Pages

Saturday, September 14, 2019

Semangat Ibu-Ibu Buruh Tandur

Bangun pagi hari ini memberikan pencerahan yang luar biasa buatku. Seperti biasa aku belanja sayuran di seberang rumah, dimana bapak sayur menggelar dagangannya sejak jam 5.30. Di benak masih bingung nanti mau belanja apa. Belum ada ide mau masak apa. Jadi mau lihat-lihat dulu apa yang ada, siapa tahu muncul ide.
Dari seberang tidak biasanya pak sayur dikerubut ibu-ibu naik sepeda sampai sibuk sekali melayani mereka. Karena aku belum punya ide mau belanja apa, jadi memilih untuk menunggu sampai ibu-ibu selesai belanja.
Mengamati mereka baru aku sadar kalau ibu-ibu ini memang tidak biasa yang aku temui setiap pagi. Mereka berombongan sekitar 10 orang, bersepeda, bercaping dan sebagian besar tidak beralas kaki. Tergelitik untuk ingin tahu, maka aku bertanya pada seorang ibu yang sudah selesai belanja tapi masih menunggu teman-teman untuk bersama-sama melanjutkan perjalanan.

"saking tindak pundi to bu?" (dari mana bu?) tanyaku penasaran. Kalau mereka berbelanja berarti sudah dalam perjalanan pulang. Agak mengherankan juga karena sepagi ini mereka sudah pulang.
"sakajane ajeng tandur, ning mboten estu bu. Sawahe dereng wonten toyane" (harusnya mau tandur, tapi nggak jadi karena sawahnya belum diairi) jawab ibu itu yang kemudian disahut ibu yang lain,
"padahal nggih pun janjian. kok mboten disiapke sawahe, tiwas adoh-adoh le nyepeda" (padahal sudah janjian, kok nggak disiapkan sawahnya. Udah nyepeda jauh nih)
"wonten pundhi sawahe?" (dimana sawahnya?) tanyaku lagi.
"ler rel sepur" (utara rel kereta api) waduuh itu memang jauh banget. Sekitar lebih dari 6 km dari tempat ini. Padahal rumah mereka masih ke selatan lagi. Kasihan.
"niki dijanji tanggal 5 ken tandur. nek mblenjani melih, pun kulo mboten purun nek ken tandur teng mriko" ( ini mereka janji tanggal 5 disuruh tandur. Tapi kalau mereka ingkar janji lagi ya besok kalau nyuruh tandur, aku nggak mau lagi) kata salah satu ibu yang menyahut dengan kesal.
"idea-idep olah raga bu" (anggap aja olah raga bu) sahut ibu lainnya dengan tertawa.

Rata-rata mereka belanja diatas 20 ribu. cukup untuk mendapatkan sayuran dan beberapa jajanan. Juga bumbu untuk menyajikan masakan seluruh keluarga. Hari ini mereka tidak mendapatkan penghasilan setelah bersusah payah bersepeda. Tapi yang menyentuh hati adalah komentar salah satu ibu yang penuh semangat dan penuh syukur.
"deloken iki. Duit 50 ewu wis entuk akeh, malah isih ono susukke" (lihat nih, uang 50 ribu sudah dapat banyak, malah masih ada kembaliannya) katanya sambil tertawa.

Aku tertampar di pagi hari.
Gila banget... mereka mengayuh sepeda dipagi hari hanya berbekal harapan hari ini mendapat pekerjaan dan mendapatkan upah. Ketika harapan tidak terwujud mereka masih bisa menyikapinya dengan pikiran positif. Mereka ibu-ibu sederhana tapi penuh semangat hidup dan rasa syukur yang berlimpah. Betapa seringnya aku mengeluh soal harga yang mahal. Kecewa karena sesuatu yang terjadi tidak sesuai harapan. Capek dan kehilangan semangat. Memaki karena orang-orang berbuat seenaknya dengan kita dan mengeluh karena merasa tidak dihargai.

Lihatlah mereka....

Dari jerih payah merekalah, kita nikmati nasi kemebul setiap hari. Kaki-kaki mereka tertanam dalam tanah lembek. Punggung membungkuk menanam padi dengan kerapian yang indah dipandang. Tangan-tangan terampil dengan kerapian memberi kehidupan setiap batang padi dalam tanah yang subur. Betapa seringnya kita memuji hamparan sawah hijau yang indah. Melupakan tangan-tangan keriput dan hitam kena sengatan matahari. Kaki-kaki tanpa alas yang mengayuh sepeda untuk datang dan pergi.



Hari ini ketika nasi hangat beraroma sedap tersedia di meja makan beserta lauk pauk yang mengundang selera, aku ingat ibu-ibu buruh tandur dan semangat mereka yang luar biasa. Tanpa mereka aku tidak bisa menikmati nasi yang manis beraroma ini.
Terimakasih tak terhingga kepada mereka yang telah ikut berpartisipasi pada hidangan kita setiap hari. Semoga Tuhan memberikan rejeki, kesehatan dan semangat yang tak pernah padam. Amin.