Pages

Tuesday, May 31, 2011

Gudeg Ketela

Di dekat rumahku ada orang jualan gudeg. Baru mulai sejak lebaran kemarin. Gudegnya enak. Cuma 2 jam buka langsung habis. Heran juga, wong Jogja kok ya gak bosen-bosennya makan gudeg. Sudah enak, murah lagi.

Ternyata ketela yang direbus bersama opor ayam itu ada ceritanya. Ketela itu sengaja di taruh di panci paling bawah, sebagai alas ayam yang direbus dengan santan berbumbu opor. Tujuannya, biar ayamnya gak gosong. Kalau gosong, pasti yang kena ketelanya. Tapi kalau nggak gosong, ketelanya ya enak, dan kalau ada yang suka Cuma dijual murah… bonuslah!.

Merenungkan hidup perkawinan. Aku melihat ketela itu sebagai cinta dalam rumah tangga. Cintalah yang mendasari kehidupan kita. Seperti ketela mendasari ayam biar nggak gosong.

Cinta lah yang mau berkorban supaya apa yang diperjuangkan dalam rumah tangga tercapai. Seperti ketela yang mau dikorbankan supaya ayamnya bisa utuh dan bagus disajikan.

Ketela itu bahan yang sederhana, seperti juga cinta. Sederhana dan mau berkorban untuk tujuan yang baik. Kalaupun cinta itu kemudian dihargai, ya itu Cuma bonus, berkah.

Dalam kehidupan perkawinan harus ada yang mau menjadi ketela, supaya tujuan perkawinan bisa diraih. Kalau tujuan ini tercapai, ya sudah… berarti ketela sudah menjalankan perannya dengan baik. Ayam boleh bangga karena dialah yang diminati pembeli, harganya lebih mahal dan rasanya tentu saja lebih enak. Tapi ayam memang tidak boleh lupa, bahwa tanpa ketela, bisa-bisa dia gosong dan tidak laku dijual.

Setiap anggota keluarga, masing-masing bisa menjadi ketela, memberikan cinta dan pengorbanan dalam ukuran dan standart masing-masing, demi tujuan bersama.

Beruntung aku menikah di akhir tahun. Sehingga setiap tahun aku bisa merefleksi diri, sejauh mana tujuan perkawinanku tercapai? Dan apa yang harus kami perjuangkan lagi?

(Permenungan 25 Th perkawinan, 31 Desember 2009)

No comments:

Post a Comment