Pages

Wednesday, February 27, 2019

Daun-Daun Berjatuhan

Macrame adalah seni membuat simpul tali yang menjadi hiasan menarik dan sekarang lagi marak. Aku dulu belajar dari ibu, puluhan tahun lalu. Mengingat kembali apa yang diajarkan ibu, menjadi kenangan yang indah saat aku membuatnya lagi di waktu luang sekarang ini.
Macrame bisa menjadi karya untuk tanaman gantung, Hiasan dinding, bahkan kursi.




Dari kayu bakar menjadi gantungan macrame
Kali ini aku ingin membuat gorden sendiri. Pingin sesuatu yang beda dan buatan sendiri. Membuat gorden dari macrame memberikan pengalaman khusus. Ada perbedaan membuat macrame dan merenda. Macrame tidak membutuhkan alat. Hanya tali dan tangan kita. Renda membutuhkan hakpen untuk mengaitkan benang menjadi karya yang cantik.
Perbedaan lain adalah ketika ada kesalahan, renda lebih mudah dan gampang membongkarnya. Tinggal ditarik benangnya, semua kaitan sudah terlepas. Macrame membutuhkan waktu dan energi yang sama kalau ada kesalahan dan harus membongkar. Karena kita harus melepas kaitan tali satu persatu. Ketika membuatnya harus dipastikan panjang benang, motif yang mau dibuat dan hitungan tali yang akan dikaitkan menjadi simpul.
Walaupun sudah dirancang dengan baik, kadang ketika membuat ada perhitungan yang salah. Butuh kreasi dan improvisasi supaya bisa menyelesaikan satu karya.

Daun-Daun Berjatuhan
Tantangan terbesar adalah ketika membuat macrame untuk diri sendiri. Ketika tahu ada yang salah, rasanya malas untuk membongkar, karena butuh energi dan waktu yang sama. Muncul godaan "halah.. kan buat diri sendiri, biar aja ada yang salah, gak ada yang lihat".
Sayangnya, godaan seperti ini kalau diikuti tetap menimbulkan masalah. Bahkan yang dibongkar semakin banyak. Karena ikatan talinya bisa nyambung ke kanan dan kiri.
Biasanya aku berhenti bekerja dulu kalau ada kesalahan. Ada rasa marah dan menyesal karena sudah tahu ada kesalahan kok diteruskan. Akibatnya ya harus ditanggung sendiri. Butuh waktu untuk mengumpulkan energi dan niat membongkar, dengan semangat dari dalam "walaupun untuk diri sendiri ya harus dibuat yang bagus".
Benar juga, kan hasilnya dinikmati setiap hari.

Dalam menjalani hidup, sudah pasti aku juga membuat kesalahan, karena aku tidak sempurna. Kesalahan sekecil apa pun, kalau dibiarkan bisa menjadi besar nantinya. Kadang kesalahan kecil memang tidak kusadari. Baru sadar setelah muncul akibatnya, atau ada orang lain yang melihat dan menunjukkannya. Sikap awal biasanya aku menolak. "ah masak sih salah?", lalu muncul argumen ini itu untuk pembenaran diri. Butuh kelapangan hati untuk melihat keseluruhan masalah, merenungkan dan kesediaan untuk membongkar diri. Tidak hanya sekedar energi dan waktu, tapi butuh kesediaan diri yang sungguh-sungguh untuk memulai dari awal. Sebuah pertobatan.

Ternyata menjadi orang "baik" tidak mudah. Godaan pasti ada. Baik dari luar, maupun dari dalam diri sendiri. Mengoreksi diri sendiri jauh lebih sulit dari pada mengoreksi orang lain. Aku yakin setiap orang memiliki sisi "baik" dalam dirinya. Dan setiap orang juga akan berusaha menjadi baik, dengan segala upaya yang mereka lakukan.

The good you do today, will be forgotten tomorrow. Do good anyway - someone

Friday, February 22, 2019

Bunyi dan Suara

Katanya, kalau sudah mulai usia lanjut seperti aku yang menuju usia angka 6, kalau bangun tidur nggak boleh langsung bangun. Harus tetap beberapa saat di tempat tidur. Supaya semua syaraf tubuh kita ikutan melek dulu, baru beraktivitas. Katanya...
Bagiku, ada baiknya diikuti. Toh aku tidak punya kegiatan yang mendesak. Dan entah mengapa sekarang ini kalau bangun sekitar jam 3 dini hari. Karena sudah cukup tidur atau mendengar bunyi dan suara di pagi hari.
Mari kita ikuti bunyi dan suara apa saja yang aku dengar setiap hari dan hari ini.

Setiap jam 3 pagi, belakang rumah mulai beraktivitas. Ada bunyi mesin giling. Orang memukul-mukul, seperti besi beradu dengan sesuatu. "petok.....petok...petok..."  suara ayam bergantian dan hilang. Ada suara orang mengobrol. Sepertinya keras tapi tidak jelas apa yang dibicarakan. Dibelakang rumahku itu tempat pemotongan ayam. Jadi setiap pagi aku dengar suara petok ayam yang dipotong.

Suara adzan di mesjid menandakan hari mulai terang. Diikuti suara sepeda motor yang mulai berseliweran di depan rumah. Sesekali suara mobil. "tik..tak..tik..tak" jam dinding mulai samar terdengar seiring banyaknya bunyi yang bersahutan di luar.

Bunyi "ting..tung" suara HP aku biarkan dulu. Aku membedakan suara panggilan HP untuk wa dari suami, anak wedok, anak lanang, group untuk kami berlima termasuk anak mantu. Iya, kami punya group untuk berkomunikasi dengan anak-anak dan mantu. Isinya seputar informasi kegiatan yang menyangkut kami ber 5. Kami terbiasa terbuka dan semua bebas mengemukakan pendapat. Misalnya ajakan makan atau nonton bareng, semua bisa usul mau kemana dan dimana, kemudian disepakati tempat dan waktunya.

Tiba-tiba aku mendengar suara batuk anak lanang. Yaaa... seminggu ini kedua anakku yang sekarang sepenuhnya mengelola perusahaan yang kami rintis, sedang mengalami pembelajaran yang luar biasa, sehingga lelah di pikiran, capek di fisik.

Pergi ke Jakarta kali ini, menguras energi dan pikiran. Bertemu seseorang yang bisa menyajikan masalah keuangan ke dalam bahasa yang mudah dipahami anak-anak muda. Supaya tidak sekedar suka uang tapi bagaimana mengelolanya dengan baik.
Anak-anak mendapat kehormatan untuk mendapatkan ilmunya. Sementara mereka juga menangkap kesempatan karena dia tertarik untuk memesan hasil produksi mereka.
Ada lagi pertemuan dengan pejabat OJK yang kebetulan suami dosen anakku dulu. Dosen ini yang dulu pernah menyewakan satu kamar seminggu untuk anakku tinggal di Washington DC, 12 th lalu. Masih sering kontak dan menjalin hubungan yang berkelanjutan hingga sekarang. Belum lagi dengan CEO website online yang dulu pernah mengelola Kopitiam, tempat aku launching buku, 7 tahun lalu. Entah kenapa kali ini semua seperti kembali terhubung dan bertemu dalam 2 hari di Jakarta. Mereka juga bertemu pengusaha muda ala Jakarta yang mau berbagi pengetahuan. Dulu hanya teman kuliah, sekarang sudah jadi pengusaha. Ada lagi seorang ibu yang menjual hasil seninya, bukan karena uang. Tapi karena kepuasan batin dalam menciptakan karyanya. Semua terhubung karena tertarik dengan usaha anak-anak.
Hanya dalam 2 hari mereka bertemu dengan orang-orang hebat. Terpesona dan asik mendengar cerita mereka menyerap berbagai pengalaman luar biasa. Bertemu dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang keuangan, bisnis yang sedang berkembang, bahkan bisnis yang idealis.
"otak rasanya penuh banget, ma". Kata mereka dengan muka yang kucel dan kelihatan capek sekali. "Tapi kami merasa harus sering get out ke Jakarta biar gak jadi anak yang terlena comfort zone tinggal di daerah" kata mereka dengan semangat. Aku pikir mereka kapok ternyata malah mendapatkan mood booster.
" just go!. mama yang ngeloni cucuku" kataku memberi semangat.

Suara berubah ketika sampai di tempat kerja anakku. Suara mesin las, mesin plasma untuk memotong plat, dan mesin grenda. Semuanya ramai bersahutan, tanda ada aktivitas yang dikerjakan.
Walaupun masih capek, mereka harus ke tempat kerja. Khusus hari Jumat menjadi super sibuk karena mempersiapkan gaji karyawan. Aku memang tidak bisa membantu banyak. Tapi dengan ada disini, mendampingi ketika pekerjaan menumpuk sementara fisik kelelahan. Membantu menyiapkan apa saja yang mereka butuhkan.

Kemudian aku tinggalkan tempat kerja untuk menjemput cucu di sekolah. Suara anak-anak yang ramai dengan celotehan dan teriakan memenuhi sekolah. Kebahagiaan yang tak ternilai buatku melihat langkah mungil dan wajah yang lucu, menggemaskan. Aku harus membelikan ice cream dulu supaya bisa aku tinggal setelah tiba di rumah dan aku kembali ke tempat kerja anakku. Mungkin anak-anak sudah tidak membutuhkan aku lagi, tapi dengan berada di sini, aku siap dan bersedia membantu.

Bunyi dan suara hari ini ternyata membawa kisahnya sendiri. Bagiku, banyak pilihan yang bisa aku ambil. Dan aku selalu mengambil pilihan dengan mempertimbangkan suara hati sebagai ibu. Sebetulnya hari ini, aku berangkat ke Jakarta untuk bertemu dengan teman-teman SMA. Aku lebih memilih menghanguskan tiketku untuk bisa berada di sekitar ana-anak. Walaupun hanya memberikan bantuan seadanya, dan ala kadarnya. Tidak banyak dan tidak penting. Tapi memberikan kenyamanan dan kebahagiaan untukku sendiri.

Bunyi "tik...tak... tik... tak" jam dinding mulai jelas terdengar ketika malam semakin larut. Suara kendaraan di luar tidak seriuh dan sesering siang tadi. Malam semakin hening untuk menghaturkan doa pendek.
"Terimakasih Tuhan sudah boleh mendampingi anak-anakku dan melihat mereka tumbuh".

Selamat malam, selamat beristirahat.
Biarkan bunyi nafas terdengar
sebagai penghantar tidur
menyambut mimpi

Wednesday, February 13, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 20 - Sudah Selesai


Inda menatap keluar jendela kamarnya. Diluar hujan, udara sejuk, bahkan agak dingin. Seminggu setelah Hendra pergi, dirumah setiap hari ada sembahyangan hingga hari ke 7. Dua hari kemudian dia memutuskan untuk bekerja kembali. Walaupun pimpinan pusat memberikan keleluasaan beberapa hari lagi, tapi di rumah yang mulai kosong justru membuat Inda kesepian.
Satu persatu keluarganya pulang. Masih sering ada tamu yang datang untuk berbelasungkawa, tapi lama-lama berkurang.

Hari-hari dilaluinya hanya bersama Sari dan bibi. Hingga kemarin sembahyangan 40 hari kepergian Hendra. Banyak yang datang, sedikit mengalihkan kesepiannya. Tapi toh semuanya akan segera berlalu. Kembali seperti semula.

Inda masih menatap jendela. Sesak di dada yang awalnya sering terjadi, lambat laun berkurang dengan semakin jauhnya bayang-bayang Hendra. Tiba-tiba air mata pelan mengalir, membasahi pipinya. Tangis yang sepi dalam diam.


Dibiarkannya mengalir. Ada kelegaan dalam dadanya. Inda sudah banyak belajar melepas dan ikhlas dalam banyak hal. Kini dia juga harus mengikhlaskan kepergian Hendra yang mendadak. Kepasrahan total kembali dia rasakan kepada Sang Pencipta yang mengadakan juga meniadakan.

Baiklah....
Tugas sebagai pendamping Hendra sudah berakhir. Ada tugas selanjutnya sebagai ibu bagi Sari. Hidup harus berjalan. Masa depan Sari harus dipersiapkan.

Inda keluar kamar. Mendapati bibi sedang menemani Sari nonton TV. Inda mendekat dan duduk di sampingnya.
"bibi boleh pulang sekarang?" tanya bibi pelan.
"iya bi. Maaf jadi agak sore pulangnya." sahut Inda menyesal membiarkan bibi sampai melebihi jam kerjanya.
"nggak papa, kalau diperlukan bibi juga masih bisa tinggal" Inda minta bibi pulang saja. Tidak apa. Inda merasa harus membisakan diri untuk berdua dengan Sari.

Inda merapatkan duduk di samping Sari, memeluknya dengan lembut.
"Mari kita sambut hari esok dengan semangat baru ya, Sari. Ibu berdoa supaya diberi umur panjang. Supaya bisa mendampingi hingga nanti kamu dewasa, bisa hidup mandiri dan tidak membutuhkan ibu lagi".

Jalan masih panjang

T A M A T


Dalam hidup ini, ada hal-hal yang 'tak terhindarkan' dan yang 'permanen'. Yang tak terhindarkan adalah peristiwa yang harus terjadi dan tidak bisa dihindari. Sedangkan yang permanen adalah pelajaran yang kita petik dari peristiwa tersebut. -- Paulo Coelho dalam novel Gunung Kelima --

Tuesday, February 12, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 19 - Menghantar Pulang
Pukul 8 pagi semua siap berangkat ke Bandung. Mobil jenazah paling depan, ada Hendra dan beberapa teman dari Semarang. Inda, Bapak, Ibu dan Sari menggunakan mobil dinas yang kemarin dibawa dari Bandung. Sopirnya dari RS. Pantiwilasa yang sudah biasa mengikuti mobil jenazah yang biasanya dikemudikan dengan kencang. Dibelakangnya menyusul mobil yang berisi adik-adiknya.

Mobil jenazah meraung dan melaju kencang. Tidak pernah berhenti. Mendapat prioritas di lampu merah dan bisa didahulukan di tempat-tempat yang penuh kendaraan. Mobil Inda melaju ketat di belakangnya, supaya bisa ikut menerobos lampu merah dan kerumunan. Tidak peduli lagi, apa yang dirasakan di dalam mobil. Semua pasrah. Diam. Badan melompat-lompat walaupun sudah terikat seat belt.
Sari... sariku sayang. Kasihan sekali kamu nak... Inda merintih dalam hati.
Perjalanan yang sangat cepat tapi terasa lambat buat semua penumpang. Akhirnya pukul 2 siang lebih mereka mulai memasuki Bandung. Apa pun yang terjadi, pasrah. Inda sudah tidak bisa berpikir, hanya berbisik ke ibu,
"Titip Sari bu. Biar dia di rumah saja. Kasihan dua hari ini perjalanan jauh"
"Iya, Sari dengan ibu. Kamu kuat nak... ibu tahu kamu kuat" ibu memeluknya dengan erat.

Pemandangan yang tak terlupakan adalah melihat jajaran krans bunga duka cita yang menyambut dari jalan hingga masuk depan kompleks rumah dinas. Inda seperti robot. Mengikuti protokol apa yang harus dilakukan. Ada yang datang memeluknya, menangis. Ada yang menyalaminya dengan genggaman erat penuh simpati. Dia tidak ingat siapa. Hati dan pikirannya begitu kosong. Semua sudah dipersiapkan. Dari ITB maupun dari kantornya. Belakangan dia tahu kalau mobil polisi yang mengiringi jenazah ke pemakaman adalah bapak dari salah seorang anak buahnya.
ITB menyediakan 2 bis untuk para pelayat yang ingin menghantar hingga ke makam.

Jenazah Hendra di sholatkan di mesjid kemudian baru dibawa ke pemakanan di Cibarunei. Untuk sampai kesana harus melalui jalan tol. Adik Hendra bersiap di gerbang tol untuk membayar semua kendaraan yang akan menghantar hingga makam, dihitung ada sekitar 60 mobil. Luar biasa.
Upacara pemakaman berjalan lancar dan khusuk. Jenazah dimasukkan ke liang lahat dan tanah mulai menutupinya. Bunga bertaburan di atasnya.
Setelah semua selesai, Inda mempersilahkan kalau ada yang ingin menyampaikan sesuatu untuk Hendra. Salah satu teman seniman Hendra, menyampaikan pesan terakhir. Cukup panjang sehingga Inda tidak bisa mengingatnya. Hanya kalimat teakhir yang diingatnya. Bahkan selalu diingatnya, karena kata-kata tersebut sungguh menguatkan hati dan memberikan kesejukan.

 “ saya iri sama kamu Hen. Kamu tidak pernah madon, berjudi, mabok, maling, nipu. Asyiklah hidup kamu. Kamu mencintai Indamu abis banget. Lalu Sari, ratu dimatamu, ratu dihatimu. Berbahagialah Inda dan Sari mu punya suami setia dan ayah sepenuh cinta”

Hampir magrib semua pelayat  mulai meninggalkan makam. Seluruh keluarga masih tinggal untuk beberapa saat. Pandangan semua mengarah ke Inda. Mereka hanya akan meninggalkan makam kalau Inda sudah siap. Ditatapnya gundukan penuh bunga hingga menutupi nisan. Inda berjongkok sebentar. Menyentuh tumpukan bunga,
"selamat malam kekasih, selamat tidur abadi" bisiknya sangat pelan. Tak seorangpun mendengar.

Kembali ke rumah. Lunglai, letih dan lelah. Banyak tamu di rumahnya, datang dan pergi. Inda tidak ingin peduli. Bahkan ingin menjauh sebentar dari Sari. Semua terlalu cepat. Sangat sulit dipahami. Dihempaskannya badan di tempat tidur. Kosong. 
Tiba-tiba menyadari bahwa sejak dari Semarang dia belum mandi, belum makan, tidak tidur sekejapnya di perjalanan dan juga tidak menangis.
Dadanya sesak dan perih, tapi tidak bisa menangis.

Bersambung...

Monday, February 11, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 18 - Perjalanan Pulang

Yeeeyy... ayo jalan-jalan jauh ya nak...
Kamis pagi semua sudah siap untuk perjalanan ke Semarang. Mereka mampir dulu ke rumah ibu Hendra. Sampai disana, Inda dan Sari diminta turun dulu di rumah ibu. Hendra ingin ngajak ibu jalan-jalan dulu keliling Bandung seperti biasa. Inda sama sekali tidak keberatan, karena sejak ada Sari, Hendra tidak bisa mengajak ibu jalan-jalan setiap hari seperti dulu. Jadi dibiarkannya mereka berdua pergi menjalin ikatan ibu dan anak yang sangat penting buat Hendra.
Siang hari mereka berdua baru tiba kembali ke rumah. Rupanya mereka sudah makan siang bersama. Inda menikmati makan siang di rumah yang sudah disediakan bibi. Lama tidak menikmati masakah bibi, yang dulu menjadi menu sehari-hari lebih 2 th tinggal disitu.

Setelah beristirahat, mereka berpamitan. Sudah menjelang sore. Udara lebih segar dibandingkan perjalanan siang hari. Bagus untuk Sari, apalagi sore hari biasanya tidur, jadi akan lebih nyaman dalam perjalanan.
Dalam perjalanan ke Semarang, Hendra mengeluh capek dan ingin beristirahat. Inda mengusulkan untuk menginap atau apalah, yang penting bisa beristirahat.
"aku cuma pingin berhenti sebentar. Cari pohon yang rindang, jadi bisa tidur sebentar di mobil. Nggak usah menginap." kata Hendra. Di daerah Tegal, Hendra menghentikan mobil dan tidur. Inda tidak tidur, karena ada Sari yang juga tertidur nyenyak di belakang.
Inda menatap wajah Hendra yang dalam pandangannya "kok beda", tidak seperti biasanya. Tapi dia segera menepiskan kesan tersebut dari pikirannya.

Tengah malam mereka baru tiba di Semarang. Langsung beristirahat. Tidak ada yang istimewa. Semua berjalan seperti biasa. Pagi ngobrol dengan bapak dan ibu sambil sarapan. Membicarakan tentang rumah sebelah yang akan dijual. Tapi baru obrolan ringan belum mengambil keputusan akan dibeli atau tidak.
Bapak dan ibu juga sibuk dengan cucu cantik mereka Sari. Inda bahkan bisa bersantai karena Sari ada di tangan ibu dan adiknya yang sekarang sudah menjadi dokter di RS. Pantiwiloso dan tinggal serumah dengan bapak ibu.
Siang itu Hendra berpamitan, ingin jumatan di Mesjid Demak. Bapak yang sibuk dengan Sari tidak menyadari kalau Hendra sudah berangkat.
"Hendra mana?" tanya bapak ke Inda.
"Jumatan ke Mesjid Demak pak" jawab Inda santai.
"ah.. tahu gitu bapak ikut menemani" jawab bapak menyesal. Inda mencoba menghubungi Hendra, tapi sudah cukup jauh perjalanan. Kalau kembali ke Semarang takut terlambat ke masjid.

Selesai Jumatan, Hendra menelpon dengan suara yang ceria dan bahagia.
"tahu nggak In, ternyata lonceng yang aku buat dengan tatanan batu bata itu mirip dengan yang ada di Mesjid Kudus". Oya?? lho.. kok sampai Kudus? Tapi Inda senang mendengar suara Hendra ceria, bersemangat.

Siang menjelang sore Hendra tiba kembali di rumah. Tanpa mandi, langsung menggendong Sari. Memeluknya dan mendekapnya kesana kemari, sampai akhirnya Sari tertidur. Setelah menidurkan Sari baru Hendra mengajak Inda, bapak ibu dan adik membongkar oleh-oleh dari Demak dan Kudus.
Ada belimbing dan berbagai rasa jenang kudus yang terkenal. Hendra mengupas belimbing untuk Inda. Juga memotong jenang, minta Inda mencicipi semua rasa yang dibelinya.
Sore yang indah berlalu tanpa terasa. Menjelang malam Inda memutuskan untuk tidur lebih dahulu. Menidurkan Sari membuatnya ikut mengantuk. Tidak ada firasat apa pun, bahwa sore itu adalah sore terakhir kebersamaannya dengan Hendra.

Pagi hari, seperti biasa Inda terbangun dan membangunkan Hendra untuk sholat subuh. Inda terkejut melihat Hendra sudah bangun tapi dengan posisi sujud disamping Sari, dan nafasnya kelihatan sesak.
"kenapa Hen.." tanya Inda kawatir. Hendra tidak menjawab tapi langsung ke kamar mandi yang ada di kamar itu juga. Keluar dari kamar mandi Inda melihat wajah Hendra yang bersinar dan kelihatan tampan sekali. Kaget dan terkesiap dengan pemandangan itu, Inda membimbing Hendra kembali ke tempat tidur. Ketika menyelimutinya, kakinya sedingin es. Inda kawatir dan kaget melihat kondisi Hendra yang melemah tidak berdaya. Langsung dia berteriak hingga membangunkan seisi rumah.

Bapak dulu perawat, ibu bidan, sedangkan adiknya dokter. Semua membuat pertolongan pertama, membantu pernafasan. Sementara adik iparnya mempersiapkan mobil. Tanpa pikir panjang mereka membawanya ke Rumah Sakit Telogorejo yang paling dekat.
Berlari dan berlari, semua dilakukan dengan cepat. Peralatan untuk membantu pernafasan segera dipasang. Tapi Hendra sudah tidak bisa menarik nafas.
Semua lunglai dan kaget. Terduduk diam. Masing-masing dengan perasaannya sendiri. Inda baru menyadari kalau mereka semua pergi tanpa ganti baju tidur bahkan tanpa alas kaki.
Pikirannya cukup waras untuk segera melakukan sesuatu. Hendra harus segera dibawa ke Bandung untuk dimakamkan hari itu juga, sesuai dengan agama Islam.

Semua harus cepat. Keputusan harus segera diambil. Rencana untuk membawa jenazah dengan pesawat di alihkan ke mobil jenazah. Karena prosedur menggunakan pesawat lebih rumit dan tidak bisa dipastikan jam keberangkatannya. Sebagai dokter di RS. Pantiwiloso, adik Inda segera mengusahakan mobil jenazah.
Inda menghubungi kantor cabang Semarang untuk mengabarkan kepergian Hendra. Juga mengabari salah satu teman dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

Sari... Sari.. dimana Sari... ooohhh... ada ibu yang menemani.
Tiba-tiba ada rombongan dari kantor cabang Semarang yang membawakan baju dan sandal. Inda tidak tahu kapan mereka melihat kondisinya. Kapan mereka pergi berbelanja. Tahu-tahu mereka ada.
Semua harus cepat, supaya Hendra tiba di Bandung tidak terlalu sore.
Tidak ada kesempatan untuk menyadari apa yang terjadi. Lunglai tapi harus kuat. Harus tabah, harus waras. Semua harus bisa dihadapi dengan tenang.
Sebelum di sucikan Inda mendekati Hendra yang tertidur nyenyak. Memeluk dan meletakkan kepala di dadanya. Mengecup kening dan kedua pipinya. Tidak bisa menangis. Semua dilakukannya dengan hati dan pikiran kosong.


Banyak uluran tangan datang. Membantu menghantar Hendra pulang...

Bersambung...

Sunday, February 10, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 17 - Kenangan Terakhir

Sari membawa perubahan dalam diri Hendra. Pelan dan tersamar, tapi Inda bisa merasakan perbedaanya. Kesibukannya hanya berpusat di kampus dan satu pameran di Jakarta. Sepertinya tidak terlalu tertarik untuk pergi. Dia lebih senang di rumah bermain dengan Sari. Bahkan ada satu hari telpon di kantornya tidak berdering seperti biasa. Aneh. Tidak biasanya seperti itu.
"hai.. kok tumben nggak jemput" Inda berinisiatif telpon ke rumah.
"Sari bobo, ngga tega mau bangunin" bisik Hendra di seberang.
"ibu bagaimana? nanti ditunggu-tunggu lho" kata Inda lagi, mengingatkan.
"tadi sudah aku kabari" jawabnya pendek. Baiklah, Inda pulang diantar mobil dinasnya. Mampir sebentar membeli makanan kesukaan Hendra. Tersenyum simpul. Hebat sekali Sari, bisa mengubah kebiasaan yang sudah bertahun-tahun mengakar.

Hendra lebih hangat dan tidak segan-segan menunjukkan rasa sayangnya ke Inda. Memeluk dan mendekapnya sambil nonton TV setelah Sari tidur. Bahkan tidak segan menggandeng tangan atau melingkarkan tangan di bahunya ketika keluar dari kantor Inda. Tangan lainnya menggendong Sari. Menelpon dan mengajak jalan-jalan ibu tidak lagi seketat dulu.
Hendra terlihat segar, sehat dan bahagia. Menikmati hari-harinya dengan keceriaan yang dulu jarang tersirat dalam kesehariannya.
Baju-baju baru yang dibelikan Inda menumpuk karena tidak dipakai. Kali ini Hendra memakainya. Bergantian setiap hari. Sampai ada teman dosen kampus yang berkomentar.
"wah bajunya baru terus, lagi banyak uang ya..."

Hendra juga bercerita, dia lagi pingin nraktir teman-teman dosen.
"ya sebagai ucapan terimakasih. Selama ini mereka sebetulnya mendukung aktivitasku ketika harus pameran kemana-mana" Inda menyetujui. Sangat baik sesekali ngajak mereka makan bareng. Makanan menjadi media terbaik untuk mempererat hubungan.

Malam itu, sambil berpelukan nonton TV, Hendra berkata,
"ada liburan Isa Almasih, kita ke Semarang yuk. Itu hari Jumat. Ambil cuti sehari, kita bisa agak lama di Semarang"
"hah... tiba-tiba banget. Aku Sabtu ada rapat koordinasi. Memang diambil pas hari libur, biar nggak keganggu kerjaan. Gimana?' jawab Inda masih kaget dengan ide mendadak yang dilontarkan Hendra.
"sudah lama nggak ke Semarang. Pingin pamer Sari ke bapak ibu. Kan sudah lumayan besar untuk diajak pergi jauh,"
"Lagi pula pingin lihat rumah sebelah bapak ibu. Kata ibu mau dijual. Lumayan besok buat masa pensiun, jadi dekat bapak ibu." lanjut Hendra.
"ya ampuun Hen.. pensiun masih lama banget. Lagian kayak lagi kaya aja. Mau beli rumah" kata Inda sambil tertawa.
"Jual aja mobil kijangku itu." hah... mulai ngaco rupanya. Melihat ekspresi Inda, Hendra melanjutkan.
"iya gapapa. Misalnya nanti nggak suka dengan rumah itu, ya buat tabunganmu aja".
Inda mengabaikan usulan Henda soal menjual mobil untuk membeli rumah di Semarang. Pikirannya langsung dipenuhi rencana ke Semarang. Berarti dia harus mengambil cuti 1 hari untuk Kamis, Jumat tanggal merah libur Isa Almasih, Sabtu bisa kembali ke Bandung untuk Rapat Koordinasi.

Karena hanya bertiga, Hendra menyiapkan mobil dinas Inda, dirancang supaya Sari bisa tidur di belakang dengan nyaman. Jendela mobil bagian belakang dipasangi gorden supaya Sari tidak kepanasan. Semangat dan bahagia menyambut perjalanan pulang.
ayo nak... kita ke tempat eyang kakung dan eyang putri
Bersambung

Saturday, February 9, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 16 - Ketika Hening Diletakkan


Hendra bergulat dalam kegelisahan batin. Menyadari sesuatu yang selama ini diabaikan. Dia mengajarkan ketulusan dan keikhlasan hingga titik pasrah yang total kepada Tuhan dalam diri Inda. Tapi dia sendiri belum sampai ke titik tersebut.
Hendra kembali memutar balik segala hal yang dilakukannya terhadap Inda. Melibatkannya dalam beban hidupnya sejak kuliah hingga menyeretnya bersatu dengannya menjadi tulang punggung keluarga.
Memintanya hidup bersama keluarganya 2 tahun lebih, hanya karena ketidak tegaannya membayangkan Inda sendirian di rumah mercusuar kecil yang sudah dibeli Inda sendiri. Semuanya untuk menentramkan dirinya selama dia pergi. Bagaimana dengan Inda? dia tidak pernah memikirkan perasaannya.

Inda selalu diminta untuk memahami ibu dan adik-adiknya, tapi tidak meminta mereka memahami Inda.
Ketika tinggal bersama keluarganya, Inda pernah bercerita kalau sakit panas dingin sampai tidak bisa berangkat ke kantor. Dan tak seorangpun isi rumah yang mengetahuinya.
"lhah.. kenapa nggak bilang ke ibu kalau sakit, pasti kan dirawat" jadi Inda yang salah.

Inda berusaha datang ke pamerannya di Jakarta sepulang kantor, naik travel sendirian. Dan malam itu juga kembali ke Bandung tanpa Hendra karena masih sibuk menyelesaikan pameran. Ketika Inda mengeluh, kenapa tidak minta adiknya untuk menemaninya. Dia menjawab,
"kalau kamu nggak pingin datang, ya nggak usah datang"
Ya Tuhan, betapa jahatnya. Hendra terpukul mengingat ini semua.

Dia tidak membelanya ketika Inda menjadi bahan cerita lucu, karena suatu ketika dia ketinggalan di rumah sendirian, terkunci. Waktu itu semua sibuk ketika adik Hendra menikah. Hendra menjadi ketua panitia sehingga sibuk dengan berbagai persiapan. Inda waktu itu masih berdandan, ketika semua menganggap rumah sudah kosong dan menguncinya dari luar. Waktu itu belum ada HP, jadi Inda hanya pasrah menunggu keajaiban. Kebetulan teman adiknya kembali ke rumah karena ada yang ketinggalan. Barulah Inda bisa keluar dan ikut menghadiri pesta perkawinan. Saat itu menjadi cerita yang seru dan lucu. Dan Hendra diam saja.

Ketika Inda kesulitan memahami karya-karyanya, Hendra menganggap dia  berpikiran terlalu lurus tidak peka dan tidak berperasaan. Haaaah... apa yang aku lakukan. Kejam sekali aku menyebut dia tidak berperasaan. Akulah yang tidak berperasaan!!

Rangkaian kesadaran memberondong hati dan pikiran Hendra.
Inda rela meninggalkan pekerjaanya selama 2 bulan untuk mendampinginya ketika sakit di Jepang. Mengisi waktunya sendiri ketika harus ditinggal ke kampus. Menjalani hari-harinya dengan gembira sebagai ibu rumah tangga. Atau menikmati Kyota yang indah dengan naik sepeda. Semua dilakukannya dengan tulus hati.
Inda mendukung kariernya sepenuh hati dan total. Dengan biaya sendiri dia berangkat ke Denmark untuk menemaninya. Tabungannya terkuras untuk membiayai karya-karyanya. Hendra mengakui dia adalah donatur utama dalam menciptakan karya seni yang luar biasa.

Tamu itu datang tiba-tiba. Mereka berdua kebetulan ada dirumah. Inda mempersilahkannya masuk. Ternyata tamu itu menawarkan berlian. Dengan keahliannya membujuk Inda untuk membeli. Kebiasaan di kantor kalau menerima tamu, pasti ada bumbu basa-basi supaya tidak kaku.
"iya ya, bagus-bagus. Tapi enggak sekarang mbak, lain kali saja" kata Inda. Rupanya kata "iya ya" ini menjadi senjata buat merayunya lagi. Kali ini yang ditatap Hendra.
"bagaimana pak? bapak nggak ingin membelikan ibu?" waktu itu Hendra nampak gelagapan. Inda memahami situasi dan lebih tegas menolak.
Ketika tamu penjual berlian sudah pergi. Hendra marah.
"In, kalau kamu bersikap seperti itu di depan tamu tadi, berarti kamu tidak menghargai suamimu karena tidak mampu membelikanmu berlian" lhoh.. waktu itu terjadi perdebatan cukup keras. Inda menjelaskan bahwa itu semua basa-basi dan penjual berlian selalu menggunakan berbagai cara supaya dagangannya laku.
Hendra sungguh tidak paham. Dia marah dan tersinggung karena tidak bisa membelikan berlian untuk Inda. Harga dirinya sebagai pria dan suami digoyahkan. Tapi kemarahannya ke Inda itu keterlaluan. Marah terhadap diri sendiri yang dilontarkan ke orang lain. Itu jahat Hen... kata suara hatinya semakin keras.

Menelponnya setiap hari, itu bukan cinta. Itu posesif!. Suara hatinya makin keras terdengar, seolah tidak ingin dibungkam lagi. Kamu hanya ingin memilikinya, tapi tidak memberikan kebebasan. Kamu mati-matian belajar tentang cara mendengarkan. Tapi kamu tidak mendengarkan orang yang paling kaucintai selama ini. Kamu bicara soal keikhlasan, tapi lihat! kamu bahkan membelenggunya dengan pemikiranmu sendiri.

CUKUP. Tegas Hendra pada dirinya sendiri. Ya aku mengakui bahwa selama ini sebetulnya aku malu dan minder dengan segala yang ada dalam diri Inda. Kesabaran, kesetiaan, ketulusan, keikhlasan yang sudah dia miliki sejak dulu. Bukan aku yang membuatnya menjadi begitu baik hatinya.

oooh Tuhan.. apa yang sudah aku lakukan?
Rangkaian peristiwa masa lalu yang muncul begitu saja, membuat Hendra lunglai dalam penyesalan. Malam itu dipandanginya dua buah hatinya, Inda dan Sari. Tenggorokannya tercekat, airmata tertelan dalam kepedihan yang sulit diungkapkan. Betapa egoisnya dia selama ini. Dia sudah menghancur leburkan kepentingan pribadi Inda, sementara kepentingannya sendiri dilambungkan menembus jarak bumi.

Ketika Hening Diletakkan
Cukup.
Cukup sudah loncengnya berdentang
hingga gemanya terdengar kemana-mana.
Sudah saatnya lonceng diturunkan
Biarkan menyatu dengan bumi dimana hening diletakkan.

Bersambung...

Friday, February 8, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 15 - Karunia Terindah


 Sulit menggambarkan bagaimana perasaan mereka ketika bayi mungil cantik itu ada dalam pelukan. Sari menjadi panggilan sayang. Wajahnya yang cantik lucu belum bisa menggambarkan mirip siapa. Bapak atau ibunya. Seperti komentar setiap orang yang datang berkunjung,
"mirip siapa ya?"
"mirip bapaknya, tapi juga mirip ibunya" ya iyalah.. kan memang perpaduan berdua.

Sari, Sari dan Sari sungguh merubah hidup mereka. Hendra seperti orang jatuh cinta. Seluruh perhatian, cinta dan kasih sayang tercurah ke bayi mungilnya. Disiapkannya box bayi dengan lampu di bawahnya, mengusir udara Bandung yang dingin. Semua peralatan bayi sudah disiapkan sebelum Sari tiba di rumah.
Sari menjadi ratu, menyisihkan Inda dan ibunya. Inda sering mentertawakan kelakuan Hendra yang kadang berlebihan.
Bibi yang menjaga Sari bercerita. Ketika Inda berangkat ke kantor dan Hendra juga bersiap berangkat ke kampus, mengendarai mobilnya keluar pagar. Tiba-tiba berhenti. Dia kembali masuk hanya untuk menggendong Sari berkeliling rumah. Seakan tidak ingin berpisah sekejap pun.

Kebiasaan menjemput ibu, kemudian ke kantor Inda, berkeliling Bandung dan makan malam bersama masih berjalan. Bedanya, ada Sari dalam pelukan. Dibawa kemana-mana.
Hendra menjadi kerasan di rumah. Kalau ada tugas keluar kota, diusahakan pagi berangkat, pulang petang. Waktu buat Sari menjadi sangat berharga baginya. Keterikatan dengan bayi mungil tak berdaya memberi ikatan kuat untuk merasakan kepasrahan, kepercayaan, semeleh total dalam dekapannya.

Hendra dalam pencarian "sejatining urip" banyak berguru ke berbagai sumber. Sumber tradisional dan modern, hanya untuk tahu dimana dia berada dan apa yang harus dilakukan untuk sampai pada titik semeleh dan memberikan ruang yang luas kepada Sang Khalik untuk berkarya.
Sari yang nampak damai dalam tidurnya, polos dan suci. Menyerahkan hidupnya dalam pelukan tangan Hendra. Di tangannya sendiri. Seakan Hendra diberi kekuasaan penuh terhadapnya. Kekuasaan untuk mencintai dan mengasihi.
Apa artinya pengembaraannya selama ini, kalau jawaban yang dia cari ada dalam diri bayi bernama Sari. Mencintai dan mengasihi Sari hanyalah belajar diam, hening dan mendengar. Seorang ibu memiliki sifat naluriah untuk memahami bayinya, karena mereka memang sudah terikat sejak dalam kandungan melalui tali pusar. Sebagai bapak keterikatannya bersumber hanya pada awal mula bayi itu ada.
Setelah banyak belajar dari para "eyang" yang menuntunnya untuk memahami makna kehidupan, kini Hendra sebagai bapak belajar dari putri kesayangan dan ratu dihatinya, Sari. Dalam hening dia mendengar suara tangis yang berbeda-beda. Memberikan tanda haus atau lapar, ketidak nyamanan karena popok basah. Atau sekedar belajar berinteraksi dengan sekitar melalui celotehnya yang lucu. Rasa haru mengalir hangat di hatinya.

Mengikuti pertumbuhan Sari dari hari ke hari melahirkan rasa yang berbeda. Bertahun-tahun dia bergelut dengan benda mati. Dihidupkannya dalam karya seni yang diakui di dalam dan luar negeri. Kini di pelukannya ada ciptaan Tuhan yang hidup. Tumbuh dan semakin hari semakin mencuri hatinya. Dari bayi yang sepenuhnya bergantung pada orangtuanya, hingga mulai belajar berguling, duduk, merangkak dan berjalan. Kemandirian sedikit demi sedikit muncul seiring pertumbuhannya. Dari bibirnya yang mungil, semula hanya ada tangis, hingga senyum tanpa suara. Kemudian menjadi celotehan tanpa arti. Suatu saat nanti, akan menjadi ketrampilan menyampaikan sesuatu, bahkan berdebat dengan orangtuanya. Hendra tidak sabar menantikan saat itu tiba.

Saat ini dia baru bisa menatap matanya yang bulat bening. Mata Inda.
Tiba-tiba hatinya berdegub kencang. Mata Inda, mata Sari. Mereka sama. Kenapa aku tidak menyadarinya selama ini? Inda sudah sejak remaja dia kenal, mengapa baru sekarang dia memahaminya?
Bertahun-tahun dia bergulat dengan benda mati untuk mencari harmoni kehidupan. Menggali ilmu yang bisa menggabungkan hal-hal duniawi dan spiritual. Tapi dia melupakan hal yang penting, yaitu hidup itu sendiri. Hidup yang sekarang baru dia sadari lewat mata Inda dan Sari, yang bening, lugu dan tulus. Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan selama ini?


Bersambung...

Thursday, February 7, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 14 - Mengasah Nurani

Berkat ketekunannya, Inda diangkat menjadi pimpinan di kantor cabang Bandung. Hanya setahun tinggal di rumah mercusuar, mereka pindah ke rumah dinas. Rumah yang besar dengan halaman yang luas memberi keleluasaan bagi Hendra dalam berkarya. Pameran kadang di warnai pementasan yang melibatkan teman-teman sekompleks, bahkan juga warga sekitar. Hendra mudah sekali bergaul dan berteman dengan siapa saja. Seakan memiliki kepekaan untuk melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial.

Suatu hari, tiba-tiba Hendra membelokkan mobilnya bukan ke arah pulang.
"lhoh... kita mau kemana?" tanya Inda heran.
"nggak tahu nih.. kita ikuti aja" jawab Hendra tenang.
Tiba-tiba mobil berhenti di sebuah Panti Asuhan. Seperti di arahkan ke suatu kegiatan yang sudah disiapkan sebelumnya. Bergabung dengan anak-anak panti asuhan, Hendra mengajar mereka menggambar. Selanjutnya menjadi hal rutin yang dilakukannya. Kebaikan hati seperti ini lah yang menyentuh hati Inda.

Dengan adik-adik dan keponakannya, sikapnya tidak berubah. Ketika ada rejeki yang dibelinya mobil Kijang, mobil keluarga. Yang bisa membawa banyak penumpang.
Kalau ada acara pergi ke luar kota, yang paling sibuk adalah Inda dan Hendra. Semua keponakan yang masih kecil-kecil maunya ikut mobil yang besar. Alhasil, semua kursi di belakang di singkirkan. Digelar kasur dilengkapati banyak bantal. Dan yang lucu, Inda harus menyiapkan botol susu dengan isi yang berbeda-beda, sesuai kebiasaan masing-masing. Ramai dengan celoteh anak-anak membawa kehangatan di hati mereka.

Belajar dari Hendra, adalah belajar menghancur leburkan kepentingan diri. Inda mulai terbiasa dengan segala hal yang dia lakukan untuk orang lain. Sedikit demi sedikit mulai paham bahwa hidup yang sesungguhnya tidak bisa dihitung dengan tepat seperti perhitungan rugi-laba. Dengan memberikan hati dan perhatian kepada orang lain, akan memberikan berkah yang tak terduga.

Ketika dulu tugasnya di bagian kredit, Inda pernah mendapat ucapan terima kasih dari salah seorang nasabahnya. Oleh Hendra, dana tersebut dibelikan hasil karya teman-temannya yang bagus dan kebetulan membutuhkan uang. Kemudian hasil karya tersebut diberikan kembali ke nasabah tersebut sebagai kenang-kenangan. Tidak menerima, tidak kehilangan, tapi memberi. Hendra mengajarkan banyak hal dalam mengasah nurani, mendengarkan isi hati.
"Hati yang murni akan mengajak kita berbagi. Melakukan hal-hal yang baik bagi orang lain. Semakin banyak kita berbagi, semakin banyak kita menerima. Jadikan diri saluran berkat dari Tuhan".

 Rumah dinas yang besar sering kedatangan tamu, baik dari dalam maupun luar negri. Kadang hanya sekedar berkunjung. Beberapa ada yang menginap bahkan sampai 3 bulan untuk menyelesaikan karya yang akan dipamerkan.

Inda mengenang saat 2 bulan tinggal di Kyoto Jepang. Merawat Hendra yang sakit. Beruntung dalam waktu 10 hari Hendra sudah sehat dan kembali beraktivitas. Sisa waktu yang masih panjang dinikmatinya sebagai ibu rumah tangga. Saat itu ada komunitas Indonesia yang sering berkumpul berbagi infomasi. Apartemen Hendra juga berpenghuni banyak. Lantai atas terdiri dari kamar berderet-deret. Lantai bawah untuk dapur, ruang tamu, ruang cuci dan kamar mandi. Tapi jumlahnya banyak sehingga tidak perlu antri. Lantai bawah menjadi tempat mereka berkumpul, memasak dan bercerita.
Kamogawa, tempat Inda diam semeleh (ft:Yongkie Hurd)
Kalau Hendra pergi ke kampus, Inda akan berkeliling Kyoto dengan sepeda. Menikmati pemandangan yang indah dan luar biasa bersih. Udara yang dingin sering membuat gigi bergemeletuk ketika bersepeda. Tempat favoritnya adalah Kamogawa, atau Kamo River. Duduk di tepi sungai diam semeleh, memberikan rasa yang tak terlukiskan. Teman-temannya ramah dan sangat membantu. Di saat mereka libur, bersama-sama naik kereta ke Osaka, Nagoya dan Tokyo.
Ketika berkunjung ke rumah Prof. Kawasaki di Shigaraki (sentra keramik di Kyoto), Inda memasak sate ayam dengan bumbu kacang yang tidak pedas. Sebagai gantinya dia diajari memakai kimono lengkap.

Pengalaman indah 2 bulan di Jepang, bergaul dan mengenal teman-teman Hendra, membuat Inda terbiasa menerima mereka di rumahnya. Saling berbagi, saling memberi. Bercanda dan bercerita di sore hari.
Inda mulai terampil menyiapkan segala sesuatunya. Mengatur waktu untuk pergi ke kantor dan menjadi koki gadungan.
"lhoh kok koki gadungan?"tanya Hendra geli.
"iya nih... mesti dimaklum kalau nggak enak ya. Lumayan grogi kalau masak buat banyak orang..." sahut Inda sambil membantu bibi menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak.
"pasti enak!!" kata Hendra sambil mengecup pipinya sekilas. Sejak tinggal di rumah mercusuar hingga pindah ke rumah dinas, Hendra tidak canggung lagi menunjukkan perasaannya. Menggandeng, memeluk dan mencium pipi bukan sesuatu yang mahal lagi.

Di saat senggang mereka juga mengajak semua tamu bepergian keliling Bandung.
Tamu yang tinggal bersama mereka membawa suasana yang hangat dan menyenangkan. Inda merasa kehilangan ketika mereka semua kembali pulang. Dan dalam rumah yang besar hanya tinggal mereka berdua. Sepi melanda...
Bersambung...




Wednesday, February 6, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 13 - Mercusuar

Rumah mungil type 36 itu menjadi mercusuar bagi Hendra. Pengembaraannya mencari jawaban atas kegelisahan hati yang terjebak dalam masa lalu dan masa kini terus digali dan digali. Selain terus mengajar tentang seni keramik yang dia pelajari di Jepang, dia juga mewujudkannya dalam karya. Pengembaraannya untuk mewujudkan seni keramik membuatnya harus pergi beberapa minggu bahkan bulan, ke berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri.
Hendra ingin menggabungkan dua kutub, nilai lama dan nilai baru yang disadari menjadi dua dunia yang membentuknya hingga sekarang ini. Pencariannya membawanya ke kehidupan tradisional di Cirebon, Jogjakarta, Klaten, Bali bahkan suku Asmat Papua.
Nilai baru di himpunnya dari tugas-tugasnya ke luar negeri juga pameran-pameran yang diadakan di berbagai negara.

Pembelajaran tentang pengolahan material, berlanjut ke Filipina. Undangan pameran berdatangan dari berbagai negara. Denmark, Belanda, Jepang tentu saja. Juga di negara-negara seperti Italy, Korea, Turky, Bangladesh dan Kanada.
Kalau kebetulan bisa cuti Inda ikut mendampingi. Inda pernah mendampingi pameran di Denmark. Tapi di tempat-tempat lain terpaksa berangkat hanya bersama tim.
Untuk mendukung karyanya Hendra melakukan pencarian dan pemahaman spiritualitasnya hingga ke Nepal, Kathmandu. Dan menggabungkannya dengan filsafat hidup para sesepuh atau yang selalu dia sebut "eyang". Dari para eyang inilah Hendra menimba religiusitas dasar bersumber pada energi alam semesta, air, tanah, udara dan api.

Dimana pun Hendra berada, lampu yang dinyalakan Inda memancar lewat mercusuar, membuatnya ingin pulang ke pelabuhan hatinya. Apa pun yang dilakukan Inda, membuatnya bersyukur tanpa henti. Ucapan "terimakasih" selalu meluncur dengan tulus dari bibirnya. Dari mengambilkan segelas air putih, menyajikan teh hangat, hingga memasak masakan kesukaannya. Tak tahan Hendra sering memeluknya di tengah Inda memasak.
Inda segalanya bagi Hendra. Setiap Inda memiliki kesempatan untuk hadir dan mendampingi dalam pameran dia akan dengan bangga memperkenalnya "ini Inda istriku sekaligus donatur utamaku". Ungkapan yang membuat Inda merona dan malu. Walaupun memang mengandung kebenaran.

Memahami Hendra bukan hal yang mudah. Bahkan teman-teman sesama seniman menyebutnya berperilaku nyeleneh. Bagi Inda yang bergelut dalam dunia rasional angka dan huruf semakin sulit lagi memahami sepak terjangnya dan juga karya-karya yang kental dengan balutan mistis dan spiritual. Kalau sudah bergumul dalam pembuatan karyanya, seakan sulit ditembus. Sangat total dan merasuk dalam mewujudkan karya seni ciptaanya.
Inda memilih untuk undur diri, dan membiarkan Hendra bergelut dalam dunianya. Kadang merasa nelongso karena terabaikan, tapi toh Inda terus melakukan hal-hal yang mendukung Hendra tanpa henti. Benar kalau dia adalah donatur utamanya. Karena mewujudkan karyanya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Juga biaya pengembaraanya. Kadang ada sponsor, kadang dana dari Fakultas, tapi pasti juga menguras dana pribadi.

"lalu, apa yang membuatmu bertahan, In?" tanya sahabat Three Musketeer semasa kuliah dulu,  ketika berkumpul di Bandung.
"hhhmmm... apa ya?" butuh waktu juga untuk menjawab. Karena memang tidak pernah terpikirkan.
"Hendra kan baik ya orangnya" kata Inda melanjutkan.

"Dia baik, rasanya tidak ada alasan untuk mengeluh. Dia setia. Kalaupun dia melupakanku saat sibuk pameran atau membuat karya, atau harus pergi berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan kesana kesini, ya memang begitulah dia, selalu total. Lagipula, kalau dengar suaranya bahagia karena pamerannya sukses, rasanya semuanya sudah terbayar" ungkap Inda lega. Seakan baru menyadarinya sekarang kalau sebetulnya semua yang dilaluinya baik-baik saja.

Setiap kali Inda melihat hal-hal baik yang dilakukan Hendra, terhadap dirinya, ibu dan keluarga besarnya dan semua orang di sekitarnya yang bahkan kadang tidak dikenal, memberikan energi yang besar untuk menyalakan lampu mercusuar. Membuat Hendra tahu arah pulang ke pelabuhan hatinya.





Bersambung...

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 12 - Mengolah Budi

Inda tidak ingin berhenti dan menyerah. Dia mengayuh roda perkawinannya dengan penuh semangat. Memusatkan pikirannya pada pekerjaan. Menikmati hidup bersama keluarga besar Hendra dengan pikiran positif. Menghargai segala hal yang sudah tersedia di meja makan, tanpa dia harus menyiapkan, sehingga bisa langsung berangkat ke kantor.
Hendra menyapanya setiap hari lewat telpon. Inda mulai bisa menerima setiap kali bergantian menerima telpon dengan ibunya. Dia lebih memilih untuk bekerja dan mulai memikirkan diri sendiri. Terasa berat ketika harus melewati hari Sabtu dan Minggu.
Maka Inda memutuskan untuk refreshing ke rumah kakaknya di Jakarta. Setiap Jumat pagi Inda berpamitan untuk pergi ke Jakarta. Jumat itu juga pulang kantor Inda langsung naik travel ke Jakarta. Baru Minggu sore dia kembali ke Bandung karena Senin harus bekerja.

Kariernya di bank mulai merangkak naik. Semakin giat bekerja sebagai pengalih rasa sepi dan rindu, justru memberi dampak positif dalam pekerjaannya. Semakin banyak persoalan yang bisa dia atasi dengan baik. Kebiasaan menerima telpon di kantor dengan nada tanya "ada apa?" sering dikritik Hendra. Karena Hendra kalau menelpon sekedar menyapa dan ingin tahu kabarnya. Bahkan ketika sedang tidak pergi keluar kota atau ke luar negeri, Hendra selalu menelpon pada jam Inda pulang kantor.
"apa kabar hari ini? nanti mau pulang jam berapa? pingin makan malam di mana?" selalu pertanyaan yang menunjukkan perhatian, bukan persoalan.

Telpon yang diterima dari Jepang setelah kepergian Hendra hampir 6 bulan membuat Inda bertanya "ada apa?" karena yang terdengar di ujung sana adalah suara temannya.
"Hendra sakit!" jawabnya pendek.
"Sakit gimana?" nada Inda penuh kekawatiran, karena selama ini dia belum pernah menghadapi Hendra sakit.
"nggak bisa bangun, kakinya nggak bisa digerakkan" HAAH.. sekarang Inda benar-benar panik.


Ibu bercerita Hendra pernah sakit seperti itu waktu SMP sampai harus opname. Inda segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke Jepang. Beruntung prestasinya yang bagus di kantor dan masa kerja dia yang sudah 6 th, membuat dia bisa mengambil cuti panjang. Pengajuan cuti 2 bulan disetujui kantor. Berangkatlah Inda ke Kyoto Jepang dengan diiringi doa dan harapan semoga segalanya dapat dilalui dengan baik dan Hendra kembali sehat.
Dengan penanganan dokter dan pendampingan Inda lambat laun Hendra pulih kesehatannya. Dua bulan selalu bersama memberi kesadaran baru bagi Hendra terutama, bahwa dia sangat membutuhkan kehadiran Inda di sampingnya. Namun, tugas memberi kabar ibu di Bandung harus tetap dilaksanakan. Karena sehari saja tanpa kabar akan membuat ibu kawatir.
Ketika Hendra masih sakit, Inda yang setiap hari ke telpon umum untuk mengirim kabar ke rumah. Tapi setelah Hendra sembuh, mereka berdua lah yang menjalankan kewajiban ini bersama.

Kewajiban ini mengganjal hati dan selalu membayangi hubungan  Inda dan Hendra. Karena saat Hendra berada di Bandung, dia akan menjemput ibu, mengajak jalan-jalan, menjemput Inda dan akhirnya makan malam bersama. Inda mencoba memahami situasi ini dengan hati lapang. Sepertinya Hendra sudah terjebak dalam rutinitas yang dia bangun sendiri untuk menjaga ibunya. Sehingga tidak ada keberanian untuk menghentikannya. Takut ibu kecewa dan sakit.

Dengan Hendra belajar di Jepang, mau tidak mau jarak memisahkan Hendra dari Ibunya. Inda menyadari ini dan mencoba hal baru yang akan mendekatkan dia dengan Hendra. Pengalaman 2 bulan selalu bersama membuat mereka menyadari pentingnya menjalin hubungan tanpa ada pihak ke tiga. 4 bulan setelah Inda kembali ke Bandung, mereka berjanji bertemu kembali di Singapore. Sekedar bertemu, melepas rindu dan merekatkan hubungan dengan berjalan-jalan menikmati keindahan negeri orang, walaupun hanya 3 hari sudah cukup bagi mereka. Bulan madu yang tertunda memberi energi untuk menjalani perpisahan ini dengan semangat baru.

Tiga bulan sebelum tugas belajar berakhir, Inda dan Hendra kembali bertemu di Bangkok. Menikmati pantai Pattaya dan kebersamaan mereka yang sangat langka. Betapa mahalnya bergandengan tangan dan berpelukan dengan bebas bahkan dihadapan banyak orang. Di depan keluarga, mereka tidak leluasa melakukannya.

2 tahun meninggalkan Inda. 2 bulan di dampingi di Kyoto Jepang, juga pertemuan di Singapore dan Bangkok membuka mata Hendra. Kekawatiran Hendra meninggalkan Inda sendirian dan membuatnya tinggal bersama keluarganya bukan keputusan yang bijaksana. Bahkan kalau diteruskan bisa menjauhkan hubungan mereka.

Hendra menyadari pentingnya rumah. Tempat mereka menjalin kasih sayang dan bisa mengenal lebih dalam. Rumah yang sudah mereka beli dan terbengkalai lebih dari 2 tahun menjadi tujuan kepulangan Hendra kali ini.



Harapan baru...



Monday, February 4, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 11 - Belajar Ikhlas

Inda juga manusia. Hatinya bukan terbuat dari batu. Kadang pertanyaannya berisi ketidaktahuan, kadang bernada protes yang selama ini diendapnya.

Ikhlas adalah memberi dan melupakan
"Hen, aku ini mesti bersikap bagaimana di rumah ini. Hidup bersama ibu, adik-adik bahkan juga adik iparmu. Sementara aku juga harus bekerja dari pagi sampai malam" tanya Inda suatu hari.
"Bersikap biasa aja. Nggak ada aturan yang ketat kok" jawab Hendra santai.
"Masa? terus kalau ibu mengeluh ini itu, masak aku diam saja. Kalau aku turuti semuanya, aku jadi nggak bisa apa-apa. Jujur saja aku jadi mikir, setiap bulan aku tidak punya sisa gaji buat diriku sendiri. Sementara aku melihat ibu membeli baju baru, membeli perabotan baru. Dan aku juga melihat adikmu pergi kemana-mana sesuka hati, sementara aku selalu yang mengisi bensin".. tiba-tiba semua meluncur keluar dari bibir Inda, dengan nada jengkel dan protes.
"wow... wow... ini rupanya yang membuatmu gelisah sejak aku pulang" tatap Hendra dengan sabar.
"pikiranmu banyak dipenuhi hal-hal yang sebetulnya tidak perlu kamu pikirkan. Pekerjaanmu sudah menyita waktu dan energi. Sebaiknya mulai sekarang harus merubah cara berpikirmu" kata Hendra sambil mengecup keningnya.
"Maksudmu?" tanya Inda mulai luluh.
"Keluarga seperti inilah tempat aku tumbuh dan dibesarkan. Kami memang berantakan. Suka-suka sendiri. Kalau tidak di tegur ya tidak paham. Ibu membeli baju dan perabotan bisa jadi dari uang pensiunnya atau pemberian adik-adikku yang sudah bekerja. Jadi sebaiknya, mulai sekarang kamu mulai memberi sesuai kemampuan dan keinginanmu saja. Jangan semua kamu selesaikan persoalan di rumah ini, tapi kemudian kamu mengeluh" kata Hendra sambil menatapnya lekat.
"Keikhlasanmu lebih memberi berkah dibandingkan jumlah yang kamu berikan" lanjutnya.

Inda malu tapi paham. Selama ini dia berkutat dalam pikirannya sendiri. Menyampaikan isi hatinya ke Hendra membuatnya nyaman. Inda jadi lebih bisa mengatur hidupnya. Memberi sesuai kemampuan. Ikhlas dan lupakan.

Percakapan singkat ini menjadi bekal berharga bagi Inda  ketika Hendra harus kembali lagi ke Jepang. Kali ini lebih lama lagi. Dengan sponsor dari Japan Foundation, Hendra belajar keramik di Kyoto Sheika University dan Shigaraki dengan Prof. Chitaru Kawasaki selama 2 th. Inda harus bersiap untuk lebih lama lagi tinggal bersama keluarga besar Hendra, sendirian.

Hendra menguatkan Inda dengan cara yang luar biasa. Selama tinggal di Jepang, tak sehari pun Hendra melewatkan satu hari tanpa menelpon Inda juga ibunya. Ibu adalah pemain tunggal dalam kehidupan ana-anaknya. Kondisi kesehatan menjadikannya pusat perhatian seluruh keluarga.
Kalau Hendra tidak sedang bepergian, dia akan mengajak ibu jalan-jalan, makan di luar sambil menjemput Inda pulang kantor, setiap hari. Ibu ada dalam bayang-bayang hubungan mereka. Inda belajar menerima kondisi ini dengan ikhlas. Walaupun ada rasa cemburu. Pantaskah cemburu dengan ibunya sendiri?

Ibu Inda pun mendapat perhatian dengan porsi yang sama. Hendra tahu apa kesukaan ibu. Karena ibu suka menjahit, oleh-oleh dari Jepang berupa peralatan menjahit. Kadang membelikan kain. Semua tidak terduga. Inda baru tahu ketika ibunya berkata,
"ibu bisa merasakan cinta Hendra ke ibu" katanya suatu hari.

Inda sering merenung sendirian, di saat Hendra tidak ada. Begitu mudahnya orang lain merasa dicintai Hendra. Kenapa aku tidak? Inda selalu merasa menjadi no sekian dalam kehidupan Hendra. Yang utama adalah ibu Hendra, bapak ibunya sendiri. Lalu keluarga besarnya, kariernya, karya keramiknya. Dimana aku? Atau mungkin harapannya ke Hendra terlalu tinggi sehingga kenyataan yang ada membuatnya kecewa. Inda semakin menarik diri.

Awalnya berat, karena pekerjaan Inda di bank membuatnya berpikir seperti neraca. Rugi laba yang tercatat dengan jelas. Dalam relasi kehidupan semuanya menjadi kabur. Bisa gila kalau setiap hari harus berada di dunia yang bertolak belakang. Perhitungan yang ketat di kantor dan keikhlasan di rumah. Inda mulai memikirkan diri sendiri. Membeli keperluan pribadi yang sewajarnya. Membagi semampunya untuk keluarga dan menyisakan gaji untuk ditabung. Namun Inda tetap butuh keseimbangan hidup. Kalau tidak, membayangkan 2 tahun ditinggal Hendra ke Jepang sudah membuatnya tak berdaya.


Keseimbangan hidup yang bagaimanakah?

Sunday, February 3, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 10 - Hidup bersama

Hendra ini seperti punya kepekaan indra ke enam, pikir Inda. Jelas-jelas sudah punya rumah sendiri, malah ngajak tinggal serumah dengan ibu dan adik-adiknya. Mereka ber delapan dalam satu rumah. Ada Hendra di dekatnya yang mendampingi untuk mengenal keluarganya lebih dekat
Pagi itu Inda gelisah menunggu giliran ke kamar mandi yang hanya satu-satunya di rumah itu. Berkali-kali melirik jam. Gawat, bisa terlambat dia ke kantor. Ketika akhirnya gilirannya tiba dan keluar kamar mandi, ibu Hendra menyapanya dengan ramah,
"sudah sana bersiaplah, bibi sudah menyiapkan sarapan kalian" Inda kikuk, dan hanya mampu berucap.
"terima kasih ibu" dan segera lari ke kamar untuk bersiap diri. Pagi-pagi bibi sudah belanja atas instruksi ibu. Menu andalan yang gampang disajikan untuk seluruh anggota keluarga adalah tahu penyet sambal kecap dan telur dadar.

Sejak hari itu, Inda bangun pagi untuk bisa mendapat antrian lebih awal di kamar mandi. Tidak perlu terburu dan bisa menikmati sarapan yang disediakan bibi dengan tenang. Inda tidak pernah memasak atau menyediakan minuman untuk Hendra. Rasanya seperti masa kuliah dulu. Tidak pernah memikirkan urusan rumah tangga. Inda berangkat ke kantor pagi dan pulang sudah malam. Hendra pun menghabiskan waktu seharian di kampus. Mengajar di jurusan keramik, mengerjakan proyek bersama teman-temannya, dan masih punya waktu untuk menciptakan karya seni murni miliknya.

Baru dua bulan tinggal bersama, Hendra harus berangkat ke Tajimi-Nagoya Jepang untuk mengikuti program Japan International Cooperation Agency (JICA) selama 6 bulan. Sebuah program yang menyediakan training khusus untuk negara berkembang dalam hal kesehatan, industri dan pertanian. Hendra masuk bagian industri pembuatan keramik.
Sendiri lagi, batin Inda.
"aku percaya kamu bisa melewati masa ini, In. Itu sebabnya aku mengajakmu tinggal disini bersama ibu dan adik-adik supaya kamu nggak sendirian" kata Hendra sambil memeluknya erat.
"iya, kita sudah berlatih 12 tahun kalau nggak salah, bertemu dan berpisah" sahut Inda santai. Baiklah, mari kita jalani bersama.

Ibu Hendra sangat baik dan menyayangi Inda. Tidak ada yang berubah selama Hendra pergi. Sarapan tetap tersedia. Dan dihari Minggu bisa mengobrol. Ibu yang menderita ashma banyak memiliki waktu untuk dinikmati. Kesehatannya harus dijaga. Tidak boleh terlalu lelah dan hatinya dijaga supaya tidak kecewa. Seluruh anggota keluarga memanjakannya. Ibu juga suka bercerita,
"Inda jangan kaget dengan keluarga barumu ini. Kalau ibu lihat, Inda orang yang tertib dengan keseharian yang tertata rapi. Kami biasa hidup tanpa aturan yang jelas. Hanya ibu yang dulu bekerja seperti kamu. Pagi berangkat, sore pulang. Kalau bapak dengan usaha lampu dan mebel waktunya tidak tentu. Bebas. Sepertinya anak-anak banyak yang mengikuti bapaknya. Ada jiwa seni mengalir di darah mereka. Bebas berekspresi. Kadang ya jadi suka aneh sikapnya" cerita ibu sambil tertawa mengingat sesuatu.
"maksud ibu?" tanya Inda ikutan tertawa walaupun belum tahu apa.
"nah bapak almarhum itu, pernah lho mau antar ibu ke pasar naik motor. Belum lagi ibu naik ke boncengan dia sudah tancap gas.. hahaha.. baru sadar setelah sampai di pasar, ibu nggak ada" Mereka tertawa bersama.
"entah apa yang ada di pikirannya, sampai nggak tahu apa yang ada di sekitar." lanjut ibu sambil tertawa.

Selama Hendra pergi, Inda semakin mengenal keluarganya. Benar kata ibu. Suatu malam, masih ada kesempatan ngobrol dengan ibu di teras rumah, tiba-tiba adiknya datang.
"dari mana saja kamu, Den?" tanya ibu
"habis nonton film di bioskop" jawabnya
"kok tumben jalan kaki, nggak naik motor?" tanya ibu sedikit heran.
"astagaaaa!!, motorku ketinggalan di bioskop!" Hahahaha pecahlah tawa mereka... aneh tapi nyata dan benar-benar terjadi. Rasanya Inda harus bersiap diri. Bisa jadi suatu hari keberadaannya bisa terlupakan.

Inda mulai terbiasa hidup bersama keluarga besar Hendra. Ikut berbagi untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Kadang lupa memikirkan diri sendiri. Lupa kapan terakhir dia membeli baju, sepatu dan tas yang diperlukan untuk bekerja. Suatu saat ingin dia sampaikan ke Hendra, seberapa besar yang seyogyanya dia berbagi, supaya dia juga bisa menikmati jerih payahnya untuk diri sendiri.

Walaupun sudah terbiasa berpisah, kali ini Inda sering merasa kesepian. Merindukan Hendra. Ingin berbagi kegalauan hati sambil bertanya-tanya, kapan mereka disatukan seperti layaknya kehidupan berkeluarga?
Hendra pulang dengan membawa aneka assesories unik. Bukan emas berlian tentunya. Tapi oleh-oleh yang sudah cukup membuatnya diperhatikan dan selalu diingat. Hendra juga tidak melupakan adik-adik dan iparnya. Terutama ibu.
Keluarga besarnya sangat antusias menyambut kehadirannya. Hiruk pikuk membongkar oleh-oleh. Hendra bukan sosok yang suka memamerkan kemesraan. Hanya dengan bertatapan Inda tahu mereka saling merindukan. Dan di saat yang sama Inda menyadari sesuatu. Betapa banyak pembelajaran yang dia dapat dalam hidup bersama keluarga besarnya kali ini. Belajar dengan ikhlas menerima bahwa ternyata Hendra bukan miliknya sepenuhnya.

Hendra milik keluarga besarnya, miliknya fakultasnya, milik jiwa seninya, milik teman bisnisnya, milik lingkungannya, bahkan sepertinya milik semua orang. Sedangkan Inda 100% hanya milik Hendra.
menghancur leburkan kepentingan diri sendiri

Lanjut belajar ilmu kehidupan...

Saturday, February 2, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 9 - Kelegaan


Air mata Inda tumpah tak terbendung lagi, ketika melihat ibu duduk di ruang keluarga. Tangisnya meledak histeris tak tertahankan. Semua berhamburan menjadi air mata, jeritan dan rintihan kepedihan yang menyakitkan. Ibu memeluknya erat dengan penuh kasih dan pengertian.
"lepaskan... lepaskan... lepaskan semua In. Ibu sudah siap mendengar semuanya" bisik ibu ditelinganya. Hanya samar terdengar. Antara sadar dan tidak Inda juga tidak paham kenapa airmatanya tidak bisa berhenti mengalir.
Gelombang penyesalan membayangkan semua gambar Hendra menjadi debu, memporakporandakan pertahanan harga dirinya. Menghancurkan keangkuhannya untuk tidak menghargai karya Hendra dengan baik. Disaat yang sama Hendra baru saja menegaskan hubungan mereka. Sementara kekawatiran akan restu orangtua juga menghantui pikirannya.
Campur aduk, kacau balau, seakan masuk dalam pusar lingkaran tak berujung. Separuh jiwanya menjadi debu, dan habislah sudah.

Ibu masih memeluknya ketika dia masih dengan sesenggukan mengeluarkan isi hati dan pikiran setelah beberapa lama tangisnya mereda. Ibu memeluknya semakin erat,
"sudahlah, Hendra sudah menyampaikan semua ke bapak ibu. Selama kamu di Jakarta, Hendra tetap sering berkunjung. Kami merestui hubungan kalian. Kalau Hendra bisa mencintai kami, pasti dia juga mencintaimu" Inda diam. Lama tak bisa berkata-kata sehingga ibu melanjutkan lagi.
"Perbedaan kalian sudah disatukan dalam cinta yang diajarkan setiap agama. Bagaimana kalian berdua menjalaninya, itu terserah kalian" ploooong... kelegaan yang luar biasa merasuki hatinya. Semakin erat Inda memeluk ibunya yang bijaksana.

Hendra tidak hanya melakukan pendekatan ke orangtua Inda. Tapi dia juga menyampaikan maksud untuk melamar Inda kepada ibunya. Mereka sudah sering bertemu, tapi yang utama Hendra sudah menyampaikan semua isi hatinya kepada ibu dan ibu merestui. Jalan lapang ada di depan mereka. Tidak ada lagi penghalang, tidak ada lagi keragu-raguan dan ketidak pastian.


Sudah saatnya Inda dan Hendra dipersatukan dalam ikatan perkawinan. Bersatu dan tak terpisahkan. Inda menghargai Hendra sebagai kepala dan imam keluarga. Perbedaan disatukan dengan cinta. Dimana ada saling menghormati dan menghargai. Saling memahami dan mendukung.
Sudah terbiasa hidup terpisah, Inda kembali bekerja di Jakarta dan Hendra tetap di Bandung.
Dua tahun awal perkawinan hidup terpisah bukan masalah bagi mereka. Bukankah sudah terbiasa selama 10 th.

Setelah lulus dan menikah Hendra melepaskan semua usaha yang selama ini dikelola. Lampu dan mebel peninggalan bapaknya juga 6 angkot jurusan Buah Batu - Dago. Walaupun dengan kegiatan seabreg yang menyita seluruh energinya, ternyata Hendra juga berprestasi di fakultasnya. Setelah lulus dia diangkat menjadi dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Semua sekarang terpusat pada kariernya sebagai dosen, pelukis, pematung dari keramik dan ornamen yang sering menghiasi beberapa kantor bahkan bandara.
Bersama teman-temannya usaha yang bisa menghasilkan uang dikelola secara bisnis. Tapi jiwa senimannya tetap menghasilkan karya seni murni, yang nantinya diakui di dalam maupun di luar negeri.

Saling bertekun dalam karier, mereka berhasil membeli rumah di Bandung. Keluarga kecil nantinya akan diawali disana.
Ketika ada peluang untuk mutasi kerja di Bandung, Inda segera mendaftar. Beruntung sekali dia mendapatkan kesempatan untuk pindah ke Bandung.
Tapi bukannya menempati rumah sendiri seperti yang Inda bayangkan, tapi dia justru harus tinggal bersama mertua dan adik-adik iparnya. Sebuah pembelajaran hidup tanpa henti. Memahami Hendra seorang bukan hal yang mudah. Kini Inda harus tinggal bersama ibu mertua dan adik-adik iparnya.
Bersatu dengan Hendra berarti ikut menjadi tulang punggung keluarganya.


Kelegaan,
hanya seperti setetes air yang jatuh
meriakkan gelombang kecil
kemudian hilang...

Inda melanjutkan pembelajaran hidup.

Friday, February 1, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 8 - Pergumulan Batin

Mulai bekerja di ladang baru Jakarta butuh perjuangan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekaligus dalam pekerjaan. Inda menyukai hal-hal baru yang menjadi tantangan. Maka dia bekerja dengan sepenuh hati dan penuh semangat. Menyelesaikan berbagai pesoalan dalam pekerjaan dan juga tetap menjadi pendamping Hendra yang cukup sering ke Jakarta.
Ke dua adiknya sekarang kuliah di UI. Membuat Hendra sering ke Jakarta untuk mengawasi studinya. Maklum sekarang dia menjadi tulang punggung keluarga. Dia harus memastikan pendidikan adik-adiknya berjalan lancar.

Jakarta-Bandung lebih dekat dari pada Bandung-Semarang. Sesekali Inda yang ke Bandung. Semakin sering bertemu, semakin menemukan perbedaan di antara mereka. Yang sudah pasti ada dalam hal perbedaan visual dan kata. Hendra dengan darah seni memvisualkan segala sesuatu melalui gambar, lukisan juga patung. Sementara Inda sehari-hari bergelut dalam angka dan huruf. Dalam ilmu hukum setiap kata bermakna.
Hobbi pun berbeda. Hendra suka sekali nonton film, Inda siap menemani walaupun sering tertidur di sebelahnya. Perbedaan ini walaupun sangat bertolak belakang tapi tidak menyusutkan sedikitpun cinta mereka. Hanya satu hal yang sungguh memberatkan pikiran Inda, yaitu perbedaan agama.
Inda dibesarkan dalam keluarga Kristen, sedangkan Hendra muslim.

Sahabat dalam geng Three Musketeer pernah bertanya,
"kenapa sih diterusin kalau perbedaan itu menjadi beban banget buatmu, In?" tanya mereka.
"lha aku nerusin apa? hubungannya ngga jelas kok. Nggak ada ikatan sama sekali" kata Inda membela diri.
"nah trus kenapa kamu nggak pacaran aja sama orang lain yang se iman?" tanya mereka serempak..
"lhah kalian yang selalu nutupi cowok-cowok itu deketin aku... hayoooo" Inda menyerang balik.
"soalnya Hendra baiiiiiiiiikkk bangeeeeettt!!!" teriak mereka sambil memeluk Inda erat-erat.

Pergumulan batin Inda semakin berat sejalannya waktu membuat mereka makin dekat. Seandainya Hendra serius apakah orangtua mereka setuju? bagaimana kalau tidak?
Perasaan galau semakin menyesakkan dari hari ke hari, bulan demi bulan hingga tiba saatnya Hendra berhasil menyelesaikan kuliahnya.
Ada perasaan kehadirannya dalam hidup Hendra akan segera berakhir. Hendra sudah lulus. Setidaknya satu beban kuliah sudah terlampau. Sedikit mengurangi beban hidupnya. Mungkin ini saatnya Inda harus melepas Hendra. Merelakannya mendapatkan pendamping lain yang seiman.

Kali ini beban batinnya harus di sampaikan ke Hendra.
"Hen, aku mau ngomong nih" kata Inda dengan lembut, suatu hari di Jakarta ketika Hendra berkunjung. Hendra sedikit terpana karena tidak biasanya Inda mengajak bicara serius setelah mengenalnya hampir 10 th.
"Ngomongin apa?" tanya Hendra kawatir.
"Kamu kan udah lulus. Bebanmu sekarang sudah mulai berkurang. Kamu kan tahu kita ini berbeda, apa nggak sebaiknya kita pisah aja. Aku yakin kamu bakalan bisa bertemu wanita yang seiman, yang cocok untuk pendamping nantinya" akhirnya kalimat meluncur lancar dari bibir Inda.
"hah... enggak mau. Pokoknya aku nggak mau melepasmu. Aku mau menerimamu apa adanya dengan perbedaan ini. Pokoknya nggak mau!" suaranya Hendra terdengar panik.
"aku janji nggak akan nikah deh. Yang penting kita pisah aja, demi kebaikan kedua belah pihak" kata Inda membujuk. Karena Inda memang merasa jalan satu-satunya adalah berpisah, dari pada mereka dipisahkan oleh keluarga karena tidak setuju dengan perbedaan mereka. Kalau mereka yang memutuskan pisah berarti akan dilakukan dengan tulus ikhlas.
"enggak mau. Aku nggak mau kamu sendirian" sahut Hendra dengan tatapan nelongso.
"aku nggak papa sendirian. Udah niat nggak pingin nikah" tekad Inda sudah bulat.
"enggak mau. Kamu nanti susah sendirian" Hendra juga makin keras tekadnya mempertahankan Inda.
"kamu yang nggak mau susah sendirian, ya khan??" jawab Inda sambil tertawa mencairkan suasana.

Bagaimana ini? ketika sudah rela mau melepas, malah nggak mau dilepas. Bagaimana pun jawaban Hendra cukup membuat Inda tahu bahwa dia serius menjalin hubungannya selama ini. Bagaimana menyampaikan ini semua ke orangtua? apakah mereka merestui?
Ketika suatu hari kembali ke Semarang, Inda teringat lembaran gambar dari Hendra yang sebelum berangkat ke Jakarta dia simpan dalam doos. Tiba-tiba dia ingin melihatnya lagi, mengenang tahun-tahun yang sudah lewat.
Ketika Inda tidak menemukannya di gudang, bertanyalah dia ke adiknya,
"doosku yang aku simpan di sini dimana? kamu tahu?"
"yang di lakban itu ya? ada tulisannya jangan dibaca, jangan dilihat, lebih baik di bakar itu?"
"iya, iya, bener... mana?" tanyanya nggak sabar.
"udah tak bakar!" jawabnya polos. HHAAAHH..... leeeeemaaaaaasss...
pertanda apa ini?
bersambung... makin galau..