Pages

Saturday, February 18, 2012

Kunyanyikan untukMU…


Kalau suster yang bernyanyi, pasti bukan lagu rock, lagu cinta yang mendayu, atau lagu goyang dangdut ala Ayu Ting Ting. Tapi sebuah lagu untuk mengiringi misa. Lagu yang syairnya penuh cinta dan syukur kepada Tuhan.
Dua hari ini suster-suster asik berlatih musik dan bernyanyi. Ada frater yang melatih mereka bermain gitar dan orgen. Mendadak, susteran yang biasanya sunyi senyap, mengumandangkan lagu-lagu merdu dengan iringan gitar dan orgen. Ada apa gerangan?
Bukan hal biasa sebenarnya. Hanya sebuah tantangan yang di lontarkan kepada suster-suster untuk mengiringi misa dengan lagu dan musik yang mereka bawakan sendiri. Tantangan yang indah, dan suster-suster menyambutnya dengan sukacita. Menyenangkan berada diantara mereka yang penuh semangat belajar memetik gitar sambil bernyanyi…
Betapa hatiku
Berterimakasih... Yesus
Kau mengasihiku
Kau memiliki
Hanya ini Tuhan persembahanku
Segenap hidupku, jiwa dan ragaku
S'bab tak kumiliki harta kekayaan
Yang cukup berarti 'tuk ku persembahakan
Hanya ini Tuhan permohonanku
Terimalah Tuhan persembahanku
Pakailah hidupku, sebagai alatMu
Seumur hidupku

Pertobatan Suster Santi


Kalau anak berseteru dengan orangtuanya, itu biasa. Yang luar biasa adalah anak dan orangtua bisa seiya sekata, kompak dan bersatu! Adakah yang seperti ini?? Rasanya lebih sulit menemukannya, dari pada menemukan kasus perseteruan anak dan orangtua.
Masih ingat lagu…. “rokerrrr… juga manusiaaaa…”… aku akan senang menyanyikannya dengan… “susteeeerrr juga manusiaaaa…”. Mengapa? Karena aku mendengar cerita suster Santi yang berseteru dengan ibunya. Tidak penting apa permasalahannya, karena memang hal ini wajar terjadi pada siapa saja. Komunikasi yang amburadul. Ibu merasa sudah pernah muda, sedang anak belum pernah menjadi orangtua, atau ibu khususnya.
Tuhan tidak tinggal diam. Suster Santi disempurnakan melalui pengalaman yang luar biasa. Suatu hari, ada bayi 4 bulan yang ditinggalkan di susteran begitu saja oleh ibunya. Suster Santi mendadak menjadi ibu. Segala upaya dia lakukan untuk merawat bayi tersebut. Panik melanda ketika bayi tersebut tidak mau berhenti menangis. Semalaman dia tidak bisa tidur…
“dede… kenapa??? Jangan menangis terus… suster tidak tahu harus bagaimana…” tapi si bayi tidak peduli. Dalam keputusasaan, suster membujuk si kecil “ayolah de… berhentilah menangis sebentar saja, supaya suster bisa berdoa di kapel”. Dan si kecil diam… tapi setelah doa di Kapel selesai… si kecil menangis lagi… tanpa henti hingga keesokan harinya…
Akhirnya, suster membawanya ke Puskesmas. Suster bahkan tidak tahu bagaimana menggendong bayi. Dia membawanya seperti membawa bendera pusaka saat upacara bendera!! Sungguh menegangkan!. Ternyata bayi ini kembung perutnya. Yang waktu itu dikira suster bayi ini gemuk…. Yah… suster bahkan tidak tahu sama sekali bahwa bayi 4 bulan mesti diberi susu tiap 2 jam sekali. Dia memberinya susu sehari hanya 3 kali seperti orang dewasa.
Pengalaman merawat bayi, membuat Suster sadar bagaimana dulu ibu merawatnya. Pengalaman ini membuatnya bersimpuh di kaki  ibu untuk minta maaf. Titik pertobatan yang merubah semua pandangan suster tentang ibunya. Dan suster juga disempurnakan sebagai seorang ibu, bagi 60 anak asuhnya kini.
Di akhir cerita Suster berkata dengan penuh kebanggaan “akhirnya saya berhasil membedakan tangisnya. Tangis karena lapar, haus, pipis atau berak, atau tangis manja….” Dan dia melanjutkan “anak itu sekarang sudah 5 tahun, setiap saya datang, baru turun dari sepeda motor, dia akan berlari bersama anak-anak kecil lainnya…… oma dataaaaaaang… dan mereka memelukku dari belakang, dari depan, samping… menyenangkan sekali..”
Kisah suster Santi membuat mataku berkaca-kaca.

Melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar


Papan di depan susteran bertuliskan:
Susteran PPYK
Putri-Putri Yesus Kristus
Komunitas
St. Theresia Kanak-Kanak Yesus
Bangunan susteran terkesan sederhana. Suster Santi, adalah wakil kepala, mengatakan bahwa memang susteran tidak boleh dibangun bagus dan mewah. Ini pesan pendiri Susteran PPYK, yaitu Suster Melanie, yang sudah meninggal. Mengapa sederhana? Supaya menyatu dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya, dan supaya mereka tidak sungkan untuk berkunjung ke susteran.
Tujuan susteran didirikan di tempat terpencil seperti ini, untuk mendekatkan diri pada masyarakat sekitar. Bersatu dengan orang-orang kecil, sederhana, terlupakan. Siapakah mereka? Para lansia, anak-anak kecil yang terbuang, remaja yang gamang menghadapi masa depannya, dan siapa saja yang datang dengan hati yang kosong, hampa dan miskin.
Mereka memiliki 60 anak asuh, dari bayi hingga klas 3 SMA atau SMAK. Setelah mereka lulus, tidak ada kewajiban sama sekali untuk membalas jasa baik mereka.
“anggap mereka anak-anak yang kalian lahirkan, rawat dan besarkan hingga mereka mampu berdiri sendiri” itulah pesan Suster Melanie.
Cinta yang besarlah, yang membuat mereka mampu melakukan ini semua dengan penuh ketulusan dan suka cita. Tidak ada yang sulit, ketika semua dilakukan dengan cinta.
Mengasuh 60 anak dengan memberi mereka tempat, makan dan pendidikan.
Mengunjungi Mbah Jo, Mbah Sudi.. dengan berjalan kaki.
Ikut terlibat di dapur umum untuk para korban merapi. Naik truk bersama para tentara ke tempat-tempat pengungsian.
Menanam 11.000 pohon dan memeliharanya di lereng-lereng Merapi, supaya bertambah hijau. Termasuk menanam berbagai tanaman sayur dan buah untuk Mbah Sudi.
Menyediakan tempat retret untuk siapa saja yang ingin memperbaharui spiritualitasnya.
Dan… menyediakan kamar untuk orang seperti aku, yang sekedar ingin mengetahui lebih dekat kegiatan mereka dan aku disambut dengan tangan dan hati yang terbuka… Tuhan Maha Agung.

Candle Light Dinner

Hari terakhir di susteran membuatku mengemas pakaian dengan sedih. Setelah pagi tadi mengikuti misa dan mengikuti adorasi 1 jam di kapel, kini saatnya untuk pergi. Suster Hendrick datang ke kamar kami, dan bertanya “sudah pernah ke jembatan Kali Kuning?”. Aku jadi ingat, hari pertama aku disini, aku berjalan-jalan sendiri menuju jembatan Kali Kuning. Tapi, aku jadi malu sendiri ketika melihat sepasang remaja sedang berpacaran. Hingga akhirnya aku kembali pulang. Suster mentertawakanku. Memang disana tempat orang berpacaran.
“ayo kita kesana lagi… indah sekali tempatnya” aku, Leah dan Suster akhirnya berjalan kaki ke Jembatan Kali Kuning, yang hanya 500 m dari susteran. Dalam perjalanan Suster yang memegang kameraku, asik mengambil gambar apa saja yang membuat dia tertarik, dan kami berdua menjadi modelnya. Ketika Suster kawatir kalau terlalu banyak gambar yang dia ambil, aku menenangkannya “jangan kawatir, ambil saja sesuka Suster, bisa muat sampai 1000 gambar kok…” dan beliau senang sekali.
candle light dinner??
Kali Kuning yang sudah dipenuhi batu-batu besar, tetap membawa pesona dan romantisme yang membuat orang ingin berpacaran di sana. Jadi, memang sewajarnya kalau menjadi tempat para remaja memadu kasih. Sepasang remaja, akhirnya memilih menyingkir pulang ketika kami datang. Apalagi ada suster bersama kami. Takut dosa mungkin… hahaha…
Leah yang penuh ide cemerlang tiba-tiba banyak terdiam… “I’am thinking…” katanya dengan raut muka penuh senyum seperti biasa…
cat walk
Ketika kami tiba di sekitar batu-batu besar, duduk diatasnya sambil menikmati gemericik suara sungai.. tiba-tiba dia berseru “we can make candle light dinner, here… it’s sooo… romantic!!”… katanya ceria… dan gagasan liarnya semakin mengembara. Sebuah acara amal untuk korban Merapi!.... Candle light dinner di atas batu, dengan sajian fashion show… dengan jembatan sebagai cat walknya…. Wooow…. Amazing!!..
Sebuah ide cemerlang untuk bisa diwujudkan!. Siapa tertarik untuk bergabung??? Tentu saja dengan catatan tidak hujan…!

Friday, February 17, 2012

Kuat bertahan

Orang menyebutnya “wingit”… angker
Dan mereka takut mendekat
Aku menyebutnya “kokoh”
Bahkan ranting-rantingnya pun masih bercabang utuh
Akarnya, bagai cakar raksasa menancap kuat
tak tergoyahkan…
Panasnya lahar dan debu
Menghempas keras semua kehidupan.
Dia tetap tegak, tanpa hijau daun
Megah… tak ingin menyerah!
Aku menyebutnya “inspirasi”
Dan aku ingin sepertimu…
Kuat… bertahan…

Rumah Malam Hari

Aku bisa merasakan bagaimana kehilangan rumah. Sebulan sebelum Merapi meletus rumahku laku terjual. Aku berencana untuk tinggal di daerah Pakem. Tapi karena gunung Merapi meletus, semua mimpi hanyut terbawa lahar dan debu. Demikian juga dengan mereka. Tidak mudah untuk tinggal di tempat yang baru. Apalagi semua itu bukan sesuatu yang kita harapkan. Tapi apa mau dikata….

kandang ayam
Bersyukur, bahwa begitu banyak uluran tangan untuk para korban gunung Merapi. Banyak didirikan shelter bambu yang bisa menjadi tempat tinggal sementara bagi mereka. Dari pada tinggal di pengungsian terus. Mereka membutuhkan kehidupan yang wajar bagi satu keluarga. Memulai kehidupan lagi sambil menunggu kesempatan untuk bisa memperbaiki rumah mereka kembali.  Mereka juga diberi fasilitas untuk memelihara ternak, seperti kambing, sapi, ayam dan ikan.

Banyak orang bertanya, “mengapa harus kembali? Mengapa tidak pindah di tempat yang lebih aman?” Adakah pilihan yang baik untuk mereka? Atau mereka memang ingin kembali, karena merasa disinilah tempatnya. Dan mereka tidak peduli lagi bagaimana kalau terjadi letusan lagi. Bagaimana dengan masa depan anak-anak mereka? Kalau pertanyaan ini aku lontarkan, mereka tidak mampu menjawab. Seakan-akan memang di depan sana, tidak ada yang pasti untuk bisa dipilih.

kolam ikan
Shelter home, menjadi hunian lenggang di siang hari. Mereka hanya menempatinya malam hari. Dari pagi hingga malam, mereka kembali ke lereng merapi. Berjualan berbagai souvenir dan makanan. Menjadi ojek yang menawarkan jasa untuk mengantar pengunjung kemanapun mereka ingin pergi. Menyewakan motor trail untuk melewat medan yang keras dan terjal. Dan untuk rombongan ada jeep yang siap menjalani off road bersama pengunjung ke Lava Tour.
kandang sapi

Dan malam hari… mereka kembali ke rumah. Rumah untuk beristirahat, menatap hari esok yang tak pasti. Cukuplah hari ini saja untuk di syukuri. Hari esok menjadi rancangan Tuhan Yang Mahakuasa. Tempat berlindung dan mengadu segala resah dan lara hati.

Tuhan, semoga hujan yang turun tidak terlalu deras dan berangin. Sehingga air tidak masuk kerumah kami… melalui dinding-dinding bambu yang menjadi satu-satunya pelindung tubuh kami. Dan semoga esok hari Engkau memberi kelimpahan berkah sehingga kami bisa menjalani hari-hari kami dengan gembira dan penuh suka cita…

Thursday, February 16, 2012

I like... and I don't like...

Seharian hujan di lereng Merapi. Membuat kami tidak bisa melakukan apa-apa. Selain nongkrong di warung di parkiran Glagahsari, 3 km dari gunung Merapi, kami hanya bisa berada di dalam mobil. Glagah sari menjadi tempat yang tepat untuk memandang puncak Merapi dari dekat. Sayang tertutup kabut tebal dan hujan yang sangat deras.
Udara yang dingin membuat kami lapar. Tapi perjalanan pulang ternyata tidak mudah. Jalan yang tadi kami lalui sudah longsor terkena air hujan. Akhirnya kami harus berputar dan mencari jalan lain. Tidak terasa sudah jam 3 siang… cacing di perut mulai protes keras!! Lapeeeeeeerrrr……
“mau makan apa nih???” Tanya mas Kris, relawan yang bener-bener rela mengantar kami kesana-kemari.
“soto… atau bakso…pokoknya yang panas!” kataku…. Leah setuju. Dia seneng sekali makan soto. Tapi, memang dia senang semua masakan Indonesia. Dan mas Kris membawa kami ke sebuah warung soto, tempat teman-teman club jeep nya berkumpul.
Hujan masih turun, dan semangkok soto yang mengepul membuat cacingku bersorak gembira. Segera ludes tanpa sisa…. enak!. Leah bilang “the best soto I ever eat”…. Mungkin karena lapar dan dingin, jadi rasanya memang luar biasa enak!!.
Leah, si bule cantik ini, memang menarik perhatian. Ibu penjual soto, sampai mau duduk di depan kami untuk mencoba mengobrol, walaupun dengan bahasa Jawa kromo, dan aku menerjemahkannya untuk Leah. Datanglah kedua anaknya mendekat. Fian 6 th, da Erwina 10 th.
Mata indahnya yang berbinar ingin sekali bercakap-cakap dengan Leah, tapi malu. Aku mencairkan suasana dengan mengajarnya bernyanyi ABC… dia mengikutinya dengan cukup baik. Erwina klas 4 SD, jadi sudah ada pelajaran bahasa Inggris. Tiba-tiba Erwina menghilang. Spontan aku menggerutu “welah… diajari kok malah lunga..”
Ternyata, beberapa saat kemudian Erwina kembali membawa buku pelajaran bahasa Inggris. Dia menunjukkan ke Leah. Leah sangat antusias menanggapinya. Dan berlangsunglah kursus bahasa Inggris kilat, sambil menunggu hujan reda.
Leah melatih pengucapan…. I like…. Diikuti pengucapan setiap gambar yang ditunjuk di bukunya. Erwina mengikutinya dengan sangat baik dan lancar. Ketika Leah mengajarkan I don’t like…. Erwina selalu salah menyebutkan. Berkali-kali ditekankan pada kata don’t  tapi tetap saja lupa….
Mata Erwina yang berbinar penuh semangat, keberaniannya untuk belajar dan berbicara dengan Leah, membuat kami terkesima. Leah tergelitik untuk menjadi relawan di sekolahnya, mengajar bahasa Inggris. Bukankah bahasa Inggris sangat penting mereka kuasai, mengingat sekarang banyak turis yang berkunjung untuk memadang gunung Merapi dari dekat.
Erwina dan Fian… dua bocah cilik dengan mata binarnya dan senyum ceria, membuat kami ingin kembali… 

A Gift List!

Leah Hendrick
Her name is Leah. Sounds like “Lia” in Bahasa Indonesia, a beautiful young lady indeed. I met her on January 16th this year, exactly a month ago. She came to my house by bicycle with my sister in-law, Shinta. After shaking hands and saying, “Nice to meet you” with a sweet big smile, our conversation seemed like we had already known each other for a very long time. She is at the same age as my daughter, that’s why I feel like I have a new daughter who came from far away. She is originally from New York, USA. She studies English, that’s why her English is clear and easy to understand.

Shinta met Leah at the train station in Jogjakarta. She didn't know how much she should pay for the taxi. The taxi asked her to pay way more  than it should be. Shinta helped her, and since then they have become friends. We helped her to get a nice place to stay. And sometimes Leah stays overnight at Shinta’s house, and gaves her a short course in English for her children. Shinta also helped her to get another place, when she realized that the first place was not suitable anymore.

Leah is interested in Javanese culture. She wants to write a theater script. She is also excited for being a model. Luckily, there is a man who offers her to be a model for sport shoes. I have no experience about being a model. As a mom sometimes I feel so worried. That’s why on the day she had to deal with the agent, I decided to accompany her. I just wanted to make sure she met a real agent, and good person. I drove her by myself to buy clothes and shoes. I brought her to the agent. It’s was a good agent indeed, and I didn’t need to worry at all.

 I did a lot of favors to her because she is just like my own daughter. And she is a nice and good woman. I know her mom would be very glad if she knew that her daughter was safe and sound.
Leah realizes that Shinta and I helped her beyond what she expected. That’s why Leah tried to do the same for us. When she knew that I wanted to cut my hair, she asked to pay for it. I agreed because she thought she had done some favor back  for the things we have done for her.

The day we made an appointment to meet in Ambarukmo Plaza I was late. On Saturday, there is always a traffic jam in Jogjakarta. When I got there, she’d already bought another pair of 13 cm high heeled shoes, for her first fashion show in Malioboro the following week. I met her at Starbucks. After having a cup of Cappuccino, we had a lot of topics to talk about. The one that I was really interested in is in her gift list!.

Leah made a list in her notebook. A gift list for every person who helped her so far. She is confused, because when someone helps her, and she gifts something back to that person, he or she will give back even more to her, so her list is growing. She always adds to her list, until she does not know what to do.

I said, “Just stop it. Accept it and say thank you… that’s all you have to do”. Leah learned something new here, in which people do something good without expecting something in return; I also learned from her too, that I must remember to give something back to the people who help or give me something in the past. Maybe not for every person, but at least I always remember that. A gift list, is not only a present list but a love list as well. Love to smile; love to say thank you, love to say HI, how are you? (edited by Yongkie Hurd and Tinneke)


Note: A big thanks to Yongkie Hurd who encouraged me to write in English, so this is my first trial to do so..

Wednesday, February 15, 2012

"...berjaga-jagalah..."

 "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? 26:41 Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Mat 26:40-41).

Beruntung sekali aku bisa mengikuti acara adorasi di susteran yang dilaksanakan setiap hari Senin. Pagi itu, pukul 6 ada misa yang dipimpin oleh Romo Kris. Misa biasa. Yang luar biasa adalah lagunya diiringi gitar yang dimainkan 2 orang suster, yang hanya berlatih selama 2 hari.
Pada hari ini, suster-suster puasa, dan baru akan berbuka puasa nanti jam 18.00. selain itu, ada adorasi untuk hening menemani Sakramen Mahakudus yang diletakkan di atas altar di Kapel. Keheningan akan berlangsung selama 24 jam hingga besok jam 6 pagi. Setiap jam ada 2 suster yang hening dalam doa dan meditasi di kapel. Jadwalnya urut bergantian setiap 1 jam. Aku dan Leah memutuskan untuk ikut mengambil jadwal hening pada jam 9 hingga 10.

Ketika giliran kami tiba, aku dan Leah memasuki kapel yang sepi. 2 orang suster keluar dan kami gantikan. Diam dalam doa. Setelah selesai satu putaran Rosario, aku hanya berdiam diri, dengan pikiran melayang kemana-mana. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Leah. Tapi aku tahu dia berusaha pula untuk diam selama 1 jam. Satu hal yang katanya belum pernah dia lakukan.
Aku biarkan waktu berlalu… dan ternyata 1 jam tidak terasa. Ketika aku mendengar suara pintu kapel dibuka, dan 2 orang suster masuk…. Aku tahu aku sudah berhasil melewati 1 jam dalam keheningan. Hhhmmm… sebuah pengalaman yang indah.
Diam membuat kita mendengar. Mendengar suara gemericik air sungai di sebelah kapel. Merasakan angin sejuk yang kadang-kadang menerpa lembut wajahku… entah dari mana. Karena semua pintu tertutup. Aku ingin mendengar sesuatu dariNya…. Tapi aku tidak mendengar apa-apa. Tapi, diam 1 jam membuat daging berisitirahat mengumbar keinginan, dan membiarkan roh mencari ketenangan. Dan aku memperolah kedamaian yang indah.

"...aku ingin bersamamu..."


rumah mbah Sudi
Seandainya pagi itu aku bisa bertemu mbah Sudi, mungkin aku bisa ngobrol banyak dan mendapatkan jawaban yang tepat, mengapa dia mau tinggal di tempat sesunyi ini sendirian. Sedikit di atas tempat tinggal mbah Marijan, tapi kami belok ke barat, sedangkan rumah mbah Marijan ke timur. Setelah melewati jalan tanah yang sempit. Mobil bisa mencapai lokasi yang sedikit lapang.
Untuk mencapai rumah mbah Sudi, kami harus berjalan kaki lagi, melewati jalan setapak naik dan turun, kira-kira 15 menit. Di tempat yang begitu terpencil, sunyi… mbah Sudi bertekad menghabiskan sisa hidupnya disini. Konon usianya sekitar 70 tahun. Masih kuat berjalan ke desa, dan pulang membawa sekarung kayu bakar atau arang. Kami mengunjungi mbah Sudi untuk mengantarkan kasur.

Dihalaman depan rumahnya, ada kandang ayam. Kalau kami berjalan terus ke barat, di sana ada tanaman sayuran. Buah labu, tomat, kacang panjang, sawi, dan cabe. Cukup untuk lauk sehari-harinya. Kami berkeliling, sambil berteriak mencari mbah Sudi, tapi tidak bertemu. Akhirnya kami kembali kerumahnya yang tidak dikunci, sehingga kami bisa memasukkan kasur ke kamarnya yang sederhana. Karena tidak menunjukkan tanda-tanda mbah Sudi akan muncul, mungkin sedang pergi ke desa, maka kami memutuskan untuk pulang.
kacang panjang

Dalam perjalanan menuju kendaraan kami diparkir, teman kami bercerita, bahwa salah satu anak mbah Sudi, bernama Wahana menjadi korban letusan gunung Merapi. Setelah menyelamatkan ibunya, Wahana bolak-balik menyelamatkan anak-anak kecil dengan dibonceng sepeda motor. Ke tujuh kalinya dia kembali ke atas untuk menyelamatkan anak-anak lain, tapi dia tidak pernah kembali.
Mbah Sudi memilih tinggal sendiri di lereng tertinggi, dingin, sepi dan sendiri. Seandainya aku bisa bertemu dengannya dan bertanya, mengapa mau tinggal disini sendirian?.... jawaban yang aku bayangkan, sebagai seorang ibu adalah “aku ingin bersama anakku….”.
Satu setengah tahun sudah sejak gunung Merapi meletus. Kisah-kisah sedih dibalik peristiwa membuatku sesak napas dengan mata berkaca-kaca.

Puing-puing kenangan

Ketika putri gunung memuntahkan amarah
Lahar dan awan panas tidak mampu kami cegah
Melahap semua yang pernah kami miliki
Meninggalkan hanya satu warna kedukaan… kelabu

Kemana kami harus pergi?
Ketika pelindung kami tinggal kerangka batu bata
Yang bahkan tidak lagi kuat menahan atap
Mengusir badan bersimbah debu dan airmata

Tuhan,
Puing-puing yang Kau tinggalkan
Kini, hanya bisa menyimpan kenangan…





Planet Kaliadem


Leah adalah bule Amerika cantik yang memiliki magnet, sehingga setiap orang yang bertemu dengannya terpesona. Dia selalu tersenyum dengan siapa saja “I love to see them smile” katanya. Tentu saja mereka tersenyum, membalas senyuman bule secantik Leah. Tidak heran kalau ada seorang relawan yang rela menghantar kami dengan jeepnya, menuju Lava Tour.

Jam 3 siang, kami bertiga berangkat menuju Kaliadem, daerah yang paling dekat dengan dengan semburan lahar panas. Jeep membawa kami melewati jalan berbatu, mirip sungai. Tubuh kami terlempar dalam goncangan keras tiap melewati batu-batu besar. Setelah melewati desa Kopeng dan Jambu, akhirnya kami sampai di daerah Kaliadem.
Terkesima dengan hamparan lahar dan bebatuan, tidak terbayang bagaimana hal ini bisa terjadi dalam sehari. Luluh tantak tak bersisa. Bahkan ada beberapa tempat masih mengeluarkan asap panas dengan bau belerang.
Kami berjalan hingga ke ujung jurang… hamparan  lukisan alam yang mengerikan. Ngarai yang dipenuhi lahar. Kalau terjadi hujan deras, didasar jurang bisa terjadi ledakan keras hingga setinggi 1 km. Karena sisa panas lahar yang disiram air hujan!. Belum lagi lahar dingin yang mengalir bersama derasnya air hujan, yang membawa jutaan kibik pasir ke setiap sungai yang dilaluinya.



Planet Kaliadem


panas dan bau belerang






mas Kris, relawan yg rela mengantar kami






Berjalan di atas lahar di daerah Kaliadem, rasanya seperti berjalan di atas planet. Bukan bumi yang kita kenal. Inilah planet Kaliadem…. Warna lahar menjadi abu-abu tua ketika hari mulai senja, dan kabut menyelimuti pemandangan kami. Bebatuan tersebar di mana-mana… tidak ada kehidupan, selain kami bertiga.
Merapi dalam ketegarannya, beranjak hilang dari pandangan, tertutup kabut yang semakin tebal… dan kami beranjak pulang.. meninggalkan kengerian yang senyap.
Planet Kaliadem menjadi obyek wisata, yang sekarang menjadi sumber penghasilan bagi penduduk lereng merapi. Hanya ada 15 jeep yang boleh beroperasi disana. Untuk daerah yang medannya berat juga tersedia motor trail untuk disewa, maupun dikendarai sendiri. Untuk daerah yang masih bisa dijangkau kendaraan roda dua biasa, tersedia ojek. Hasilnya, sebagian untuk  kas desa dan kesejahteraan para orang tua dan janda. Semangat yang luar biasa untuk kembali bangkit dan berbagi. Sementara gema sumbangan yang begitu kuat di saat bencana terjadi, mulai sayup-sayup… dan menghilang perlahan. Hidup harus terus berlanjut!, segala upaya dan usaha terus dilakukan oleh penduduk bekerjasama dengan orang-orang yang masih peduli dan memiliki ketulusan hati untuk berbagi.
Pemandangan hari ini, membawa mimpi buruk dalam tidurku. Tak terbayangkan bagaimana dengan mereka yang sungguh mengalaminya.

Goresan di wajah Sang Putri



wajah yang terkoyak
Sisa lahar di puncak gunung merapi, seperti goresan luka di wajah putri gunung. Menghapus kesegaran yang dipercantik dengan semburan rona merah di pipinya. Luka lebar di puncak menggambarkan kesedihan yang menjadi tontonan banyak orang, termasuk aku…
Aku hanyalah penonton… memandang dari jauh, tidak cukup bagiku. Mendekatinya, hingga tempat yang paling mungkin kutempuh. Tempat dimana Mbah Marijan, juru kunci merapi tinggal. Menjaga dan mencintai sang Putri hingga ajal direngutnya. Menatap keganasan api yang meninggalkan karat di seluruh tubuh mobil yang seharusnya menghantarnya ke tempat aman. Rumahnya tinggal kenangan. Tak bersisa sedikitpun.
mobil yang seharusnya menyelamatkan mbah Marijan



Apa yang aku lihat sekarang? Batang-batang pohon yang hangus. Ada yang tegak, juga yang tergeletak tak berdaya. Meninggalkan kenangan pahit, diantara hijaunya kehidupan baru yang tumbuh di sekitarnya.



Gerahkah sang Putri dengan kehidupan di sekitarnya? Kehidupan sosial yang menjauhkan diri dari norma hidup manusia yang benar. Lerengnya menjadi tempat bercengkarama orang tua maupun muda. Kesejukan udaranya, justru menggoda ketaatan dan kesetiaan. Kesucian tercabik tanpa perasaan dosa lagi.
“jangan kaget bu… disini, banyak perkawinan yang berkali-kali, mungkin karena udaranya dingin” kata salah seorang anak Mbah Jo, sambil tertawa terkekeh-kekeh. Mbah Jo sendiri menikah dua kali. Aku tidak berani bertanya, berapa kali anak mbah Jo menikah. Ketika melihat aku hanya tersenyum saja, dia menambahkan.
“semoga anak-anak mudanya nggak meniru yang tua”… lho bukannya terbalik?
Banyak penginapan di sepanjang jalan menuju ke atas. Udara dingin selalu menjadi alasan perselingkungan atau hubungan yang melebihi norma agama bagi anak-anak remaja. Kalau orang berpacaran sampai ke daerah atas merapi selalu di anggap negative. Tapi mungkin benar juga…. Bahkan jalan sebelum menuju ke susteran juga banyak penginapan.
Mungkinkah ini semua yang membuat gunung Merapi memuntahkan uneg-unegnya? Menjadi tangisan yang membawa banyak korban. Menyemburkan kemarahan dan kejengkelan atas kehidupan penduduk di sekitarnya. Seandainya aku boleh tahu, sayangnya aku tidak pernah tahu….
Aku hanyalah penonton….

Sulitkah berkomunikasi??



Sulitkah berkomunikasi? Kalau bahasa kita berbeda, jelas sulit. Tapi kalau kita memiliki bahasa dan budaya yang sama… mengapa masih terjadi salah paham dalam berkomunikasi??
Ketika aku datang ke susteran ini¸aku sudah jelas mengatakan bahwa aku ingin tinggal disini dari Kamis sampai dengan Senin. Suster mengatakan, dia harus konfirmasi dulu dengan suster kepala, maka aku harus menelpon lagi sore nanti.
Sore hari aku mencoba menelpon, tapi suster kepala sedang pergi. Aku bertemu dengan wakilnya. Sekali lagi aku mengatakan akan datang Kamis dan tinggal sampai dengan Senin. Aku diminta menelpon lagi besok sore. Baiklah…
Esok sorenya, kutepati janjiku. Karena tidak bisa bertemu suster kepala maupun wakilnya, aku meninggalkan pesan untuk datang hari Kamis. Untuk memastikan sekali lagi, aku mengirim sms. Bagiku sudah cukup jelas!.
Ketika Kamis aku tiba, mereka terkejut. Merasa aku belum memastikan kedatanganku sehingga kamar belum siap!. Lhoh….????

Setelah sehari tinggal di susteran, aku tertarik untuk ikut para suster berjalan ke atas untuk melihat matahari terbit, sekalian berolah raga. Untuk itu, aku berpesan untuk dibangunkan pagi-pagi benar. Aku terbangun, ketika matahari sudah memancarkan sinar terangnya, dan para suster sudah kembali dari berolah raga. Aku tidak dibangunkan. Kenapa?? “Karena kamar ibu masih gelap, ibu masih tidur…”  ya iyalah.. kalau aku sudah bangun, ngapain minta dibangunkan?? OMG…

Pagi ini, aku kembali dibuat jengkel berkaitan dengan komunikasi. Hari kamis, sebelum berangkat, aku minta ke taxi yang mengantarku, bahwa Sabtu aku minta mereka menjemput Leah temanku di kostnya, kemudian di antar ke susteran. Minta di jemput jam 9 pagi.
Hampir jam 10, aku menunggu kedatangannya kok tidak muncul juga. Aku telpon Leah… katanya taxi belum datang. “why don’t you call me?” tapi, ya sudahlah, dia orang bule, dari pada berantem di telpon. Aku telpon taxinya,
“ kok temanku belum dijemput?” tanyaku
“sudah dijemput nggak ada bu, katanya pergi ke Klaten naik sepeda”  lhoh… masak? Dia barusan tak telpon masih nunggu sejak jam 9 pagi.
“jemputnya kemarin toh bu??” OMG…OMG… gimana nih?? Kan aku bilangnya Sabtu??!!...
Kok ya kemarin nggak telpon, gak ngabari?? Susahkah…. Kan ada HP?? Buat apa HP kalau nggak dipakai? Akhirnya taxi diusahakan dan Leah  baru dijemput jam 10 lebih….
Konyolnya…. Taxi datang, hampir jam 11 siang… tanpa Leah!!... lhoh kok bisa?? Dengan heran sopirnya berkata,
“saya diminta menjemput ibu disini?”  ya Tuhan… apa yang terjadi hari ini. Mencoba tidak marah¸ dan masih dengan suara ramah, aku menelpon pemilik taxinya.
“lhoh bu, saya sudah minta dia untuk menjemput teman ibu, bukan ibu”… ya sudahlah…
Aku menelpon Leah, dia hanya bisa berteriak dengan surat berat…”Nooooooo…!!!”… tapi dia masih bersemangat untuk datang, dan mau bersabar untuk menunggu taxi yang kembali ke Jogja untuk menjemputnya dan membawanya ke susteran. Satu jam lebih terbuang dengan sia-sia, belum lagi bensinnya!.

Hhhhmmm… apa yang salah??
Lupa? Mengapa tidak dicatat?
Ada yang tidak beres atau ragu-ragu? Mengapa tidak bertanya?
Tidak ada gunanya saling menyalahkan dan menunggu dengan sia-sia…
Mengapa harus menduga-duga… dan berhenti sebelum semuanya menjadi jelas dan tuntas!.
Bertanya…. dan bertanyalah terus… jangan berhenti sampai kamu mendapatkan informasi yang benar dan tuntaskan pekerjaan!!! 
aku dan Leah... akhirnya bertemu!!

Mbah Jo

Gara-gara nyamuk, aku terlambat bangun. Dan aku kehilangan moment berjalan-jalan dengan suster, olah raga sambil melihat matahari terbit. Nyesel… tapi ya sudahlah… masih banyak waktu.
Ketika makan pagi, suster bercerita kalau tadi bertemu Mbah Jo yang hari ini mau membuat “ameng-ameng”…. “apa itu bu?” Tanya suster yang kebanyakan datang luar jawa. Wah… aku sendiri tidak tahu. Dan aku jadi ingin tahu!.
“bagaimana saya bisa sampai ke sana Suster? Mungkin saya bisa membantu mbah Jo mempersiapkan “ameng-ameng”, yang menurut penangkapan suster semacam selamatan. Akhirnya, suster Avila yang manis dan murah senyum mengantarku kesana naik sepeda motor. Agak ngeri juga, karena sepertinya suster belum mahir mengendarai sepeda motor, apalagi jalannya naik terus. Pokoknya selamat sampai di tempat aja deh!.

rumah mbah Jo
Rumah mbah Jo dipinggir jalan, menuju terminal terakhir bagi para wisata yang ingin melihat desa mbah Marijan. Erupsi merapi yang meninggalkan kegetiran bagi penduduk di sekitar, kini menjadi arena wisata yang memberi penghasilan bagi mereka. Ada ojek yang bisa membawa mereka ke tempat paling atas. Mereka juga menjual makanan dan souvenir, seperti layaknya tempat wisata.

Mbah Jo menyambut kami dengan gembira. Semula mbah Jo memanggilku “sus”… maksudnya suster. Setelah dijelaskan suster Avila, mereka memanggilku “bu lilik”. Mbah Jo yang biasa hidup sendiri, kini rumahnya ramai dikunjungi saudara, anak, menantu, cucu, dan adiknya, untuk mempersiapkan “ameng-ameng”.
mbah Jo membuat ogol-ogol
Ameng-ameng, adalah selamatan untuk mohon keselamatan. Mirip ulang tahun, tapi dengan hitungan Jawa. Mbah Jo lahir 12 Januari 1933. Tahun ini usianya 79. Lahir di hari Sabtu kliwon. Sabtu kliwon menurut hitungan jawa dimulai jam 18.00 di hari sebelumnya. Itulah sebabnya, ameng-ameng dipersiapkan hari ini, hari Jumat Wage dan selamatan dilaksanakan jam 19.00, berarti sudah masuk ke Sabtu kliwon.

Rumah mbah Jo yang hanya ruangan tanpa sekat, menjadi dapur tempat kami mempersiapkan masakan khusus untuk selamatan. Aku membantu yang aku bisa, seperti memotong kentang, tempe, kobis, memarut kelapa. Hhhmmm… sudah puluhan tahun aku tidak memarut kelapa… akibatnya jariku ikut keparut… hehehe.. memalukan!

Masakan yang dipersiapkan untuk ameng-ameng adalah
Sayur gori yang dimasak dengan kelapa sampai kering.
Sambel goreng kering yang terdiri dari tempe, tahu, kentang, kerecek.
Tempe goreng, ayam goreng, dan telur rebus.
Rempeyek kacang, kerupuk udang dan ogol-ogol. Ogol-ogol ini enak sekali. Dari semua makanan, ini yang paling aku suka. Ketela dan kelapa diparut dan diberi bumbu bawang, brambang, ketumbar, kencur dan daun jeruk. Rasanya gurih dan sedap. Hhhmmm... sayang aku cuma bisa mencomot 3 biji kecil-kecil. Karena semua sudah dihitung pas untuk 65 besek yang nanti akan dibagikan kepada para undangan yang datang untuk berdoa.
tumpeng

tumpeng sayur
besek yang dibagikan
bunga sesajen
Selain itu, ada tumpeng,  bunga mawar dan segelas air putih, dan bubur merah dan putih. Mereka yang membuat sudah tidak mengerti apa artinya, tapi mereka tahu bahwa semua itu harus ada untuk melengkapi ameng-ameng. Semua adalah doa demi keselamatan Mbah Jo yang ingin hidup 200 tahun.“kesuwen mbah… mboten penak urip ngantos 200 th” kataku, mbah Jo tertawa terkekeh...

Semoga Tuhan selalu melindungi Mbah Jo, dan memberinya kemurahan rejeki setiap hari.
Hari yang melelahkan, tapi menyenangkan.

mbah Jo dan aku
Malam ini, kebetulan suamiku ada pekerjaan di Jogja. Langsung deh aku ingat… aku harus membalas dendam pada nyamuk-nyamuk lanang yang ganas!.  “Bawakan aku obat nyamuk semprot!” pesanku. Dan malam itu, sebelum pergi menemaninya makan malam, mie jawa yang enak di daerah Pakem, aku kembali dulu ke susteran khusus membunuh armada nyamuk yang menyerangku semalam!.
Sepulang dari makan malam, ketika masuk ke kamar, para armada nyamuk sudah mati semua!! Hahaha…. Masak sih kalah sama nyamuk!!
Selamat datang malam… aku ingin tidur nyenyak sekali malam ini.