, dan mengambil bagian kecil untuk dirinya sendiri.
Aku selalu berkutat pada perasaan bahwa aku sudah melakukan yang terbaik terus menerus, hingga membutakan mataku untuk melihat apa yang dia lakukan untukku. Sikap seperti ini berkembang menjadi lebih buruk lagi, ketika aku mengharapkan dia melakukan hal yang sama kepadaku, dengan ukuran yang aku tentukan. Pasti tidak mudah bagi dia untuk melakukan hal yang sama persis seperti yang aku lakukan. Hingga rasanya harapanku tidak pernah terpenuhi. Lama-lama pengorbanan yang semula dilakukan dengan tulus hati, menjadi beban yang semakin berat setiap hari. Bertumpuk-tumpuk, dan semakin membutakan mata dan juga hatiku untuk melihat apa yang dilakukannya untukku.

Kini aku memilih untuk menikmati potongan besar yang diberikan suamiku kepadaku. Menikmati setiap hal yang dilakukan untukku, sebagai bagian terbesar yang dia berikan untukku. Berterimakasih untuk semangat kerjanya, untuk membangun mimpi ke depan, untuk mendampingi setiap peristiwa dalam perjalanan perkawinan kami, dan untuk setiap ucapan terimakasih atas semua yang aku lakukan untuknya. Dan tindakan sekecil apapun yang dia lakukan ... menjadi berkah yang besar untukku.

Terimakasih Tuhan, untuk membuka mata dan hatiku hingga mampu menikmati kelimpahan berkahmu, dalam setiap langkahku. Amin.

Saturday, September 24, 2011

Andai besok aku mati....

Dua bulan lalu aku ikut kunjungan ke sebuah panti asuhan anak-anak cacat ganda di Kalasan. Tempat itu SLB Ganda Daya Ananda, Yayasan cabang Sayap Ibu DIY-Jogjakarta, yang berlokasi di Kalasan. Kunjungan tersebut dalam rangka ulang tahun adik iparku. Beserta rombongan karyawannya dalam bis kecil, dan 3 kendaraan pribadi untuk keluarga, kami datang dengan hadiah ulang tahun yang berbentuk berbagai sumbangan untuk mereka.


Suci
Kesan pertama melihat mereka, adalah trenyuh... dan gak bisa bicara. Mereka sudah dibuang oleh orangtuanya, cacat... ganda lagi. Ada bayi 1, lainnya anak-anak hingga remaja. Jumlahnya kurang lebih 35 anak. 35 anak yang terbuang... tidak mengenal kasih sayang orangtuanya, kecuali pengasuhnya yang berjumlah 12 orang.
Ketika mereka menyanyikan lagi "selamat ulang tahun"... aku kaget.. karena lagu tersebut dinyanyikan dengan nada yang tidak jelas. Barulah aku sadar... mereka bahkan tidak tahu bagaimana indahnya irama. Ada 2 anak kecil yang bisa "bergaya" ketika kami memotretnya. Gayanya, tetap membuat kami trenyuh. Betapa menderitanya mereka.... benarkah demikian?

Aku bertanya pada diri sendiri... benarkah mereka menderita? sakit? kesepian? sedih?... Ada anak yang terpaksa harus diikat tangannya, karena tangannya akan memukul kepalanya terus kalau bebas bergerak. Ada yang tiba-tiba memukulkan kepalanya di tembok. Dan, ada yang hanya terbaring lunglai... hingga ajal menjemput. Sudah ada 4 anak yang meninggal di panti asuhan tersebut, karena memang cacat tubuh dan mentalnya tidak bisa membuat mereka berusia panjang.
Bagiku, mereka adalah ciptaan Tuhan yang paling suci. Sejak lahir mereka tidak pernah berbuat dosa. Apalagi dengan kesadaran melakukan dosa. Mereka adalah anak-anak yang suci tempat kita berkaca untuk melihat kedalam diri kita sendiri.
 "Tuhan tidak akan mencobai umatNya di luar kemampuan" ........tidak berlaku untuk mereka. Kitalah yang sedang dicoba olehNya. Seberapa jauh kita sudah berbuat untuk mereka?? seberapa jauh kita menggunakan kemampuan kita untuk membantu mereka hingga kita benar-benar bisa berkata "aku tidak mampu lagi..."... sudahkah kita mencoba???

"Tuhan punya rencana indah untuk setiap orang"
Di sekitar kita, apabila kita mau membuka mata dan hati, begitu banyak orang yang miskin, terhina, disingkirkan, sedih, kesepian, terlupakan, sakit, hidup dalam ketidak adilan dll. Akhir-akhir ini juga banyak bencana alam, kematian, kehilangan harta benda, ketakutan, kekawatiran.
Dimanakah kita berada? jauuuuh... mereka ada di benua lain, negara lain, kota lain, daerah lain... apa peduliku? atau dia ada di dekat kita tapi kita tidak peduli? "emang gue pikirin.... aku juga lagi susah!"....
Tapi, mereka tetap ada untuk menguji cinta kita kepadaNya.
Bisakah kita merasakah indahnya berbagi berkah, berbagi waktu, berbagi perasaan dengan mereka?. Atau sedikit menyisipkan doa untuk mereka? Keindahan rencanaNya, bukan sebuah pertanyaan dan harapan supaya mereka mendapatkan keindahan hidup, melainkan bagaimana kita menikmati keindahan dengan memberi dan berbagi dalam bentuk apapun juga kepada mereka.
Ah.. betapa mudahnya aku bicara, betapa indahnya kalimat yang aku buat... "well said"... apa artinya?

Andai besok aku mati...
Apa yang bisa aku ceritakan kepada Tuhanku.. apabila Dia bertanya "apa yang sudah kamu lakukan untukKu??"
Dengan malu aku hanya bisa menjawab.
Aku hanya 2 kali berkunjung ke panti asuhan cacat ganda, dengan sumbangan yang ala kadarnya.
Aku lebih sering berdoa untuk diriku sendiri dari pada mereka.
Aku memang sudah menghantar anak-anakku untuk hidup mandiri, semoga saja cukup untuk mereka meniti hidupnya.
Aku meluangkan sedikit waktuku untuk memasak bagi karyawanku. Sedikit berbagai makanan dan kue untuk orang-orang di sekitarku. Kadang menghantar kue untuk ibu mertua dan saudaraku. Mengunjunginya sesekali, dan menemani ibu ketika sakit. Mengirim sms, menulis email untuk menyapa teman-teman.
Duuuh... kenapa aku semakin malu melihat jawabanku. Betapa banyak hal terlewatkan....

Pantaskah aku menghujat Tuhanku...? mengapa dia membiarkan bencana terjadi, mengapa ada anak-anak cacat ganda, mengapa ada yang terlahir di daerah miskin, yang membuat mereka tidak memiliki pilihan untuk hidup baik?
Mengapa aku tidak bertanya pada diri sendiri, menudingkan jari ini ke diri sendiri?
Bukan bertanya mengapa Tuhan tidak berbuat sesuatu kepada mereka? tapi mengapa aku tidak berbuat sesuatu untuk mereka?

Kesempatan
Kalau mereka tidak punya kesempatan untuk hidup baik, karena cacat ganda sejak lahir, karena bencana, karena terlahir di tempat yang sangat miskin.... kita PUNYA!!.
Aku terlahir utuh, tanpa cacat... dengan pikiran yang memampukanku untuk melakukan banyak hal. Seharusnya semua kulakukan tidak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk membantu mereka yang tidak punya kesempatan untuk itu.
Semoga di usiaku yang sudah lebih dari setengah abad ini, aku diberi jalan untuk melakukan lebih dari yang sebelumnya. Menggunakan kesempatan yang ada untuk lebih banyak berbagi dengan orang lain, dalam  bentuk apapun juga.
Dan semoga aku tidak mati besok... supaya aku tidak memberikan jawaban yang memalukan karena selama ini aku belum melakukan tugasku dengan baik...

Note:
Penghormatan tertinggi aku haturkan untuk para pengasuh anak-anak cacat ganda di seluruh dunia. Selamat atas kesuksesan mereka mengisi hidupnya dengan melayani, mencintai, dan merawat orang-orang yang tidak memiliki kesempatan dan pilihan hidup.

Saturday, September 17, 2011

Siapakah aku??

Lebaran tahun ini sangat berkesan. Betemu di facebook dengan sepupuku yang sudah 16 tahun tidak bertemu membuat lebaran menjadi meriah. Tidak disangka semua berkumpul. Tante, om dan seluruh keluarga ikut bersama-sama ke sarean bapak, ibu dan adikku dan berkumpul di rumah kakak untuk menikmati ketupat.
Dalam perjalanan dari Wedi-Klaten ke Semarang, anakku bertanya "tante yang ini apanya kita ma??" aku cuma nyengenges karena aku sendiri tidak tahu.
Ketika kami berkumpul, aku bertanya bagaimana silsilah keluarga tante dengan keluargaku. Ternyata kami satu trah eyang buyut. Waaahhh... jauh banget.. pantas aku sendiri bingung...


Horisontal
Silsilah menggambarkan ikatan keluarga secara horinsontal. Menunjukkan dimana aku berada dan siapakah aku. Aku adalah ibu dari kedua anakku, Mirta dan Tito. Aku adalah istri dari mas Totok. Identitas diri di dunia, mudah diketahui dan dicari. Aku sekarang tinggal di huntara (hunian sementara) Wedi. Tapi, karena anakku bilang huntara ini " cute"  dan kakakku malah bilang ini "apartemen lucu"... jadi sekarang aku lebih suka mengatakan, aku tinggal di apartemen lucuku, yang tiny and tidy. Aku berada di sekitar kegiatan banyak orang, suara mesin,dan kokok ayam riuh rendah di siang hari. Sementara malam hari begitu sunyi senyap. Aku menjadi bagian dari milis Loyola yang membuatku merasa memiliki banyak teman dan tidak pernah kesepian. Ada facebook yang menghubungkan aku dengan teman-teman lama dan baru. Inilah aku sekarang ini.

Vertikal
Hubungan vertikal kita hanya dengan Tuhan YME. Masing-masing dengan keyakinannya. Dengan ajaran agama yang diajarkan orangtua kepada kita, untuk menjalin hubungan dengan Tuhan. Kalau mau memahami lebih jauh dan dalam tentang Ke-Allah-an Yang Maha Besar, seperti kisah St. Agustinus, tentang anak kecil yang membuat lobang di tepi pantai, ingin memasukkan air laut ke dalamnya. Sebuah pekerjaan yang tidak mungkin dan sia-sia. Maka aku lebih suka memahaminya dengan cara yang sederhana, yaitu dengan bertanya kepadaNya, "siapakah aku?".  Aku mendapat jawaban yang menyejukkan hati "kamu, anakku yang Aku kasihi". Nyeeeesss... adem di hati.
Lalu bagaimana aku membalas kasihNya?, bagiku itulah yang penting.
"  Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saraudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untukKu"  (Mat 25:40).

Siapakah orang paling hina, miskin, tersingkir yang harus kita layani, supaya kita bisa membalas kasihNya. Mereka bukan saja yang secara fisik hina, miskin dan tersingkir. Tapi mereka juga seseorang yang lapar akan cinta kasih, haus akan kedamaian, kebenaran dan keadilan. Mereka adalah yang membutuhkan perlindungan dan kekuatan. Mereka adalah yang merasa takut dan kawatir. Mereka adalah yang kehilangan harapan dan percaya diri, yang tak pernah tersenyum lagi, yang tak pernah merasakan kehangatan cinta dan persahabatan. Mereka adalah yang kesepian dan membutuhkan sentuhan lembut, penghiburan serta senyuman hangat. 
Kita semua adalah anak-anak yang sangat dikasihi dan disayangiNya. Tidak perlu melakukan hal besar seperti Bunda Teresa. Tapi kita bisa membagikan kasih kita kepada orang yang paling dekat kita.
Melakukan hal-hal sederhana dengan penuh kasih, akan membuat kita merasakan menjadi anak yang dikasihiNya. Itulah kita, itulah jawaban atas pertanyaan "siapakah aku?" kepadaNya.
Namun, kita semua sebagai manusia, sering menggunakan kebebasan yang diberikanNya secara utuh kepada kita untuk memuaskan nafsu duniawi. Untuk menyempurnakan hidup horisontal berdasarkan tuntuntan materi, dan kekuasaan dengan aturan yang dibuat sendiri. Hingga kita tidak mengenali diri sendiri sebagai ciptaanNya. Kalimat di bawah ini, bisa menjadi permenungan bagi kita semua.


To Whom It May Concern

You call Me The Way,
but you don’t follow Me
You call Me The Teacher,
but you don’t listen to Me
You call Me The Lord,
but you don’t serve Me
You call Me The Truth,
but you don’t believe Me
DON’T  BE SURPRISE IF ONE DAY I DON’T KNOW YOU!
(Mathew 7:23)

Sumber: Buku Hanyut Meninggalkan Kristus, David Wilkerson

Thursday, September 8, 2011

Ojo Dumeh

Ojo dumeh, sebuah falsafah Jawa, yang diperuntukkan bagi semua orang. Tua-muda, kaya-miskin, pintar-bodoh.. pokoknya semuanya. Ojo Dumeh, tepatnya berarti, jangan mentang-mentang. Jangan mentang-mentang kaya, kemudian meremehkan orang miskin.
Jangan mentang-mentang pintar, kemudian menganggap orang lain bodoh, dan mau menangnya sendiri.
Jangan mentang-mentang punya kedudukan dan kuasa, kemudian menguasai orang dan hak-hak mereka.
Jangan mentang-mentang ngganteng/cantik, menghina yang berparas jelek atau merebut istri/suami, atau pacar orang... ups...
Jangan mentang-mentang kuat, kemudian melecehkan yang lemah...
Jangan mentang-mentang rajin berdoa dan beribadah, lalu merasa suci dan menganggap orang lain berdosa.
kurang lebih begitulah maksud falsafah Jawa.

Intinya jangan sombong dengan segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini, karena itu semua tidak kekal. Ada saatnya orang berada di atas, tapi juga ada saatnya harus berada di bawah. Seperti roda yang berputar.
 Kita diingatkan untuk selalu sadar bahwa sebetulnya kita tidak memiliki apa-apa. Semuanya yang kita miliki adalah karunia dariNya, asal ditempuh dan dicapai dengan cara yang benar. Kebebasan manusialah yang membuat kita sering lupa. Merasa yang kita miliki adalah sepenuhnya usaha kita, tanpa campur tanganNya.
DihadapanNya, Tuhan yang Maha Tinggi, kita semua sama. Lalu buat apa menyombongkan diri?? atau karena ingin disanjung, dihormati, di kagumi, di puja puji, di elu-elu kan.... kalau selama hidup di dunia, kita hanya mengejar sesuatu supaya mendapat penghormatan tertinggi dari orang lain, artinya kita sudah mendapatkan imbalan di dunia. Di mata Tuhan, kita tidak tahu apakah yang kita lakukan sudah berkenan bagiNya.

Repotnya, kita suka nggak sadar kalau sombong. Kita nggak sadar kalau sedang disanjung dan dielu-elukan. Semua baru terasa ketika kita ditinggalkan, atau ketika kita kehilangan orang yang kita cintai, harta benda, dan martabat. Ojo dumeh, adalah nasehat sederhana yang tidak sekedar dihapalkan, atau dipasang di tembok sebagai hiasan. Menjalaninya, itu yang sulit....

Ojo dumeh... menantang kita untuk melepaskan egoisme, untuk mau mengakui kelebihan orang lain, dan mau menerima kekurangan orang lain, karena kita pun memiliki kekurangan. Tidak ada yang sempurna... maka jadilah padi... semakin berisi semakin menunduk....

Tuesday, September 6, 2011

Penderitaan membuat orang lebih bijaksana

Setuju tidak dengan judul di atas??? Gara-gara menulis di blog ini, beberapa tema dilontarkan teman-teman untuk dijadikan tulisan di blogku.  Butuh waktu lama untuk merenungkannya. Penderitaan yang seperti apa? dan orang yang  bijaksana itu juga seperti apa? Rasanya aku tidak punya referensi apa pun untuk bisa mengurai adakah keterkaitan erat antara penderitaan dan kebijaksanaan seseorang.
Ada yang menderita, tapi malah jadi gila. Ada yang bunuh diri, bahkan ada yang menyatakan dirinya kafir, tidak beragama dan tidak percaya adanya Tuhan. Nah... trus penderitaan macam apa yang membuat seseorang bijaksana.


Mungkin... ini cuma mungkin... karena aku sudah pasti bukan orang yang bijaksana, walaupun tidak berarti aku bebas dari penderitaan. Berdasarkan pengalaman sendiri, sebetulnya penderitaan itu adalah perasaan yang kita tanamkan dalam diri sendiri. Semakin aku merasa tidak pantas mengalami situasi yang tidak enak, menyakitkan bahkan menghancurkan hati, semakin aku merasa menderita. Tapi, disaat aku mencoba mengerti dan memahami apa yang sedang terjadi, dan mencoba dengan pengetahuan dan pemikiran sederhana, mencari tahu dimana dan bagaimana kehendak Tuhan sedang berjalan, penderitaan berangsur-angsur berkurang. Dan hilang....
Penderitaan bisa muncul dan hilang. Tergantung situasi yang sedang kita hadapi. Pada saat situasi tidak enak itu sedang berlangsung, pasti tidak ada pemikiran nalar yang bisa dimunculkan. Emosi lebih menguasai. Jalan satu-satunya adalah diam, menenangkan diri, bedoa supaya hati dan pikiran di buka untuk melihat dan merasakan kehendakNya. Proses seperti ini bisa cepat, bisa lama bahkan bisa bertahun-tahun.
Rasanya, setiap orang bisa bijaksana, asal mau belajar dari pengalaman. Setiap kali belajar melepaskan egoisme dan merendahkan diri dihadapanNya. Peristiwa yang tidak enak, lebih baik diterima dengan hati yang lapang dan legowo. Tentu saja dengan kesadaran dan keikhlasan.


Kemarin, ketika mengantar anakku kembali ke kostnya di Jogja, dalam perjalanan kami ngobrol. Tentang banyak hal, berbagai peristiwa yang telah kami lalui bersama, berkah yang diberikan Tuhan, mukjijat-mukjijat yang terjadi.... ternyata bisa kami rasakan justru ketika kami ada di titik pasrah, menerima dengan tulus ikhlas, dan kemudian "yowis....". Dan kami tertawa ketika menemukan kata "The Power of Yowis"..... bahasa apa ini????


Yah... sudahlah... aku belum cukup punya asam-garam untuk membicarakan judul tersebut.  Sebaiknya berguru saja kepada orang yang sungguh bijaksana.


“Perbedaan antara orang pintar dan orang bijaksana adalah orang pintar tahu apa yang harus dikatakan, sementara orang bijaksana tahu perlu atau tidak kalimat tersebut dikatakan” – Frank M Garafola –

Sunday, September 4, 2011

Rumah Masa Kecil

 Ketika layat bareng mbak iparku, kami ngobrol. Tiba-tiba dia bertanya "lik, rumahmu di Jogja dulu Cemorojajar no berapa?" aku jawab "19 mbak, kenapa?" dia jadi antusias " itu sekarang buat kopitiam lho, kesana yuk, tak traktir wis... kamu bisa mengenang masa kecilmu". Ganti aku yang antusias. Ayuuuuk... seneng banget. Kami jemput anak2 dulu, lalu kami berenam meluncur ke Cemorojajar 19, yang sekarang nama jalannya sudah diganti menjadi Wolter Monginsidi.

Rumah itu masih seperti dulu. Teras di depan dan samping masih ada. Bahkan lantainya masih kuno. Menurut keterangan yang ada di meja, rumah belanda itu dibangun tahun 1923. Renovasi di dalam tidak banyak. Aku masih mengenali kamar depan yang dipakai bapak, ibu dan  2kamar di sebelahnya untuk kami, anak-anaknya. Pasti berdesakan karena kami berdelapan.
Di belakang masih ada beberapa kamar untuk saudara yang ikut kami dan juga ada yang kost disitu. Ingatanku nggak banyak tentang rumah itu. Aku berada disana sejak lahir, hingga klas 1 SD. Ternyata rumah itu lumayan besar, bisa untuk parkir mobil disamping dan depan rumah. Pantas aku dulu belajar naik sepeda cukup di halaman depan rumah saja.

Waktu itu, ibu bilang, kalau aku sudah jatuh berkali-kali baru bisa naik sepeda. Benar saja, akhirnya aku bisa naik sepeda dan hadiahnya, aku diberi uang jajan yang bisa kubelikan kacang rebus, yang dijual ibu-ibu di bawah lampu jalan. Rupanya nasehat ibu keren juga.... learn to fall before you learn to fly.. begitu bahasa sekarang. Sayangnya, setelah pindah ke Semarang, aku tidak bisa berlatih sepeda lagi, karena jalanan di Semarang naik turun tajam, terutama di daerah candi. Sekarang aku tidak trampil lagi naik sepeda.

Aku minta ijin berjalan keliling rumah. Pohon sawo besar, dihalaman belakang sudah tidak ada. Semua halaman bahkan sudah disemen, jadi kelihatan gersang sekali. Tapi letak dapur, kamar mandi di belakang masih sama. Jadi ingat waktu kecil suka prosotan di depan kamar mandi kalau pas dibersihan dan diberi air yang banyak. Betapa sederhananya sebuah kegembiraan diraih waktu itu.

Aku bercerita ke anak-anak, TV adalah barang mewah. Kami belum mampu membelinya. Kalau pingin lihat TV, kami mesti berjalan kaki ke Hotel Mairakaca di dekat situ, bareng dengan orang-orang kampung. Hasilnya, rambut kami penuh kutu, dan ibu marah-marah. Anak-anakku heran, masak sih waktu itu bisa berkutu rambutnya. Ya tentu saja waktu itu belum ada shampoo, kami kalau keramas pakai merang (batang padi) yang dibakar.

Beranda samping yang temboknya sudah diganti dengan pagar besi yang indah, mengingatkanku pada peristiwa yang membuatku aku takut ulat hingga sekarang. Waktu itu, ketika aku duduk sendirian disitu, jariku menyentuh tembok beranda. Aku merasakan sesuatu yang kenyal, dan ketika aku lihat ternyata ulat bulu.. hhhiiiiiii... aku bahkan masih bisa merasakan hingga sekarang kalau mengingat peristiwa itu. Itu sebabnya, aku takut ulat hingga sekarang.

Kenangan lain adalah tiap kali ada pedati lewat yang membawa panen kacang tanah. Aku bertiga dengan kakakku dan temannya, langsung diam-diam lompat di belakang, nyuri kacang, langsung dimakan mentah... kalau pak pedatinya tahu kami langsung lompat dan kembali lari ke rumah. Menyenangkan sekali....

Menyenangkan sekali bisa kembali ke masa lalu, masa kecil yang indah dan hangat. Anak-anak bisa mengerti dan memahami bagaimana kehidupanku dulu secara nyata. Rasanya suatu saat kalau kakak-kakakku berkumpul di Jogja pasti akan aku ajak kesana. Pasti mereka memiliki kenangan yang lebih banyak dariku.