Pages

Friday, November 25, 2011

Cintanya Savitri...

Untuk membuatku keluar dari sangkar memang butuh paksaan "ayo to mbak... refreshing!!". Ditraktir paksa, ini yang membuat aku mau tidak mau meng'iya'kan ajakan sepupu suami. Jumat malam nonton sendratari SAVITRI, karya Retno Maruti di Teater Besar ISI-Surakarta. Tiket sudah dibeli, jadi ya harus mau.
Aku belum pernah nonton sendratari. Walaupun dibilang, ini sendratari bagus yang sudah di resensi di Kompas dan untuk peresmian Kompas TV, tetap saja belum membuat aku tertarik.

Yah, sore itu kami berangkat juga. Pertunjukan mulai jam 20.00, sementara kami sudah tiba 30 menit sebelum gong tanda pertunjukan dimulai. Aku masih sempat membaca sinopsisnya. Ini penting karena aku nggak fasih memahami tembang jawa yang menjadi bahasa pengantar dalam sendratari tersebut. Begini sinopsisnya:

Savitri adalah putri Raja Aswapati. Dia diberi nama Savitri yang diambil dari sebuah kidung pemujaan, karena Savitri selain cantik, juga berbudi luhur. Ketika saatnya memilih jodoh, dia memilih Satyawan, anak Raja Dyumatsena yang buta dan tinggal hutan karena kerajaannya ditaklukan musuh.
Raja Aswapati berduka karena pilihannya tersebut, karena menurut para resi, usia Setyawan tinggal 1 tahun. Savitri kukuh pada pendiriannya dan memilih hidup tanpa kemewahan, di hutan bersama suaminya.
Ketika Dewa Yamadipati mencabut nyawa Setyawan, Savitri dengan tekad yang kuat mengikuti kemana arwah Setyawan dibawa pergi. Tersentuh kesetiaan Savitri, Dewa Yamadipati akhirnya mengembalikan nyawa Setyawan. Savitri telah membuktikan kekuatan cinta sejatinya.

Dialognya yang indah, dinyanyikan dalam tembang dengan suara yang merdu dan jernih:

Savitri : sumpah kula tan nedya krama yen sanes kaliyan kakang Setyawan (aku bersumpah untuk tidak menikah selain dengan kakang Setyawan)
Yamadipati: mangka wis mati, njur kepriye, nini (tapi dia sudah mati, terus bagaimana, nini)
Savitri: kasetyan nedya kula andemi golonging sedya sumusul kang pralaya (kesetiaan aku pegang dengan erat dan teguh untuk menyusul dia)

Sendratari Savitri dipentaskan dengan apik. Penari bisa menggambarkan kisahnya dengan penuh perasaan didukung lighting dan semburan asap yang membuat panggung seperti di awan. Penari-penarinya yang cantik menari dengan lemah gemulai. Dialog dalam tembang dinyanyikan secara langsung dengan suara yang indah dan jernih.
Walaupun aku tidak bisa mengikuti tembangnya secara keseluruhan tapi aku yakin, pasti bahasanya begitu puitis dan menyentuh hati, seperti dialog Savitri dan Dewa Yamadipati di atas.

Hhhhmmm.... masih adakah cinta sejati seperti Savitri? sementara di sekitar kita begitu banyak berita perceraian. Betapa rentannya cinta ketika banyak prahara datang. Begitu lemahnya manusia sehingga mudah menyerah. Cinta sejati, adalah cinta yang teguh, kokoh, kuat dan kebulatan tekad untuk bersatu. Kesetian adalah wujud dari sumpah untuk bersatu dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, dalam keadaan sehat dan sakit.

Ternyata asik juga nonton sendratari. Aku berterimakasih pada sepupuku yang nekad membelikan tiket dan memaksaku untuk pergi. Selain terinspirasi untuk semakin kuat dan kukuh pada kesetian sumpah yang sudah di ucapkan di depan altar.... aku juga tertarik untuk belajar menari :)) .... (masih mungkin gak sih belajar nari di usia 52... ada nggak yang mau ngajari aku??)

Friday, November 18, 2011

Tuhan... aku malas berdoa...

Aku lagi malas berdoa. Berdoa yang aku maksudkan adalah mengikuti misa pagi. Menuju gereja, sambil berdoa rosario. Tepat jam tiga siang, saat alarm HP ku berbunyi, aku berdoa koronka. Biasanya berjalan dengan lancar, tanpa hari terlewati. Bahkan saat di perjalanan, atau ketika rosario ketinggalan, aku bisa menggunakan jari-jariku. Tapi, sekarang aku lagi malas.... entah kenapa...

Hidup doa yang biasanya begitu menyenangkan, penuh kedamaian karena dekat denganNya, sekarang terasa hampa. Jenuhkah? atau karena merasa tidak ada gunanya. Setidaknya untuk saat ini, saat tiba-tiba merasa tidak sabar menanti... hingga akhirnya dengan pasrah aku cuma bisa bilang... Tuhan, aku malas berdoa.

Mungkinkah ini sekedar jeda dalam kehidupan doaku. Sedikit menjauh untuk melihat karunia apa yang sudah Tuhan berikan ke aku. Mungkin aku seperti anak yang hilang. Baru ingin pergi menjauh sebentar, hingga nantinya kembali pulang dengan penuh kerinduan.
Kerinduan bersimpuh di depan altar mungilku. Menikmati kebersamaan yang indah, merasakan kasihNya yang luar biasa. Bagaikan anak hilang yang pulang dalam pelukan Bapanya.

Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri. Bahwa di saat kehampaan melanda, kehidupan doaku hanya sekedar rutinitas, hapalan. Aku tidak ingin mempersembahkan sesuatu yang tidak sungguh-sungguh ingin aku lakukan. Kepalsuan, kebohongan... tidak ada gunanya. Bukankah Tuhan Maha Tahu....

Sapaan-sapaan kecil lah yang saat ini sering aku lakukan. Sekedar berbisik : terimakasih, maturnuwun Gusti. Mendesah sambil menguap... Tuhan, aku mau tidur... ngantuk sekali.

Aku hanya ingin membiarkan hari-hariku berlalu dalam diam. Meringkuk di sudut hatiku sendiri, membiarkan Dia menguasai segalanya. Biarlah Dia merajai hatiku.

Aku senang sekali berada di hatimu. Aku ingin mengajarkan kepadamu sifat kanak-kanak rohani. Aku ingin engkau menjadi sangat kecil, sebab kalau engkau kecil, Aku dapat mendekapmu di dekat Hatiku, sama seperti saat ini engkau merengkuh Aku di dekat hatimu. ( Bacaan Harian St. Faustina no. 1481)

Tuesday, November 15, 2011

Perkawinan (Selamatan)

Saat ini, tubuh terasa melayang-layang. Antara pingin tidur, capek... tapi nggak bisa tidur. Semalam kami baru sampai di rumah jam 11 malam, setelah mengadakan wisata perkawinan selama 3 hari ke Blitar, Jawa Timur. Jumat, Sabtu dan Minggu. Yang menikah adalah putra pertama dari sepupu suamiku. Pengantin wanita berasal dari Blitar. Yang unik adalah perayaan yang berlangsung selama beberapa hari, karena keluarga pengantin putri menerapkan budaya perkawinan dengan ketat. Sementara itu, di Wedi, Klaten kami juga mengikuti peraturan yang umumnya dilakukan untuk merayakan perkawinan.

"ater-ater"
Selasa siang, kami mulai sibuk belanja untuk membuat "ater-ater" selamatan untuk keluarga dan para tetangga. Aku bisa mengikuti proses ini semua, karena mereka tinggal satu halaman denganku. Masaknya saja di halaman depan rumahku. Awalnya, aku hanya ingin melihat bagaimana persiapan ini semua di selenggarakan. Namun, akhirnya aku bahkan ikut terlibat di dalamnya. Tidak disangka begitu heboh dan rumit. Seumur hidup baru sekarang ini aku melihat bagaimana mereka membuat ater-ater yang penuh dengan makanan unik. Ketika aku bertanya apa arti setiap makanan yang dibuat, mengapa dan tujuannya apa? tidak ada yang tahu. Tukang masak yang sudah ahli menyajikan semuanya pun, tidak tahu. Pokoknya ya harus dibuat seperti itu. Tidak boleh diganti, dan memang sudah turun temurun seperti itu.
Nasi yang dibulatkan segenggaman tangan
Tempe goreng



Telur dadar

Sayur tempe dimasak santan

Sayur gori

Ikan asin  dan kedelai hitam digoreng

Srundeng

















Bumbu gudangan mungil









Sambal
Tertata rapi dalam doos, dengan nasi gurih di tengahnya, dan ayam goreng
Namun, sebelum semua jenis makanan di masukkan dalam doos, diambil sedikit untuk sesajian yang nanti akan didoakan bersama. Sesajian dilengkapi dengan "ingkung", satu ekor ayam yang dimasak dengan santan. Pelengkap lainnya adalah pisang raja.
Sesajian untuk didoakan

"Ingkung"

Pisang raja
Setelah semalam suntuk kami masak (aku pamit jam 23.30, sementara mereka baru selesai jam 2 pagi). Masih dilanjutkan di keesokan harinya, hingga akhirnya tepat pukul 12 siang semua doos sudah bisa di hantarkan ke semua keluarga, kerabat dan tetangga.

Semula, aku merasa malu karena tidak tahu menahu tentang tata cara selamatan untuk menyongsong sebuah acara perkawinan. Tapi, akhirnya menjadi lega karena banyak juga yang heran dengan isi doos selamatan yang tidak biasa. Penuh dengan aneka masakan yang unik, bahkan ada yang tidak tahu maksudnya. Seperti ada sepotong kacang panjang dan cabai merah.
Apapun artinya, pasti tujuannya baik. Yang pasti, menjadi sajian makan siang yang lain dari biasanya. Dan ini menjadi kenangan... menjadi cerita yang sering diobrolkan dari waktu ke waktu... dan pasti akan menjadi kenangan cerita yang indah pula bagi sepasang pengantin ini nantinya, di masa tua. Salah satu tujuan doanya adalah perkawinan mereka langgeng sampai tua.

Hhhhhmmmm.... aku jadi mengenang bagaimana pesta perkawinan dulu...

Monday, November 7, 2011

Ibu, dalam kenangan

Tiba-tiba aku kangen ibu. Rindu menyusup dibawah ketiaknya. Membaui aroma yang segar dan sedap, karena ibu seorang vegetarian. Kehangatan yang wangi, terbawa hingga kini. Aku seorang ibu, dengan dua anak dewasa yang sudah tidak tinggal lagi serumah. Apa yang akan anak-anakku kenang tentang aku nantinya??

Ibuku meninggal dalam usia yang masih cukup muda, 56 tahun. Beliau seorang yang berhati lembut, rendah hati namun penuh semangat. Sayangnya, ibu tidak suka pergi ke dokter. Menjelang usia 50 tahun, sering di bujuk untuk check up, tapi selalu ditolak. Alasannya aneh "nanti ketahuan penyakitnya...". Dan tidak ada seorangpun yang berhasil membujuk beliau.

Pagi itu, 8 Agustus 1981. Seperti biasa pagi-pagi ibu sudah berencana pergi dengan temannya. Kegiatan ibu-ibu Dharma Wanita. Kebetulan aku masih di rumah dengan mbakku, ketika tiba-tiba aku mendengar ibu berteriak "aku kok nggak merasa apa-apa..". Waktu aku dan mbakku berlari mendekat, ibu sedang duduk lemas di kursi dekat meja telpon. Beliau baru saja meletakkan telpon, setelah mengadakan janji dengan temannya untuk pergi.
Berdua kami menidurkan ibu di sofa. Dan aku langsung menghubungi bapak yang sudah berada di kantor. Aku melihat kondisi ibu semakin lemah. Ketika aku melihat bibirnya mulai miring, aku sadar ibu pasti terserang stroke. Aku cuma bisa berbisik di telinganya "ibu berdoa ya... berdoa terus... jangan putus... bapak sudah dalam perjalanan". Ibu cuma mengangguk, itulah terakhir kali aku bisa berkomunikasi dengan ibu dalam keadaan sadar.
Tak lama kemudian bapak datang, dan ibu segera di bawa ke rumah sakit. Ketika di mobil, aku melihat wajah ibu tidak bereaksi ketika terkena sinar matahari, aku semakin kawatir melihat tubuhnya yang pasif.
Ibu terkena stroke. Sayang pendarahan ada di otak kecil. Maka setelah 38 jam berjuang, beliau pergi. 9 Agustus 1981, aku menjadi anak yatim. Hanya dua bulan setelah kami mengadakan selamatan 1000 hari meninggalnya adikku...

Aku ingat, setelah peringatan 1000 hari meninggalnya adik, ibu bercerita kalau mimpi bertemu adikku di pantai. Adik kelihatan masih kecil. Dia mendekati ibu sambil membawa balon. Tiba-tiba adik terbang bersama balon yang bertuliskan "berdoa". Tidak disangka ibu akhirnya pergi menemani adikku. Walaupun aku begitu kehilangan, tapi aku merasa senang ibu bersatu dengan adikku. Aku masih memiliki bapak yang dalam tekadku, ingin aku temani sampai akhir hayatnya....

Hari ini aku cuma ingin berbisik... ibu.. aku kangen....