Pages

Wednesday, May 18, 2011

Pelangi KasihNya

Status di facebook temanku tertulis.... dying.. hopeless...empty... lalu muncul berbagai comment
simpati menanggapi kalimat tersebut. Kata-kata penuh kepedulian dan hiburan.

Aku sendiri bisa merasakan bagaimana dying, hopeless dan empty. Ketika musibah demi musibah
datang beruntun.. dan bersamaan.. rasanya hidup dalam keadaan kritis antara hidup dan mati.
Harapan hilang entah kemana. Kekosongan melanda ketika hati menjadi beku... mati rasa... yang
ada hamparan ladang yang gersang dan kosong.... tanpa batas.

Beruntung aku masih bisa berdoa. Walaupun sudah kehabisan permohonan. Yang ada tinggal
mohon kekuatan dan melepas semua harapan kepadaNya. Bersedia menerima ini semua dengan
ikhlas dan membiarkan rencanaNya yang terjadi. Karena memang aku tidak mampu membuat
rencana apa pun.

Jumat Agung

Berharap mendapatkan kekuatan dan pencerahan dengan mengikuiti sengsara Yesus, aku
memutuskan untuk mengikuti misa Jumat Agung di Gereja Wedi Klaten. Lokasinya cukup dekat,
sehingga cukup berjalan kaki kami bisa sampai ke tempat dimana kami ingin menghayati makna
Paska tahun ini. Walapun dekat ternyata sesampainya disana ruang di dalam gereja sudah penuh.
Tinggal kursi-kursi di bawah tenda di luar gereja. Beruntung masih ada tempat untuk kami duduk.
Menyeberangi halaman gereja, tiba-tiba ada anak kecil, diantara banyak anak kecil yang berlarian di
halaman, menyapa anakku, “mbak Stella...” sambil menggandeng tangan anakku dengan senyumnya
yang lebar menawan.

Leo, 5,5 tahun adalah keponakanku. Laki-laki kecil ini kemudian berlarian kembali di halaman
dengan teriakan riuh anak-anak lainnya. Kami duduk dan mencoba mengikuti jalannya misa Jumat
Agung dengan khitmat. Misa berbahasa jawa yang agak sulit kami mengerti dan ikuti, diriuhkan
dengan suara teriakan anak-anak yang menikmati misa dengan cara mereka sendiri. Berlari, tertawa,
berteriak...

Aku berpandangan dengan anakku, dan hanya bisa saling senyum... “bagaimana bisa khitmat ya...”.
Misa tetap berjalan hingga tiba acara mencium salib dan komuni dan selesailah sudah.

Adik iparku, mamanya Leo berbisik di belakang kami, “ayo kita cari bakmi jawa.. aku lapar banget”.
Setelah hampir 2 jam kami mengikuti misa, ternyata memang perut minta perhatian dan kami
akhirnya beramai-ramai satu kendaraan menuju Klaten ke tempat bakmi jawa Mbah Dhemit, yang
terkenal enak.

Ada sedikit rasa kecewa dalam hatiku karena tidak mendapatkan pencerahan apa pun selama
mengikuti misa. Hati masih kosong, dan perasaan terasa mengambang. Kuputuskan untuk menerima
ini semua dengan senang hati. Bersyukur bisa bertemu dengan Leo yang ceria dan murah senyum,
dan sekarang akan menikmati bakmi jawa Mbah Dhemit.

Di perjalanan, dalam mobil yang penuh sesak, belum lagi suara Leo yang keras dan ceriwis minta

ampun. Leo minta diputarkan lagu kesayangannya yang selalu di ulang-ulang dalam setiap
perjalanan. Semula aku menyangka, pastilah sebuah lagu anak-anak yang riang dan lucu. Ternyata
lagu kesayangannya adalah lagu rohani yang dinyanyikan dengan suara lembut dan musik yang
menyentuh hati. Kami benar-benar heran. Ironis dengan Leo yang tadi berteriak dan berlarian di
halaman gereja.

Kami semua terdorong untuk mengikuti Leo menyanyi. Kadang kami tertawa melihat bagaimana dia
menyanyikannya dengan sepenuh hati disertai gaya kekanak-kanakan yang lucu. Ketika mencoba
mengikuti lagunya, aku tertarik dengan syairnya yang indah. Dan karena diulang-ulang akhirnya kami
semua bisa menghafal dan menyanyikannya...

Apa yang kau alamai kini,
mungkin tidak dapat engkau mengerti
Cobaan yang engkau alami
tak melebihi kekuatanmu
Tuhanmu tidak akan memberi ular beracun
pada yang minta roti
Satu hal, tanamkan di hati,
indah semua yang terjadi

Tangan Tuhan sedang merenda
suatu karya yang Agung Mulia
Saatnya kan tiba nanti,
Kau lihat pelangi kasihNya...

Duuuh... aku terharu...
Semakin aku menyanyikannya, semakin tercekat tenggorokanku. Kelembutan suara penyanyi dan
musiknya sungguh menyentuh hatiku. Aku belum melihat pelangiNya, tapi aku bisa merasakannya...
indah luar biasa. Seperti sedang jatuh cinta, hatiku terasa hangat dalam dekapan kasihNya.

“May I sacrifice”

Air mata harus kutahan dengan kuat supaya tidak jatuh. Apa pun yang sedang kualami masih
jauh dari penderitaan dalam sengsara Yesus, sejak diadili, disiksa, dihina, memanggul salib hingga
berucap “sudah selesai...” di akhir Dia menyerahkan nyawaNya.
Mengapa Dia mau berkorban untuk kita??? Mengapa Dia mau menjalani ini semua?? Pastilah karena
cintaNya yang luar biasa kepada kita. Cinta yang ingin menyelamatkan kita melalui ajaran kasihNya,
supaya kita nantinya pantas mempersembahkan hidup kita kepada Tuhan.
Butakah cintaNya kepada kita??
Betapa seringnya kita dikecewakan orang-orang yang kita cintai... suami atau istri, anak-anak,
saudara, sahabat, teman bahkan juga orang yang tidak kita kenal. Bagaimana caranya supaya
kita tidak berhenti mencintai. Bukankah memang kita seharusnya terus mencintai dengan belajar
memahami dan mengerti, menghormati dan menghargai, karena cinta kita tidak akan pernah
sempurna sampai mati. Hanya cintaNya yang sempurna, tanpa henti dan penuh maaf. cintaNya
mengalir terus, menembus segala rintangan. CintaNya, Dia berikan kepada setiap orang, tanpa

memilih, tanpa pandang bulu. Mampukah kita seperti Dia?? Mampukah kita mencintai tanpa
syarat... dan mau berkorban bagi orang lain...

Melalui Leo, bocah laki-laki kecil, berusia 5,5 tahun, Tuhan menyapaku. Untuk bersabar melalui jalan
berliku, berat dan tidak mudah dipahami. Tapi dengan keceriaan Leo dalam menyanyikan lagu itu,
Tuhan mengajarkanku untuk setiap saat percaya bahwa semua indah pada waktunya. Tuhan juga
mengajarkanku untuk memahami pengorbanan Yesus melalui sengsaraNya yang luar biasa berat.
Dan menantangku untuk berbuat sama.... mau berkorban demi cinta yang tak boleh putus. Berat?
bersamaNya segala hal bisa dilalui dengan selamat.

Love is not blind, but looks abroad through others’ eyes... and ask not “must I give?”, but “may I
sacrifice?” - Ziegler

No comments:

Post a Comment