Pages

Thursday, October 24, 2013

Simbol SSS

Masuk ke kehidupan Seminari, ciri khasnya adalah bahasa latin. SSS yang dihidupkan selama pendidikan, adalah singkatan dari Sanctitas (kesucian), Sanitas (kesehatan), Scientia (pengetahuan).
Membaca uraian A. Didik Dwinarmiyadi tentang SSS, membuat aku mengerti 3 bidang yang menjadi bekal dalam pendidikan di seminari dan dalam kehidupannya juga menjadi inspirasi dalam kehidupan kita. Ketiga bidang tersebut juga harus  dikembangkan dan dilatih secara seimbang untuk meraih sukses.
Menurut mas Didik, semboyan SSS dihayati dalam hidup harian. Mas Didik mengutip dari James E. Loehr (1997) penulis buku "Keep things Simple and in the Same Routine; The Ritual of Success". Kehidupan rutin sangat penting untuk meraih sukses. James mengatakan bahwa ritual adalah pola berpikir dan bertindak disiplin yang mendorong kemampuan kita untuk merespon kekuatan kehidupan dengan cara paling tepat dan bermakna. Jika ada ritual maka ada makna dan nilai.

Rutinitas kadang menjengkelkan. Ketidak sukaannya pada Bidel Bel waktu itu Riyo Mursanto yang sekarang menjadi Romo Provinsial SJ, membuat dia tidak suka memakai jam tangan. Bunyi bel seakan menjadi sesuatu yang berkuasa. Bel untuk ini untuk itu... semua harus siap dilaksanakan. Tidak terasa inilah yang disebut berlatih menjalankan rutinitas.

Lihatlah... bagaimana reuni merto mengisi acaranya.. tak lepas dari simbol SSS.
Rutinitas doa, sebelum dan sesudah makan, juga dalam setiap kegiatan. Simbol Sanctitas (Kesucian) yang dijalankan dalam hidup harian, dan tentunya dalam sikap dan kepribadian.

Rm. M. Priyo Kusharjono OCSO

Doa bersama sebelum berjalan-jalan ke kebun teh
Sanitas atau kesehatan juga perlu dilatih secara rutin. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
kebun teh.
Wisma Aloysius ditengah kebun teh

Scientia atau pengetahuan, penting dalam menjalani kehidupan. Bidang ini di Seminari sangat diunggulkan dan menjadi tiket sukses dalam hidup. Apalagi ada anugerah yang menggugah seperti predikat maxima cum laude, magna cum laude, dan cum laude yang diumumkan setiap tahun. Dalam kehidupan, ketiga bidang SSS ternyata harus dikembangkan secara seimbang untuk mencapai kesuksesan.

Untuk Scientia akan saya ceritakan di kisah berikutnya, mengingat banyak acara yang berpusat pada pendidikan melalui beberapa seminar.

Tuesday, October 22, 2013

Aku berikan apa yang kumiliki



Tentang buku “Aku Berikan Apa Yang Kumiliki”
Bunga Rampai 40 tahun Merto 73, Editor: Y. Agus Tridiatno, dkk

               Aku adalah istri dari Em. Harri Dwi Budi Priharsanto, salah seorang alumni Seminari Mertoyudan angkatan 73. Hampir 29 th Aku mendampinginya dengan dua buah hati kami. 5-7 Juli 2013, kami dipertemukan dalam reuni akbar dengan seluruh angkatan beserta keluarga mereka, anak, cucu dan mantu. Banyak kejutan dan kenangan dalam pertemuan 3 hari di Ciwidey, Bandung. 
Wisma Aloysius Ciwidey Bandung

Bus yang menjemput rombongan dr Stasiun KA. Bandung

Merto'73

kemeriahan spanduk
Kenangan inilah yang membuatku ingin membaca dengan seksama salah satu buku yang dibagikan pada waktu itu yang berjudul “Aku berikan apa yang aku miliki”.

               Sekapur sirih dari Mgr. Pujo Sumarto, Uskup Keuskupan Agung Semarang, menggaris bawahi soal pendidikan yang dikenangnya bersama Merto (Mertoyudan) 73, dengan aktivitasnya membangunkan anak-anak, membacakan bacaan rohani, dan mengingatkan bahwa belajar itu penting. Begitu pentingnya, sampai beliau minta bantu Burung Beo piaraan di seminari untuk berteriak “ Sinau, sinauuuuuuuuu!”.

               Buku yang merupakan rangkaian tulisan para alumni metro’73 ini di edit oleh Y. Agus Triadiatno dkk. Dalam pengantarnya diceritakan bahwa awalnya oleh Rm. Gustawan buku ini diberi judul “Biji Sorga Ditanam, Berbuah dan Dunia Bergembira”. Ada benarnya karena seluruh anggota Metro’73 waktu itu berjumlah 105 siswa adalah biji dari Sorga yang ditaman di taman Firdaus Seminari Mertoyudan. A  da yang hanya bertahan seminggu, satu caturwulan, satu tahun, dua tahun hingga akhirnya tinggal 2/3 yang tinggal hingga th.1976.

Semua biji sorga, tersebar kemana-mana hingga 40 tahun kemudian berkumpul di Ciwedey dengan membawa buah-buah mereka yang berlimpah yang dipersembahkan kepada almamater, masyarakat dan Sang Pemberi Kehidupan. Dan buah-buah tersebut sebagian dituang dalam buku ini untuk bisa kita nikmati bersama.
Sangat menarik untuk mengenal kehidupan di sebuah Seminari, tempat Imam-Iman digembleng untuk menjadi pemimpin gereja. Untuk itulah, akhirnya buku ini lebih tepat diberi judul “Aku berikan apa yang aku miliki”. Spontan anak-anakku berkomentar “heeh… yang bener lho ma.. mosok yang dimiliki diberikan?” Aku tertawa mendengar komentar spontan mereka. Benar juga, masak kuberikan apa yang kumiliki, trus aku dapat apa dong?.  Akhirnya aku memahami. Yang dimaksudkan adalah I give what I have, dalam bahasa latin  Nemo dat quod non habet, tak seorangpun akan memberikan apa yang tidak dimilikinya. Hhhhmmmm… ini juga bener, pastilah yang kita berikan adalah yang kita miliki. Lalu apa yang kita miliki dan sudahkah kita bagikan atau berikan kepada orang lain?. Menarik khan!?.... mari kita nikmati buah-buah yang tumbuh dan mereka miliki dalam kehidupan mereka, baik yang menjadi Imam maupun yang menjadi Imam dalam keluarganya.

Thursday, October 17, 2013

Wood & Cotton

Bandung...oh...Bandung.... betapa macetnya...
Dari Pangandaran jam 8.30 pagi hari, baru bisa masuk ke Hotel Sukajadi jam 17.00. Belum lagi jalan dari Pangandaran ke Banjar yang jelek minta ampun. Ada tulisan penduduk "Pemerintah dimanakah kamu??" kasihan sekali penduduk di sepanjang jalan itu. Debu beterbangan setiap saat.

Macetnya Bandung dimusim liburan katanya sudah biasa. Dan kamipun bersyukur karena PVJ pasti dikunjungi banyak orang. Baik dari Bandung maupun Jakarta dan juga dari berbagai kota lain.

Wood&Cotton menggelar pameran tunggal. Menempati lokasi 3 x 8 m persis di pintu masuk sehingga mudah di lihat setiap pengunjung. Minggu, setelah PVJ tutup, baru kami bisa menata barang-barang. Itupun hanya yang besar-besar. Barang-barang kecil dan hiasannya kami tata keesokan harinya. Sekaligus mempersiapkan goody bag untuk media yang kami undang. Media yang datang antara lain ada Martha Stewart, Home & Decor, Living etc, Smart Design, Elle Decoration, Style & Decor, Griya Asri dan ada beberapa media lokal Bandung.
Setelah press conference ditutup dengan sajian nikmat the Duck King.
Ibu Wien Hardani memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik.

Sample finishing kayu

kap lampu renda

kap lampu renda

meja console dan kap lampu

mempersiapkan goody bag untuk media

lokasi pameran 3 x 8 m


side table

tempat tidur

kursi goyang dan side table
Kami hanya bisa berharap dalam doa, semoga hasil karya kami diminati dan bisa membuahkan hasil yang menggembirakan. Amin

Wednesday, October 16, 2013

Kenangan anak-anak

Aku, anak-anak dan menantu berencana ke Pangandaran dulu sebelum ke Bandung untuk pameran di PVJ.  Sepertinya kok santai begitu ya.. mau pameran kok masih bisa main dulu ke pantai.
Ya, ini memang berkah bagi kami. Wood &Cotton didirikan oleh ibu Wien Hardani, dimana dia menyajikan furniture besi dan kayu, juga berbagai assesories seperti handuk, sprei, taplak, lampu meja dll. Kami mensupport semua furniture dan lampu meja. Selain itu, dia yang mengusahakan.
Bandung menjadi tempat kelahiran Wood &Cotton. Selain di pamerkan, ibu Wien juga menggelar acara press conference dengan berbagai media untuk mempromosikannya.
Sebuah acara yang sudah dirancang dengan matang, dan kami ikut hadir untuk melihat minat pengunjung sebagai persiapan kami ke depan untuk melayani minat mereka.

Nah cerita tentang Pangandaran ini berkisar tentang kenangan anak-anak masa kecil di pantai. Aku sudah agak lupa kapan kami terakhir pergi ke Pangandaran. Rasanya sudah 20 tahun lalu, mungkin lebih.
Bayangan masa kecil, anak-anak main di pantai yang hanya berseberangan dengan tempat kami menginap, mengukir lekat dalam pikiran. Berharap melihat kembali kenangan masa itu.

Kami berangkat dari Wedi-Klaten pukul 11 malam, dan tiba di Pangandaran jam 5 pagi. Diguyur hujan deras dan lampu mati. Pangandaran sudah berganti wajah. Banyak hotel indah di sepanjang pantai, bahkan di jalan-jalan yang agak jauh dari tepi pantai.
Dalam suasana pagi yang masih lengang... kami mencari Hide Away, rumah bambu tempat kami menginap dulu. Tidak ada lagi....
Mobil kami mulai diikuti banyak orang bersepeda motor untuk menawarkan penginapan di rumah-rumah penduduk.
Kecewa tidak menemukan rumah bambu Hide Away, akhirnya kami berhenti di tepi pantai yang sudah kumuh dipenuhi kios-kios penduduk yang berjualan disitu. ooooh.. kemana pantai kami dulu...
Tempat anak-anak bermain ombak, dijaga nelayan yang baik hati. Ada penduduk yang berkeliling menawarkan lobster. Setelah kami memilih, lobster akan dimasak kemudian di antar ke rumah. Betapa nyaman dan indahnya...

Hotel Surya
Setelah duduk sebentar kami memutuskan untuk menginap di Hotel Surya. Seingat kami, Hotel Surya dulu satu-satunya hotel di Pangandaran. Di depan hotel, di bagian tepi pantai mereka mendirikan beberapa gasebo. Inilah tempat satu-satunya dalam kenangan kami yang masih ada. Hotelnya bertambah besar dengan kolam renang di depan.
Menjelang siang, aku dan anakku mencoba berjalan ke gasebo yang ternyata bisa langsung ke pantai...
Tuhan Maha Besar.. pantaiku masih ada... tetap indah dengan pasir hitamnya yang lembut. Sepi pengunjung hingga rasanya seperti pantai pribadi. Entah mengapa tidak banyak orang yang bermain di bagian pantai ini, sementara di sebelah timur, bergitu banyak orang berkeruman dan bermain ombak.
Gasebo di tepi pantai

Gasebo milik Hotel Surya

Kenangan anak-anak pun bergulir dengan indah. Mandi dan bermain dengan ombak, hingga matahari kelelahan dan bersiap lenyap ke garis cakrawala. Puas bermain ombak, mereka pulang untuk mandi dan kembali lagi ke pantai.
Pantai Pangandaran sebelah Timur
Pantai Pangandaran sebelah Barat
Pengunjung berkerumun di sebelah Timur
Bercanda dengan ombak
Bermain ombak


Sunset

Mananti anak-anak mandi, aku duduk sendiri di tepi pantai, memadang ke laut lepas. Jauh di cakrawala yang mulai redup, aku melihat beberapa titik lampu. Makin lama makin besar. Rupanya para nelayan bersiap pulang ke rumah. Pasti sebuah tempat yang mereka rindukan setelah seharian bergulat dengan ombak untuk mencari ikan, demi menghidupi keluarganya.

Sangat ironis melihat kehidupan para nelayan. Mereka seakan pemilik laut, tapi kehidupan mereka semakin tersingkir oleh hotel dan penginapan mewah di tepi pantai. Ya... aku toh juga tidak bisa berbuat banyak. Bahkan ketika tahu bahwa rumah bambu Hide Away ternyata hilang tersapu tsunami 2006 lalu... kami hanya bisa merelakannya dan menyimpannya dalam kenangan.

sendiri
Setidaknya, masih ada hotel Surya yang mengobati kekecewaan kami. Di tempat ini juga, kami menikmati makan malam, ngobrol di tengah suara ombak, diwarnai lampu kerlap-kerlip yang menghiasi gasebo. Indah... penuh kebersamaan.

cafe di malam hari

kerlap-kerlip lampu

Sebentar kemudian, keheningan dipecah oleh suara musik keras. Debam-debum DJ yang siap menghibur pengunjung. Ternyata ini malam minggu... aku memilih untuk menghindari kebisingan dan tidur...