Pages

Wednesday, June 15, 2011

Sepeda Kehidupan


Pagi itu, aku melakukan perjalanan ke Semarang dari Wedi-Klaten, hanya berdua dengan kakakku. Dia kakak lelaki nomor dua dan usianya sudah 65 tahun. Menduda 16 tahun dan sudah tidak berniat menikah lagi. Setiap kali ditanya, apa nggak pingin menikah lagi? Dia selalu menjawab “wah.. nanti malah repot aku ngga bisa sepedaan lagi…”. Ketiga anaknya sudah menikah, dan dia memilih untuk hidup sendiri ditemani ketiga anjingnya.

Emosi

Aku tergelitik untuk ingin tahu, apa yang paling berat dalam kegiatan bersepeda? Dengan enteng dia menjawab “emosi”… maksudnya?? “emosi itu yang paling menguras energy…”. Nah apa saja yang bisa membuatnya emosi? Kakakku menjelaskan dengan penuh semangat.
Pertama, kalau tiba-tiba ada yang menyalip kita dengan sepeda yang lebih jelek kualitasnya dari milik kita… langsung emosi.. kok bisa?? Masak kalah sepedaku dengannya??
Kedua, kalau yang menyalip kita ternyata usianya lebih tua dari kita… emosi langsung memuncak… masak kalah kuat dengan orang yang lebih tua dari kita. Apalagi kalau sepedanya lebih jelek… wah emosi memuncak… hahaha… dia memang lucu kalau cerita.
Ketiga, kalau teman seperjalanan kita agak jauh di depan kita, ada rasa takut ketinggalan. Apalagi kalau kita ada ketergantungan dengan dia, misalnya teman tersebut yang paling pintar memperbaiki sepeda kalau terjadi sesuatu. Memang sih ada HP, tapi sering nggak terdengar, maklum sudah tua semua… hehehe
Keempat, kalau ada jalan naik turun yang nggak selesai-selesai… awalnya penuh semangat.. lama-lama emosi… kok nggak lurus-lurus ya  jalannya. Akhirnya bisa frustasi juga…
Lhoh… kok sepertinya menggambarkan kehidupan kita ya….??

Sepeda kehidupan

Naik sepeda seperti menjalani hidup. Ketika kita melihat orang yang lebih tua kok lebih sehat dan bersemangat… jadi emosi juga, masak sih aku kalah dengannya. Atau melihat yang usianya lebih muda sudah sukses dan makmur hidupnya. Juga ketika kita melihat orang yang lebih menderita dari kita tapi hidupnya bahagia. Aneh….
Ketergantungan dengan orang lain, juga membuat kita tergelitik emosinya. Ada perasaan takut kehilangan, takut ditinggalkan… kehilangan percaya diri.. minder dan hal ini benar-benar bisa menguras energy kita.
Menjalani kehidupan yang naik turun tajam dan nggak berhenti-henti juga membuat kita emosi dan putus harapan. Kapan sih bisa tenang dalam menjalani hidup ini. Pingin bisa menikmati hidup yang lurus, nyaman, tentram dan damai.
Aku jadi ingat di salah buku tulisan Bondan Winarno… ada cerita orang yang sering mengeluhkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Ingin sekali  merasakan kehidupan yang tentram damai tanpa persoalan. Temannya yang bijak membawanya berjalan-jalan untuk menunjukkan tempat dimana kita bisa terbebas dari berbagai persoalan dan.. dia diajak ke suatu tempat yaitu  KUBURAN…. Hahaha….

Kompetisi

Aku berkomentar..” lha ngapain emosi toh mas… kan bersepedaan gitu  bukan kompetisi toh”… dia ketawa… “ya iya… Cuma kok ya masih sering emosi juga kalau pas di jalan”. Rasanya, pengalaman bersepeda kakakku, seperti halnya pengalaman menjalani kehidupan. Hidup juga bukan kompetisi. Seperti halnya bersepeda. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kalau hidup dinilai dari materi duniawi. Mudah sekali ditemukan siapa orang terkaya di dunia. Tapi, benarkah dia pemenang dalam kehidupan ini???
Setiap kali kita bersepeda, pasti ada tempat yang dituju. Apapun cara yang ditempuh. Apapun rintangan yang kita hadapi di perjalanan, yang penting sampai ke tujuan dengan selamat.
Lalu, tujuan hidup kita apa?? Aku pernah tidak bisa menjawab ketika seseorang menanyakan pertanyaan ini ke aku. Kemudian dia mengatakan bahwa tujuan hidup kita ya “kematian”. Maksudnya, bukan terus kita mati saja, bunuh diri… selesai!!... bukan itu…
Kita semua pasti akan mati. Kapan, bagaimana…??? Tidak ada yang tahu. Yang jelas pasti akan sampai kesana juga. Tidak bisa dihindari, dan tidak bisa ditawar..
Yang penting, bagaimana kita mempertanggung jawabkan hidup kita ini kepadaNya??.. mungkin… (karena aku belum pernah mati.. jadi ya ini kemungkinan saja)… Tuhan akan bertanya “Lik… kamu ngapain aja di dunia?? Sudah jadi ibu yang baik?? Sudah jadi istri yang baik? Sudah menjadi seseorang yang baik?? Sudahkah talenta yang kuberikan kamu kembangkan dengan baik dan berlipat hasilnya??”… mungkin begitu..
Setiap manusia memiliki peran sendiri dalam hidupnya. Bukankah hidup seperti panggung sandiwara. Kita tidak perlu memusingkan kenapa mereka begini, begitu… yang penting apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain dengan peran yang sedang kita lakonkan. Mungkin itu maksudnya kata “dilakoni”, yang bisa diartikan “dijalani”… tapi juga bisa diartikan “di lakon (peran)kan”.

Di lakon(peran ) kan dan dijalani

Aku minta tips ke kakakku… bagaimana menghadapi rasa frustasi ketika meniti jalan yang naik-turun nggak brenti-brenti… pasti melelahkan dan menguras energy yang luar biasa. Dia menjawab… “ya dijalani saja… kalau melihat ke depan masih naik turun dan melelahkan, ya menunduk saja…” Menunduk dalam kehidupan kita bisa menggambarkan bagaimana kita berdoa, merefleksi diri dan berserah kepadaNya.  Tiba-tiba dia tertawa ngakak… lhoh….kenapa???
Ternyata dia ingat.. ketika dia menunduk sambil bersepeda, ada mobil berhenti ditabrak… hahahaha….
Menunduk ya menunduk… tapi harus tetap waspada. Walaupun kita sudah berdoa, kita juga tetap harus waspada. Dengan berdoa kita melatih kesabaran, mempertajam naluri, bersikap rendah hati terhadap sesama dan kepadaNya. Begitu banyak tantangan dan godaan di sekitar kita yang membuat kita lalai. Kewaspadaan diperlukan supaya kita bisa ke tujuan dengan selamat. Hingga tiba saatnya,mempertanggungjawabkan hidup kita kepadaNya.

No comments:

Post a Comment