Pages

Sunday, August 14, 2022

Berhenti

 Bersepeda ke arah utara selalu menjadi pilihan selama ini karena relatif lebih aman. Terutama buat aku yang belum mahir banget bersepeda. Tiap kali berhenti sebentar di perempatan selalu berasa mau jatuh. Berkali-kali diajari suami supaya aman kalau berhenti, tapi nggak bisa mahir juga. Karenanya kalau ada pertigaan atau perempatan kecil aku lebih suka pelan-pelan mengayuh sambil melihat situasi aman atau tidak.

Karena mulai bosan dengan rute yang itu-itu juga selama hampir 6 bulan akhirnya aku diajak untuk mencoba rute ke selatan. Tapi itu berarti harus melewati traffic light Bendo Gantungan yang cukup lebar. Perempatan tersebut merupakan jalur utama Jogya-Solo. Bisa dibayangkan kendaraan yang melewatinya padat, termasuk kendaraan besar seperti truk, bis bahkan truk container. Menyeramkan. Masak nggak dicoba?? kan ada traffic light. Jadi pastilah aman kalau mengikuti aturan lalu lintas.

Tapi... tahu sendiri aku tuh belum bisa berhenti dengan mulus tiap kali bersepeda. Walaupun berangkat pagi hari, sebelum jam 5, tapi lalu lintas diperempatan sudah ramai. Pagi itu, aku sudah bersiap dan berdoa supaya pas lewat perempatan lampu hijau, jadi nggak perlu berhenti. Sayangnya begitu aku keluar kompleks (tempat tinggalku dekat dengan traffic light Bendo Gantungan), aku melihat lampu mulai hijau. Maka ngebutlah aku supaya bisa mengejar lampu hijau. Sayangnya begitu hampir sampai, aku melihat lampu mulai kuning mau berubah menjadi merah. Ada satu sepeda motor yang nekat terus. Dan aku mengikutinya supaya tidak perlu berhenti. Pikirku, cukuplah waktunya kan masih kuning... tapiiii... namanya juga sepeda, lebih lambat kan dari sepeda motor. Di tengah perempatan, jalur sebelah kanan mulai hijau dan ada mobil membunyikan klakson beberapa kali melihatku melintas di tengah jalan.

Traffic light Bendo Gantungan Klaten di jalur
Jogya-Solo yang tidak pernah sepi

Aku mempercepat kayuhan dan selamat sampai seberang. Aku membayangkan suamiku yang tertinggal di lampu merah pasti "tratapan". Akhirnya suamiku berhasil menyusulku. Dia diam saja, tidak menegur atau memarahi. Tapi aku sudah merasa malu dengan tindakanku yang "ngawur" dan membahayakan tadi. Walaupun tidak marah atau menegur tapi kemudian di setiap perempatan dia selalu mendahului untuk memberi aba-aba dengan tangannya berhenti atau terus. 

Kenapa sih susah berhenti??

Entah kenapa aku merasa tiap kali berhenti keseimbanganku kurang bagus. Selalu oleng. Bahkan sampai sekarang aku belum bisa lepas tangan, walaupun hanya satu tangan. Kalau dijalan pingin tengok kanan-kiri selalu jadi miring ke kiri atau ke kanan jalannya. Tiap kali mau mulai jalan, posisiku harus sudah ada di atas sadel. Kalau mengayuh sambil berdiri kemudian baru duduk di sadel, aku belum bisa lancar. Selalu meliuk-liuk kekiri-kanan. Aaahh... aku kalah trampil dengan cucuku. Karena dia bisa lompat dari sepeda sambil sepeda masih jalan. Dan dia bangga sekali memamerkan keahliannya ke aku.

Puji Tuhan bisa sampai desa Gantiwarno, di hantar 
bulan yang mulai menjauh dan samar-samar

Dulu ketika anak-anak masih balita dan kami berlibur di Pangandaran, kami menyewa sepeda untuk mencari warung untuk makan siang. Karena anak-anak masih kecil, mereka tandem dengan bapaknya, dan aku bersepeda sendiri. Kalau sepeda sudah berjalan aku bisa mengendalikannya dengan baik. Tapi ya hanya jalan lurus ke depan. Jalan ngelonyor sendiri nggak melihat kanan kiri, tiba-tiba suami dan anak-anak sudah ada disampingku. Mereka tertawa semua.

"mamaaaa.... warung makannya sudah kelewatan.... hahahaha" haduuuh... konyol sekali,  kenapa susah berhenti ya.

Aku jadi ingat saat dulu ketika didampingi bapak dan aku yang pegang stir mobil. Tiap kali di jalan ramai dimana ada becak dan sepeda berseliweran, bapak selalu bilang,

"kalau dijalan ngadepin becak atau sepeda kamu harus ngalah!"

"kenapa??"

"karena kamu kalau berhenti tinggal injak rem, mau jalan tinggal injak gas. Mereka kalau berhenti dan memulai jalan lagi pakai tenaga, dan itu berat".

Benar juga. Berhenti. Stop dulu. Diam dulu. Tidak akan sama bagi setiap orang.

Ketika seluruh dunia harus stop dulu, diam dulu, berhenti dulu karena pandemi covid, tiap orang akan menanggapinya dengan berbeda. Ada yang santai, ada yang berat, ada yang sudah tidak tahan lalu nekat keluar rumah (kayak aku nekat melewati traffic light). Berhenti dan memulai lagi dari awal selalu berat. Bagi perusahaan yang terhenti karena pandemi harus berjuang lebih keras untuk memulainya lagi.

Berhenti sebentar memang perlu untuk mengikuti aturan. Berhenti untuk beristirahat ketika badan sudah terlalu lelah. Berhenti sebentar dari rutinitas untuk mendapatkan angin segar atau inspirasi baru. Berhenti, berhentilah juga sebentar untuk mendengarkan, untuk melihat hal-hal baru, untuk mencium udara segar, untuk menyentuh dan menikmati air, udara, tanah basah habis hujan dengan kaki telanjang.

Boleh berhenti berdoa nggak?? pertanyaan muncul tiba-tiba. Hhmmm..... gimana yaa??

Menurutku, berdoa itu hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Tidak bisa kita menghakimi seseorang berdoa atau tidak hanya dilihat dari kehidupan sehari-hari beragama. Ketika berucap terimakasih kepada Sang Pencipta menurutku adalah doa. Berhenti atau tidak terserah masing-masing. Karena hanya masing-masing orang yang bisa merasakan relasi indah bersamaNya saat merasakan berkatNya, perlindunganNya, pendampinganNya dan penyertaanNya sepanjang hidup kita.

Dan menurutku juga, dalam berdoa, aku berhenti sebentar dalam menyampaikan permohonan khusus kepadaNya. Berhenti untuk,

Menguji kepercayaan dan kesabaran, bahwa Tuhan akan mengabulkan permohonan kita di saat dan waktu yang tepat.

Menguji kepasrahan, bahwa permohonan kita bisa dikabulkan juga bisa tidak, apabila tidak sesuai dengan kehendakNya.

Menguji keyakinan, bahwa hanya Tuhan yang bisa menyelesaikan semua persoalan manusia yang sudah tidak mungkin kita selesaikan. We do the best, God do the rest.



Wednesday, August 3, 2022

Aku Kayaaa...

 Setiap pagi mengantar Mosha sekolah, setelah parkir kami harus berjalan masuk ke gang menuju sekolahnya. Setiap kali masuk gang, mata Mosha selalu melirik ke kiri ke penjual mainan yang sudah menggelar aneka mainan di jalan. Lirikannya terhenti karena kami tiba di depan gerbang sekolah. Setelah menyapa selamat pagi ke bu guru, dia mengulurkan tangan ke mesin pendeteksi suhu tubuh dan hand sanitizer kemudian berjalan masuk ke kelas. Dan aku meninggalkannya untuk 3.5 jam bersekolah TK B.

Pulang sekolah yang menjemput mbak Rina karena dia lebih suka dijemput naik motor. Katanya bisa melihat ular mati, tikus mati di jalan (?). Aneh juga ketertarikannya. 

Jam 11.15 Mosha sudah tiba di rumah. Setelah makan siang dia akan mengeluarkan berbagai mainan kesukaannya sambil menunggu teman-temannya datang di sore hari untuk bermain bersama. Karena jam menunggunya cukup lama, maka orangtuanya membelikan berbagai mainan yang mengembangkan kreativitasnya seperti magnet, marble, berbagai media untuk menggambar, playdough yang harganya cukup mahal bagi kami. Kami biasa memberikan hadiah yang sungguh bermanfaat sebagai hadiah di hari besar, seperti ulangtahun dan natal. Karenanya mahal sedikit tidak mengapa supaya bisa awet dan bisa dimainkan lebih dari 1 tahun. 

Bosan? tentu saja. Kadang dia dengan polosnya bertanya,

"kita mainan apa lagi mimo? aku tidak tahu lagi.." lalu aku ikutan bingung mau mainan apa lagi. Sebetulnya bisa mainan apa saja, tapi nampaknya dia sudah tidak berminat. Ujung-ujungnya menggambar, membuat sesuatu dari kertas origami, atau membuat pudding kesukaan dia dengan cetakan macam-macam bentuk.

Suatu hari, Mosha pulang sekolah dengan wajah super ceria. Dengan ceriwis dia bilang kalau tadi dibelikan mainan mbak Rina. Sebuah kitiran plastik yang kalau di tarik ke atas bisa melayang-layang. Aku kaget karena mbak Rina yang membelikan.

"berapa harganya, mbak?"

"cuma 2000 rupiah kok bu, nggak papa saya belikan aja. Nggak papa to bu".

"nggak papa mbak, Mosha seneng sekali tuh" kami berdua memperhatikan Mosha memainkannya dengan gembira. Berteriak ceria kalau kitiran plastiknya bisa melayang lama di udara. Lari kesana kemari menangkapnya dan menerbangkanya lagi. Yang mengagetkan kata-kata yang keluar diantara teriakan ceria bahagianya.

Mainan peer seperti ini 3.500 rupiah

Kitiran plastik seperti ini 2.000 rupiah

"Aku kayaaaa... mimo!!" aku terpana. Kaya? hanya dengan mainan 2000 rupiah dia merasa begitu kaya dan sungguh membuatnya bahagia. Betapa mudah dan murah perasaan kaya dan bahagia yang dia rasakan.

Memang benar kata orang Jawa tentang pepatah "kebo nyusu gudel". Anak-anak bisa mengajarkan banyak hal pada orang yang lebih tua. Bahagia dan perasaan kaya bukan dilihat dari nilai uang yang banyak dan berlimpah. Dengan 2000 rupiah Mosha sudah begitu bahagia dan merasa kaya. Dia sangat menyukai mainannya, sehingga ketika dia pamerkan ke bapaknya kemudian kitiran tersangkut di eternit, dia ngotot saat itu juga harus diambil. Mainan itu menjadi sangat berharga baginya.

Anak-anak tidak mengerti barang-barang branded, nilai uang, mahal itu yang seperti apa. Yang mengetahui hal semacam itu hanya orangtuanya yang kemudian mengajarkan pada anaknya. Padahal anak-anak punya kemurnian hati untuk merasakan bahagia secara tulus dan apa adanya. Kadang aku juga mendengar obrolan anak-anak yang selalu menyebutkan harga mainannya.

"sepedaku mahal lho, kata mamaku harganya satu juta duaratus ribu"

"tas mainanku ini harganya seratus ribu lho"

"punyaku harganya lima ribu" jawab Mosha tidak mau kalah, asal-asalan menyebut angka, padahal dia tidak tahu lima ribu dan seratus ribu itu besar mana, hahaha....

Suatu kali kami mendengar obrolan anak-anak yang sedang bermain di teras rumah.

"kata mamaku kamu tuh sebenarnya kaya lho Mosh"

"iyaaa, aku kadang bisa kayak putri... kadang kayak superhero...." jawabnya polos sekali. Kami tertawa terpingkal-pingkal menguping obrolan mereka. Tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi temannya mendengar jawaban Mosha.

Kaya, bagi orang dewasa dinilai dari apa yang mereka miliki. Rumah, mobil, baju, tas, sepatu, kemana saja mereka pergi, apa yang mereka makan dll. Semakin mahal harganya semakin kaya mereka. Sebenarnya sebutan kaya ukurannya bisa menjadi tidak jelas. Bahkan ketika seseorang bisa membeli mobil dan rumah tiba-tiba langsung mendapat predikat OKB (orang kaya baru). Padahal banyak yang lebih kaya, lebih kaya lagi dan lebih lebih kaya lagi. Kalau kekayaan menjadi persaingan pasti tidak akan ada habisnya.

Kata "kaya" juga bisa menyesatkan. Coba bayangkan, banyak orang mengejar kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan cara yang tidak benar, hanya ingin mendapatkan predikat "kaya". Padahal kaya itu sendiri tidak punya ukuran. Karena manusia tidak pernah puas, maka kekayaan akan dikejar terus tanpa batas, hingga sampai pada batas kemampuan manusia untuk mencapainya.

Jadi menurutku, seseorang berhak merasa kaya saat dia memiliki barang yang mereka inginkan dan mampu mereka beli, merasa nyaman hidupnya, merasa bahagia dan menikmati hidupnya sesuai kemampuannya untuk meraih. Terlebih lagi mampu berbagi dengan orang yang sungguh-sungguh membutuhkan.