Pages

Sunday, August 31, 2014

Menuju Tua

Sebentar lagi umurku 55 th. Banyak yang bilang aku masih kelihatan muda.... terimakasih. Padahal aku tidak ada usaha khusus biar kelihatan muda. Heran juga kenapa aku tidak banyak keriput di wajah. Mungkin ini karunia, karena aku tidak banyak melakukan perawatan wajah.
Rambutku sudah banyak ubannya. Aku cat deep burgundy biar tidak terlalu hitam. Kalau ku cat hitam bisa tambah kelihatan muda lagi.. hihihi...
Kadang lama tidak kucat hingga aku punya 3 warna rambut. Hitam, putih dan deep burgundy (yang karena catnya tidak berkualitas jadi sering luntur).

Terserahlah... upaya mau kelihatan muda juga tidak akan menghambat bertambahnya umur.
Banyak teman sedang mempersiapkan masa pensiun, sementara aku masih bekerja setiap hari. Sampai kapan ya terserah aku. Mungkin kalau perusahaan sudah tidak membutuhkan kehadiranku lagi dan anak-anak sudah sepenuhnya mandiri.
Aku juga masih disibukan dengan berbagai pesanan renda yang menjadi hobbi sekaligus pengisi waktu luang. Lalu apa yang kurasakan menuju tua?

Aku ingat suatu hari bertanya ke bapak (alm). waktu itu beliau usianya sekitar 65 th.
"rasanya tua apa pak" tanyaku santai.
Beliau diam sejenak kemudian menjawab "nggak terasa apa-apa. Pikiran rasanya muda terus, baru ingat tua kalau sudah merasa gampang capek" simpel banget jawabnya, dan itulah yang aku rasakan sekarang.

Pikiran masih pingin ini itu, bersemangat melakukan ini itu. Tiba-tiba saja lutut sakit, jalan sempoyongan. Masuk angin dan lain-lain.
Tapi kadang pikiran juga mulai "aneh" menurut anak-anak. Pertanyaan yang diulang-ulang padahal sudah dijawab. Menulis salah. Menjawab tidak sesuai pertanyaan. Lupa. Salah meletakkan ini itu dsb...dsb... mulai menyebalkan buat yang muda.

hhhhhmmm jadi ini rasanya proses menua. Kadang jadi bahan tertawaan karena kekonyolan yang aku lakukan. Kadang jadi sindiran karena emosi yang tidak beralasan. Tapi juga tanggapan penuh pemakluman dan maaf setiap saat aku bilang "maklum wis tuwo".
Jadi ingat, dulupun aku sering tertawa tiap melihat ibu dan aktivitasnya. Beliau lucu sekali, padahal usianya 56. Nah akupun hampir seusia beliau.

Masih beruntung aku punya hobbi merenda yang mulai dikenal dan disukai orang. Sehingga menjadi aktivitas yang menghibur menuju tua.



Dan mungkin di hari tua nanti aku seperti ini.... hihihihi


Tuesday, July 22, 2014

Dibalik gambar

Walaupun tempat tinggalku di desa, tapi tidak menghalangi teman-teman untuk datang. Entah kenapa banyak yang ingin berkunjung. Padahal alamatku tidak jelas. Kalau mau datang harus dipandu sejak masuk Klaten. Kecuali sudah membawa GPS, pasti sampai.
Sabtu lalu Roy dan Wida datang berkunjung ke kantor. Hanya mengisi waktu luang sebelum menghadiri acara perkawinan saudaranya.

Cukup banyak waktu untuk ngobrol, makan siang dan keliling desa. Dan mampirlah di Rowo Jombor. Sebuah pemandangan yang indah. Sebuah rawa yang sudah dilengkapi dengan berbagai restoran apung yang menyajikan masakan ikan. Sayang di hari puasa, tidak ada yang buka. Siang itu kami hanya berkeliling rawa, melihat pemandangan dari berbagai sudut.

Rupanya Roy jatuh cinta dengan pemandang itu, hingga bertekad untuk datang lagi besok untuk melihat kegiatan disana yang konon kalau pagi ada banyak pedangan gerabah bersepeda berurutan membawa dagangan ke kota. Pasti pemandangan yang indah.

Maka malam itu, kami sepakat untuk berangkat pagi-pagi Jam 4. Tapi, tidak perlu kaget kalau akhirnya kami berangkat jam 5.30, karena ketiduran. Namun begitu kami tetap semangat.
Rowo Jombor, dipagi hari. Dipenuhi kabut dan udara masih dingin. Matahari muncul pelan menembus kabut... cantik. Bangunan bernuansa abu-abu memberikan pemandangan yang asing, seperti berada di suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi. Walaupun para pedagang gerabah sudah tidak terlihat lagi, tapi pemandangan di sekitar sangat indah.






Puas mengabadikan pemandangan, kami diusik rasa lapar. Pilihannya adalah soto mbok Dele yang cukup terkenal di Klaten. Perjalanan sengaja dilewatkan dari desa ke desa, menikmati pemandangan yang tidak biasa di kota. Hal yang mungkin biasa bagi kami, menjadi tidak biasa bagi Roy dan Wida.

Terbukti, ketika kami menikmati soto mbok Dele, Roy sibuk mengabadikan dapurnya yang tradisional. Dengan perapian dari kayu, dan asap mengepul alami menyusup sela-sela lobang di atasnya.
Aku bukan seseorang yang pintar mengambil gambar. Tapi melihat hasil bidikan lensanya membuatku heran. Betapa indahnya hal-hal yang dilihat biasa sehari-hari. Selalu ada keindahan di balik setiap pemandangan yang diambil hanya dalam frame yang kecil.

inilah yang membuat soto mbok Dele laris!
Mungkin justru karena mata kita mampu menangkap lebih luas dan lebar, hal-hal kecil tidak terperhatikan.
Seperti halnya hidup ini. Semakin luas dan lebar kita memandang hidup, kita bisa melupakan hal-hal kecil yang sebetulnya indah dan pantas disyukuri setiap waktu.
Trimakasih Roy dan Wida yang sudah berkunjung. Dalam perjalanan singkat aku belajar melihat hidup dengan rangka yang lebih kecil dan melihat keindahan di baliknya.

NB: foto-foto Roy Husada.

Wednesday, July 9, 2014

The Power of "yo wis"

Butuh latihan hidup untuk bisa mengucapkan kata "yo wis" dengan ikhlas. Setelah itu baru kita menggunakan kacamata positif untuk memandang semua situasi untuk mencari jalan keluar ke depan.

Bulan lalu, saudaraku mengatakan kalau tempat dimana aku menggunakan lokasinya untuk kantor dan gudang akan dipakai untuk usaha jahitan. Kantor terpaksa aku pindahkan ke lokasinya karena kantor lamaku kupakai untuk tinggal setelah rumah di Jogya aku jual.
3, 5 tahun sudah aku tinggal disini dan menjadikan tempat ini zona nyamanku. Ke workshop tinggal buka pintu. Nungguin kerjaan bisa 24 jam.

Awalnya kami terkejut juga, karena rencana membangun usaha jahitan akan dimualai 2 minggu lagi. Sebetulnya kami masih diijinkan untuk menempati lokasi lain, tapi gudang tidak punya tempat lagi. Perubahan selalu membuat kepanikan. Lalu, tergoda untuk berpikir yang tidak-tidak. Wah kenapa begini dan kenapa begitu.
Baiklah... yo wis.. ayo kita pakai kacamata positif.


Pertama ini hak mereka kalau mau dipakai untuk usaha barunya. Toh mereka sudah bermurah hati untuk membiarkan kami memakainya selama 3,5 th.
Lalu, apa solusinya? aku harus pindah, mencari kontrakan rumah. Dimana? kami ingin di dekat tanah kami di sebelah selatan workshop kami, kira-kira 3 km. Kenapa disana? ya karena tanah tersebut rencana untuk perluasan usaha kami, jadi sekalian saja mencari rumah yang dekat dengan tanah tersebut, supaya besok kalau kami membangun usaha disitu tidak jauh tempatnya.
Kami sepakat dan siang itu setelah makan siang, kami mampir ke tanah tersebut sekaligus mencari rumah yang dikontrakkan.

Tuhan sungguh Maha Besar. Bagaikan melihat mukjijat, ketika kami berhenti di depan tanah kami, ternyata di seberang jalan ada rumah dengan tulisan besar DIKONTRAKAN berikut no HP. Bagaikan melihat jalan lapang di depan, kami segera menghubungi. Terjadilah kesepakatan kapan kami bisa bertemu untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut.

Tiga hari kemudian. kunci sudah di tangan. Segala waktu yang ada kami gunakan untuk membersihkan rumah tersebut. Ternyata rumah itu luas. Dua lantai. Bagian bawah bisa kami gunakan untuk garasi dan gudang. Cukup besar untuk memindahkan isi gudang kami. Lantai atas untuk rumah tinggal kami.
Sungguh ajaib. Semua seperti sudah disedikan bagi kami.

Dalam waktu seminggu, tempat tinggal sementaraku di tengah workshop sudah berpindah ke rumah baru. Dan kantor kami pindahkan ke kamarku. Semua pas dan tepat waktu.

Rumah tinggalku sekarang menjadi zona nyamanku yang baru. Ruangannya cukup luas untuk ditata kembali. Setiap sudut memiliki ciri khas masing-masing. Dan tempat paling nyaman buatku adalah tempat tidur di depan TV. Disebelahnya ada rak berisi penuh dengan benang dan berbagai buku renda. Disinilah surgaku. Tempat aku menonton TV sambil merenda. Atau TV yang ganti menontonku karena aku ketiduran di depannya hehehe....

Ada balkon tempat kami biasa ngopi di pagi dan sore hari. Bila bulan purnama tiba, muncullah dia dibalik cakrawala, dan dedauan di depanku. Cantik.

tempat ngopi menanti senja hari
 Pada dasarnya, manusia selalu terusik oleh perubahan. Sangat manusiawi juga kalau kita bereaksi terhadap hal tersebut. Kecewa, sedih, marah dll. Tapi reaksi semacam ini tidak boleh berlangsung lama, apalagi mengambil tindakan di saat situasi hati belum tenang. Terimalah. YO WIS. dan pikirkan jalan keluar dengan pikiran yang jernih dan hati yang bersih. Pasti jalan keluar akan kita dapatkan.

YO WIS, adalah sikap menerima dengan ikhlas, tanpa syarat.

Saudara yang akan membangun usaha jahitan, heran melihat kami dengan cepat menyelesaian masalah kami. Kami juga terlihat gembira tanpa mengeluh apa pun. Semua berjalan lancar. Bahkan pada akhirnya dia menyesal membuat rencana tersebut hingga membuat dia kehilangan kami karena tidak lagi tinggal di workshop.
Hidup adalah pilihan. Apa pun pilihan kita selalu ada resiko yang mengikuti. Tidak semua rencana bisa terlaksana seperti yang kita harapkan. Masing-masing membuat pilihan dan masing-masing harus mau menerima resikonya.

Hidup itu indah, ketika menggunakan kacamata positif untuk memandangnya. Berkahnya muncul dalam setiap peristiwa dan setiap hal yang kita hadapi. Itulah sebabnya rencanaNya selalu indah. Dan YO WIS menjadi kekuatan kita untuk melangkah maju.

indah pada waktunya

Monday, July 7, 2014

Lengan panjangmu... Bapak....

Dini hari jam 01.15, 6 Juli 2014, aku terbangun oleh dering suara HPku. Setengah sadar aku mengangkatnya. Nama Emmy, putri tertua bapak Gadi Djou muncul di layar. Ketika gambar telpon kutekan, langsung kudengar suaranya menyusul kata "hallo" ku. "Mbak.. ke Jogya ya... bapak sudah pulang" dengan suara bergetar menahan tangis. Hah... kaget!... dan aku cuma bisa bilang "ya..ya..ya". Emmy masih di Maumere. Yang mendampingi bapak hanya kedua adiknya dan mama.

Masih bingung dan tidak tahu berbuat apa, aku mulai terbangun dan mencoba membuat rencana untuk ke Jogya. Sebentar kemudian, putrinya yang di Belanda menelpon, memastikan aku sudah mendengar berita ini atau belum. Ternyata Bapak meninggal pukul 23. 30, 5 Juli 2014. Tepat sebulan setelah merayakan ulang tahun perkawinan yang ke 49.

Setelah kesadaran pulih, dan mata benar-benar melek, aku mulai bangun dan menyiapkan sahur untuk kakakku yang kebetulan menginap di rumah. Setelah itu aku tidak tidur lagi, dan menyiapkan diri untuk berangkat ke Jogya. Karena aku harus membawa mobil sendiri, maka kakaku perempuan berkenan menemani.
Akhirnya, pukul 4 pagi kami berangkat dari Wedi-Klaten ke Rumah Duka Pantirapih Jogyakarta. Jalanan sepi, hingga pukul 4.45 kami sudah tiba. Mama baru saja pulang ke rumah untuk istirahat dan berganti pakaian. Di sana hanya kedua putra dan menantunya.
Bapak masih di ruang jenazah dengan jas tenun Flores seperti tidur nyenyak, masih menunggu suntik formalin, karena masih akan dibawa ke Ende Flores, dan rencana baru hari Selasa, 8 Juli dimakamkan.
Baru kali ini aku tidak merasa takut dan canggung berada disamping jenasah.
Tangannya berkaus tangan putih. Ketika kupegang masih lemas. Aku genggam dengan pelan. Rasanya seperti aku hanya menunggui bapak tidur.
Aku tidak merasa ditinggalkan.
Ketika Bapak sudah di tidurkan dalam petinya yang putih indah... aku memasang bunga-bunga anggrek di dalamnya. Sebentar kusapa "maaf ya bapak, aku pasang bunga disini..." sambil kupasang persis di atas kepala beliau.

Hari itu, Bapak Gadi Djou masih ditempatkan di rumah duka, karena keluarga tidak berhasil untuk mendapatkan pesawat untuk membawanya ke Ende Flores.

7 Juli 2014, pukul 8.00 seluruh keluarga (18 orang) bersama Bapak, berangkat ke Denpasar, untuk kemudian dengan pesawat khusus keluarga terbang ke Ende - Flores.
Di Bandara Adisucipto, semua sudah berkumpul sejak pukul 6 pagi, karena harus mengurus ini itu yang cukup banyak dan ribet juga.

Sambil menunggu jam keberangkatan, kami semua berkumpul di restorant Bandara untuk sarapan. Aku melihat sebuah pemandangan yang luar biasa indah. Disinilah, kami berkumpul selayaknya satu saudara. Tidak ada perbedaan status, apalagi RAS. Aku melihat kami semua makan dan minum bersama-sama. Sulit bagiku untuk mengingat mereka satu persatu, walaupun aku pernah tinggal di Ende 3 minggu lamanya. Mereka biasa makan bersama, comot ini itu, cicip ini itu. Semua saudara, benar-benar satu saudara. Aku dan bapak tidak ada ikatan darah sama sekali. Kami hanya bertetangga ketika aku masih tinggal di Jogya. Tapi bapak memperlakukan aku seperti anaknya sendiri.

Aku merasakan keindahan luar biasa yang ditinggalkan bapak. Benar-benar warisan persaudaraan yang tulus, penuh kasih. Bapak seperti punya lengan yang sangat panjang dan kuat untuk merengkuh kami semua. Dalam satu dekapan persaudaraan yang erat, penuh kasih, perhatian, dan juga ketulusan.

Bapak adalah sosok yang tegas, kuat, berwibawa, keras dalam menghadapi segala sesuatu. Tapi beliau memiliki hati yang sangat lembut hingga membuat dia sering meneteskan air mata. Kelembutan hatinya membuat dia banyak berbuat orang lain.
Beliau adalah pendiri Universitas Flores di Ende. Ketika aku berkunjung ke Ende, beliau mengajakku berkeliling, melihat karyanya semasa beliau menjabat Bupati Ende dalam 2 periode. Bangunan, jembatan dan jalan-jalan. Juga ke Universitas Flores yang megah di atas bukit. Sangat nyaman untuk belajar mahasiswa. Dan beliau lebih senang dan bangga dengan universitasnya "...sekarang bapak membangun manusia..."

Selamat jalan bapak. Kepergianmu begitu tenang dan damai. Bagaikan tidur abadi yang membawamu pulang ke rumah Bapa di Surga.

Terimakasih Tuhan, telah menghadirkan Bapak dalam kehidupanku. Beliau selalu ada dalam suka-dukanya hidupku. Dalam situasi kritis, beliaulah yang datang membantu. Tulus, tanpa pamrih apa pun.... bahkan sebuah ucapan "terimakasih".
tangan Tuhan menyambutmu, bapak


Monday, February 17, 2014

Abu kelabu...

Pagi yang asing, ketika aku dibangunkan dari tidur nyenyakku. Bahkan gelegar letusan Gunung Kelud yang jaraknya hampir 200 km dari tempatku tidak mengganggu mimpiku sama sekali. Dan tiba-tiba aku berdiri di halaman depan rumah yang begitu asing. Hamparan abu kelabu menutupi semua yang terlihat. Cukup tebal, lebih dari 1 cm.
Dan abu masih terlihat deras mengucur dari langit. Pandangan mata semakin buram seperti ukuran kaca minusku bertambah.
Aku melihatnya sebagai kuasa alam yang luar biasa. Letusan Gunung Kelud yang memuntahkan material vulkanik setinggi 17 kilometer, terhembus angin ke barat, hingga hampir seluruh Jawa Tengah tertutup abu kelabu.

Dan aku merindukan hujan yang lebat. Hujan yang lebat seperti yang belakangan ini terjadi. Anehnya, disaat kami mengharapkannya, hujan seperti memperlihatkan keangkuhannya dan jual mahal. Cuma sebentar, dan hanya gerimis. Akibatnya, bukannya menghilangkan debu, tapi justru mengganggu aliran listrik.
Lengkaplah... lampu pun padam sekitar 4 jam. Hari Valentine yang tak terlupakan....


hijau daun menjadi kelabu

debu membentang

tebal 1 cm lebih

jarak pandang pendek

Inilah abu kedua yang aku alami dalam kurun waktu 4 th. Abu pertama adalah letusan Gunung Merapi November 2010. Karena waktu itu aku masih tinggal di Jogya dalam radius 20 km dari Gunung Merapi, maka pengalamannya lebih mencekam. Walaupun hampir sebulan letusan demi letusan sudah kami dengar, namun malam itu getaran mirip gempa dan suara gemuruh yang tiada henti, membuat kami tidak bisa tidur. Hingga akhirnya, suara kemeretak di genting, menyadarkan kami, hujan kerikil dan abu sudah turun. Malam yang mencekam dan menegangkan... dan besoknya aku sudah mengungsi ke Ungaran.

Bencana alam sering kita dengar akhir-akhir ini. Banjir, tanah longsor, gempa, badai, gunung meletus... dan banyak orang berpendapat kita sedang di "hukum" oleh Tuhan. Kok Tuhan jadi jahat ya??? setahuku Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang. Alam semesta beraktivitas seperti halnya kita beraktivitas sehari-hari. Tuhan yang aku rasakan bukanlah Tuhan yang menghukum. Tapi Tuhan yang mengasihi dan melindungi umatNya. Aku tetap bersyukur walaupun sering mengalami gejala alam yang luar biasa. Gempa, banjir di rumah, gunung meletus... bahkan rumah pantaiku terbakar beberapa minggu lalu.

Apakah Tuhan menghukumku? bagiku... setiap hal yang terjadi dalam hidupku, hanya mengingatkanku, bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Apa pun bisa terjadi besok, tak seorang pun tahu. Hal baik, maupun buruk. Dan kita hanya bisa menerima dan menjalaninya saja. Kita hanyalah abu yang akan kembali menjadi abu...

Dust In The Wind

I close my eyes, only for a moment, and the moment's gone
All my dreams, pass before my eyes, a curiosity
Dust in the wind, all they are is dust in the wind
Same old song, just a drop of water in an endless sea
All we do, crumbles to the ground, though we refuse to see

Dust in the wind, All we are is dust in the wind

Don't hang on, nothing lasts forever but the earth and sky
It slips away, all your money won't another minute buy

Dust in the wind, All we are is dust in the wind






Wednesday, January 1, 2014

Sudah 29 th.

sudah 29 th
Foto di atas diambil waktu kami bertugas sebagai panitia seorang teman yang mantu 28 Desember 2013 lalu. Mumpung berdandan lengkap maka kami berfoto di depan dekorasi gedung yang ditata begitu apik. Apalagi anakku mengeditnya menjadi foto vintage yang unik.
Ketika aku meng upload nya di facebook, ada yang tahu 31 Desember adalah tanggal perkawinanku. Maka foto tersebut disangka aku merayakan pesta perkawinan ke 29 th. dengan meriah...

Anniversary kali ini memberikan permenungan yang indah bagiku dan bukan pesta yang meriah. Tentu saja tidak ada perkawinan yang sempurna. Setidaknya kami telah berhasil hingga angka 29.
Banyak jalan berliku kami lalui. Carut-marut perjalanan yang penuh dengan komunikasi  amburadul. Kepercayaan yang pernah melorot hingga ke titik nol. Keyakinan yang tersapu kekecewaan berlarut-larut. Rasa yang hampa. Relasi yang kering... semua pernah kami rasakan...
Semuanya menjadi warna dalam perjuangan bersama dari hari ke hari. Membesarkan anak. Mencintai dan mendukung cita-cita mereka. Melepas dan meraih segala cita. Jatuh dan bangun... jatuh dan bangun lagi...
Tertawa, menangis, bernyanyi, berteriak, manari... juga diam... menjadi warna-warninya hidup perkawinan kami.
Hingga beberapa hari lalu anakku berkomentar "mama papa ini seperti air dan minyak. Tidak pernah bisa bersatu. Komunikasi yang payah, saling mengintimidasi!" kami terdiam!.

Air dan minyak. Tidak pernah bisa bersatu. Kalau pun diaduk, tercampur sebentar.. kemudian terpisah lagi. Benarkah kehidupan kami seperti itu?
Mungkin ada benarnya. Kami pernah mencoba brain test. Hasilnya, otak kananku sangat tinggi sementara dia otak kiri yang tinggi. Mungkin hal ini yang membuat pemikiran kami sulit disatukan. Harapan yang tak terpenuhi.... keinginan yang larut dalam pemahaman yang keliru.

Bagaimana mengurangi expectation? supaya tidak sakit hati. Sakit hati menyuburkan rasa benci, melarutkan maaf dan  membunuh kasih sayang..
Aku belajar memahami...

Apa salahnya kami seperti air dan minyak. Apa salahnya kami tidak bisa disatukan. Tidak bersatu tidak berarti berpisah. Kami masih bisa bekerjasama.

air dan minyak menghasilkan api
Gelas cantik di atas adalah gambaran kerjasama air dan minyak. Bagian bawah adalah air yang diberi warna hingga terlihat cantik. Atasnya adalah minyak. Dengan gabus yang mengambang di atas minyak, sumbu kecilnya bisa menghasilkan api. Lihatlah.. betapa cantiknya gelas tersebut kalau diletakkan di atas meja makan. Kombinasi air dan minyak menghasilkan lentera mungil yang berpendar lembut.

Kami adalah air dan minyak yang berada dalam gelas perkawinan. Biarkan perbedaan ada, tidak perlu disatukan, tidak perlu berseragam, tidak perlu harus bersama-sama. Hanya dengan memahami potensi masing-masing. Membiarkan masing-masing ada di posisi yang benar. Air di bawah, minyak di atas. Yang penting, bagaimana air mempercantik dirinya sendiri. Minyak menyalurkan energinya untuk membuat api. Api kecil pun akan berguna bagi orang lain.
Berharap air di atas dan menjalankan peran minyak adalah impian yang sia-sia. Demikian juga sebaliknya.
Terimakasih anak-anakku... untuk komentar kalian tentang kami yang seperti air dan minyak. Kelak kalian juga akan mempelajari perjalanan hidup dan memaknainya menjadi sesuatu yang indah.