Pages

Thursday, April 14, 2022

Se"conthong" Kacang Rebus

    Ternyata baru di usia menjelang 63 tahun, aku bisa menikmati bersepeda. Masih terkenang dulu masa kecil di Jogyakarta, mungkin umur 6 th lebih aku baru bisa naik sepeda roda dua. Waktu itu ibu langsung menghadiahiku kacang rebus yang dibeli diujung jalan. Penjual kacang, pisang dan ketela rebus itu selalu mangkal di bawah tiang listrik. Rasanya sudah mendapat apresiasi yang luar biasa dengan membawa pulang se conthong (daun pisang yang dilipat seperti kerucut) kacang rebus. Ketika klas 2 SD pindah ke Semarang, kami tinggal di perumahan, sehingga kalau main sepeda hanya di lingkungan kecil. Menjelang SMP sudah tidak bisa bersepeda lagi karena rumah kami di atas bukit kecil, hingga cukup berbahaya untuk bersepeda. Sejak saat itu aku berhenti naik sepeda.

Ini rumah kelahiranku, dulu namanya jalan Cemorojajar no 19.
Di halaman inilah aku pertama kali bisa naik sepeda

Masa kecil anak-anakku, bapaknya yang kebagian tugas mengajar naik sepeda. Aku sempat ikut kalau ada sepeda kecil yang kakiku bisa menyentuh tanah untuk menjaga keseimbangan supaya jalannya tidak meliuk-liuk. Akhirnya anak-anak semua lancar naik sepeda bahkan sepeda motor, dan aku tetap tidak lancar bersepeda.

Sekarang aku tinggal di Klaten dan cucuku ternyata mengubah segalanya. Menemaninya bersepeda roda tiga keliling kompleks membuatku ingin juga belajar naik sepeda lagi. Walaupun sering diejek anak-anak kecil di kompleks karena kelihatan sekali kalau aku tidak trampil mengayuhnya. Suami dan mantuku sudah bersepeda kemana-mana. Berpuluh kilometer. Aku masih belum tergerak. Hingga dua bulan lalu suamiku memberi kejutan dengan sepeda baru. Dia pilihkan sendiri, dengan pertimbangan kalau aku tidak mau, sepeda akan dia pakai sendiri.

Sepeda kecil cantik itu menggodaku untuk mencobanya berkeliling kompleks. Awalnya hanya 5 kali putaran. Kemudian naik sedikit demi sedikit 10 kali, 15 kali, 20 kali dan akhirnya 25 kali. Kurang lebih 6 km setiap hari. Lama-lama bosan juga berputar-putar terus di kompleks. Apalagi sering mendapat komentar,

"udah kelar belom?"

"masih berapa putaran lagi?"

"belum selesai juga?" hahaha.... lama-lama tetangga jadi menaruh perhatian karena aku biasa berputar-putar sekitar 45 menit setiap hari. Masing-masing tetangga sudah bersiap mengantar anak sekolah dan berangkat ke kantor.

Awal naik sepeda keliling kompleks

"Ayo kita coba sepedaan keluar kompleks" ajak suamiku suatu hari setelah hampir sebulan aku berputar-putar dalam kompleks. Baiklah, mari kita coba. Karena aku masih panik setiap kali ada motor atau mobil lewat, maka kami berangkat pagi hari, paling lambat jam 5 pagi. Semula hanya berkeliling pasar Gayamprit sebelah utara perumahanku. Lumayan, hanya 4.5 km tapi jalannya naik turun. Cukup berkeringat juga. Beberapa kali rute ini menjadi jelajah kami bersepeda setiap pagi, walaupun saat aku belok ke rumah, suamiku akan melanjutkan bersepeda yang lebih jauh lagi. 

Rute yang sama membuat bosan. Ayo kita cari lagi yang lebih jauh dan seru. Jaraknyapun mulai bertambah. Menjadi 8 km, ketika melewati dusun Karanglo yang indah dengan pohon mirip cemara di kanan kiri dan pemandangan sawah yang luas terbentang. Tercium udara segar aroma sawah dan pohon. Pemandangan hijaupun menjernihkan mata.

Kukayuh sepedaku makin jauh dan jauh. Bosan rute lama, kami mencari rute baru. Tak terasa sekarang hampir setiap hari kami berdua mengayuh sepeda sepanjang 12,6 km. Suamiku akan melanjutkan hingga 20 km dengan berkeliling kota Klaten. 

Desa Karanglo, indah nuansa sawah di pagi hari.

Aku bukan penggowes. Aku hanya senang bersepeda keliling desa. Aku juga lebih suka berangkat pagi-pagi saat jalan masih sepi, udara segar dan menikmati pemandangan alam di saat matahari baru bersinar redup di cakrawala.

Beberapa pengalaman bersepeda didesa-desa sering membuatku tertawa sendiri.

Suatu kali aku tidak melihat kalau ada kabel melintang miring di jalan. Entah kabel apa. Tahu-tahu sepedaku meliuk liuk tak terkendali, walaupun pelan. Campuran kaget dan panik akhirnya aku malah menjatuhkan diri ke rerumputan dengan gaya slow motion hahahaha... gaya yang menyelamatkanku dari kaki terkilir. Untung masih bisa berdiri dan mengayuh sepeda lagi sekitar 4 km.

Karena ada sepeda dengan keranjang di depan, kadang aku mampir beli sayur di warung, sementara suamiku melanjutkan perjalanan ke rute yang lebih jauh lagi. Dalam perjalanan pulang, ada mobil yang membunyikan klakson berkali-kali. Aku memang sedikit ke tengah karena ada lubang cukup dalam di depan. Karena panik, aku memilih nekad melewati lubang bukannya berhenti di pinggir. Alhasil sepeda dan aku terlompat juga tas sayurku terlempar dari keranjang. Ya ampuuunnn... padahal mobil yang melewatiku kecil lho... harusnya bisa mepet kekanan. Untung di belakangku tidak ada kendaraan lain, jadi aku bisa menyelamatkan tas sayurku.

Di bulan puasa, yang paling membuatku kawatir ketika melewati anak-anak yang memenuhi jalanan setelah saur. Mereka melempar-lempar mercon kecil. Kadang ada juga mercon yang lumayan besar tapi di lempar ke sawah. Beberapa hari ini, selalu ada mobil polisi yang berkeliling desa untuk menertibkan anak-anak ini. Jadi sekarang semakin aman dan nyaman bersepeda dari desa ke desa.



Baiklah, karena 'hidupku juga penting', maka aku menuliskan kisahku sebagai apresiasi untuk diriku sendiri. Dari belajar naik sepeda 'lagi' hingga kilometer yang kutempuh sedikit demi sedikit hingga hari ini bisa menempuh 15,81 km.

Jadi... ayuk kita beli se conthong kacang rebus!!