Pages

Tuesday, July 22, 2014

Dibalik gambar

Walaupun tempat tinggalku di desa, tapi tidak menghalangi teman-teman untuk datang. Entah kenapa banyak yang ingin berkunjung. Padahal alamatku tidak jelas. Kalau mau datang harus dipandu sejak masuk Klaten. Kecuali sudah membawa GPS, pasti sampai.
Sabtu lalu Roy dan Wida datang berkunjung ke kantor. Hanya mengisi waktu luang sebelum menghadiri acara perkawinan saudaranya.

Cukup banyak waktu untuk ngobrol, makan siang dan keliling desa. Dan mampirlah di Rowo Jombor. Sebuah pemandangan yang indah. Sebuah rawa yang sudah dilengkapi dengan berbagai restoran apung yang menyajikan masakan ikan. Sayang di hari puasa, tidak ada yang buka. Siang itu kami hanya berkeliling rawa, melihat pemandangan dari berbagai sudut.

Rupanya Roy jatuh cinta dengan pemandang itu, hingga bertekad untuk datang lagi besok untuk melihat kegiatan disana yang konon kalau pagi ada banyak pedangan gerabah bersepeda berurutan membawa dagangan ke kota. Pasti pemandangan yang indah.

Maka malam itu, kami sepakat untuk berangkat pagi-pagi Jam 4. Tapi, tidak perlu kaget kalau akhirnya kami berangkat jam 5.30, karena ketiduran. Namun begitu kami tetap semangat.
Rowo Jombor, dipagi hari. Dipenuhi kabut dan udara masih dingin. Matahari muncul pelan menembus kabut... cantik. Bangunan bernuansa abu-abu memberikan pemandangan yang asing, seperti berada di suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi. Walaupun para pedagang gerabah sudah tidak terlihat lagi, tapi pemandangan di sekitar sangat indah.






Puas mengabadikan pemandangan, kami diusik rasa lapar. Pilihannya adalah soto mbok Dele yang cukup terkenal di Klaten. Perjalanan sengaja dilewatkan dari desa ke desa, menikmati pemandangan yang tidak biasa di kota. Hal yang mungkin biasa bagi kami, menjadi tidak biasa bagi Roy dan Wida.

Terbukti, ketika kami menikmati soto mbok Dele, Roy sibuk mengabadikan dapurnya yang tradisional. Dengan perapian dari kayu, dan asap mengepul alami menyusup sela-sela lobang di atasnya.
Aku bukan seseorang yang pintar mengambil gambar. Tapi melihat hasil bidikan lensanya membuatku heran. Betapa indahnya hal-hal yang dilihat biasa sehari-hari. Selalu ada keindahan di balik setiap pemandangan yang diambil hanya dalam frame yang kecil.

inilah yang membuat soto mbok Dele laris!
Mungkin justru karena mata kita mampu menangkap lebih luas dan lebar, hal-hal kecil tidak terperhatikan.
Seperti halnya hidup ini. Semakin luas dan lebar kita memandang hidup, kita bisa melupakan hal-hal kecil yang sebetulnya indah dan pantas disyukuri setiap waktu.
Trimakasih Roy dan Wida yang sudah berkunjung. Dalam perjalanan singkat aku belajar melihat hidup dengan rangka yang lebih kecil dan melihat keindahan di baliknya.

NB: foto-foto Roy Husada.

Wednesday, July 9, 2014

The Power of "yo wis"

Butuh latihan hidup untuk bisa mengucapkan kata "yo wis" dengan ikhlas. Setelah itu baru kita menggunakan kacamata positif untuk memandang semua situasi untuk mencari jalan keluar ke depan.

Bulan lalu, saudaraku mengatakan kalau tempat dimana aku menggunakan lokasinya untuk kantor dan gudang akan dipakai untuk usaha jahitan. Kantor terpaksa aku pindahkan ke lokasinya karena kantor lamaku kupakai untuk tinggal setelah rumah di Jogya aku jual.
3, 5 tahun sudah aku tinggal disini dan menjadikan tempat ini zona nyamanku. Ke workshop tinggal buka pintu. Nungguin kerjaan bisa 24 jam.

Awalnya kami terkejut juga, karena rencana membangun usaha jahitan akan dimualai 2 minggu lagi. Sebetulnya kami masih diijinkan untuk menempati lokasi lain, tapi gudang tidak punya tempat lagi. Perubahan selalu membuat kepanikan. Lalu, tergoda untuk berpikir yang tidak-tidak. Wah kenapa begini dan kenapa begitu.
Baiklah... yo wis.. ayo kita pakai kacamata positif.


Pertama ini hak mereka kalau mau dipakai untuk usaha barunya. Toh mereka sudah bermurah hati untuk membiarkan kami memakainya selama 3,5 th.
Lalu, apa solusinya? aku harus pindah, mencari kontrakan rumah. Dimana? kami ingin di dekat tanah kami di sebelah selatan workshop kami, kira-kira 3 km. Kenapa disana? ya karena tanah tersebut rencana untuk perluasan usaha kami, jadi sekalian saja mencari rumah yang dekat dengan tanah tersebut, supaya besok kalau kami membangun usaha disitu tidak jauh tempatnya.
Kami sepakat dan siang itu setelah makan siang, kami mampir ke tanah tersebut sekaligus mencari rumah yang dikontrakkan.

Tuhan sungguh Maha Besar. Bagaikan melihat mukjijat, ketika kami berhenti di depan tanah kami, ternyata di seberang jalan ada rumah dengan tulisan besar DIKONTRAKAN berikut no HP. Bagaikan melihat jalan lapang di depan, kami segera menghubungi. Terjadilah kesepakatan kapan kami bisa bertemu untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut.

Tiga hari kemudian. kunci sudah di tangan. Segala waktu yang ada kami gunakan untuk membersihkan rumah tersebut. Ternyata rumah itu luas. Dua lantai. Bagian bawah bisa kami gunakan untuk garasi dan gudang. Cukup besar untuk memindahkan isi gudang kami. Lantai atas untuk rumah tinggal kami.
Sungguh ajaib. Semua seperti sudah disedikan bagi kami.

Dalam waktu seminggu, tempat tinggal sementaraku di tengah workshop sudah berpindah ke rumah baru. Dan kantor kami pindahkan ke kamarku. Semua pas dan tepat waktu.

Rumah tinggalku sekarang menjadi zona nyamanku yang baru. Ruangannya cukup luas untuk ditata kembali. Setiap sudut memiliki ciri khas masing-masing. Dan tempat paling nyaman buatku adalah tempat tidur di depan TV. Disebelahnya ada rak berisi penuh dengan benang dan berbagai buku renda. Disinilah surgaku. Tempat aku menonton TV sambil merenda. Atau TV yang ganti menontonku karena aku ketiduran di depannya hehehe....

Ada balkon tempat kami biasa ngopi di pagi dan sore hari. Bila bulan purnama tiba, muncullah dia dibalik cakrawala, dan dedauan di depanku. Cantik.

tempat ngopi menanti senja hari
 Pada dasarnya, manusia selalu terusik oleh perubahan. Sangat manusiawi juga kalau kita bereaksi terhadap hal tersebut. Kecewa, sedih, marah dll. Tapi reaksi semacam ini tidak boleh berlangsung lama, apalagi mengambil tindakan di saat situasi hati belum tenang. Terimalah. YO WIS. dan pikirkan jalan keluar dengan pikiran yang jernih dan hati yang bersih. Pasti jalan keluar akan kita dapatkan.

YO WIS, adalah sikap menerima dengan ikhlas, tanpa syarat.

Saudara yang akan membangun usaha jahitan, heran melihat kami dengan cepat menyelesaian masalah kami. Kami juga terlihat gembira tanpa mengeluh apa pun. Semua berjalan lancar. Bahkan pada akhirnya dia menyesal membuat rencana tersebut hingga membuat dia kehilangan kami karena tidak lagi tinggal di workshop.
Hidup adalah pilihan. Apa pun pilihan kita selalu ada resiko yang mengikuti. Tidak semua rencana bisa terlaksana seperti yang kita harapkan. Masing-masing membuat pilihan dan masing-masing harus mau menerima resikonya.

Hidup itu indah, ketika menggunakan kacamata positif untuk memandangnya. Berkahnya muncul dalam setiap peristiwa dan setiap hal yang kita hadapi. Itulah sebabnya rencanaNya selalu indah. Dan YO WIS menjadi kekuatan kita untuk melangkah maju.

indah pada waktunya

Monday, July 7, 2014

Lengan panjangmu... Bapak....

Dini hari jam 01.15, 6 Juli 2014, aku terbangun oleh dering suara HPku. Setengah sadar aku mengangkatnya. Nama Emmy, putri tertua bapak Gadi Djou muncul di layar. Ketika gambar telpon kutekan, langsung kudengar suaranya menyusul kata "hallo" ku. "Mbak.. ke Jogya ya... bapak sudah pulang" dengan suara bergetar menahan tangis. Hah... kaget!... dan aku cuma bisa bilang "ya..ya..ya". Emmy masih di Maumere. Yang mendampingi bapak hanya kedua adiknya dan mama.

Masih bingung dan tidak tahu berbuat apa, aku mulai terbangun dan mencoba membuat rencana untuk ke Jogya. Sebentar kemudian, putrinya yang di Belanda menelpon, memastikan aku sudah mendengar berita ini atau belum. Ternyata Bapak meninggal pukul 23. 30, 5 Juli 2014. Tepat sebulan setelah merayakan ulang tahun perkawinan yang ke 49.

Setelah kesadaran pulih, dan mata benar-benar melek, aku mulai bangun dan menyiapkan sahur untuk kakakku yang kebetulan menginap di rumah. Setelah itu aku tidak tidur lagi, dan menyiapkan diri untuk berangkat ke Jogya. Karena aku harus membawa mobil sendiri, maka kakaku perempuan berkenan menemani.
Akhirnya, pukul 4 pagi kami berangkat dari Wedi-Klaten ke Rumah Duka Pantirapih Jogyakarta. Jalanan sepi, hingga pukul 4.45 kami sudah tiba. Mama baru saja pulang ke rumah untuk istirahat dan berganti pakaian. Di sana hanya kedua putra dan menantunya.
Bapak masih di ruang jenazah dengan jas tenun Flores seperti tidur nyenyak, masih menunggu suntik formalin, karena masih akan dibawa ke Ende Flores, dan rencana baru hari Selasa, 8 Juli dimakamkan.
Baru kali ini aku tidak merasa takut dan canggung berada disamping jenasah.
Tangannya berkaus tangan putih. Ketika kupegang masih lemas. Aku genggam dengan pelan. Rasanya seperti aku hanya menunggui bapak tidur.
Aku tidak merasa ditinggalkan.
Ketika Bapak sudah di tidurkan dalam petinya yang putih indah... aku memasang bunga-bunga anggrek di dalamnya. Sebentar kusapa "maaf ya bapak, aku pasang bunga disini..." sambil kupasang persis di atas kepala beliau.

Hari itu, Bapak Gadi Djou masih ditempatkan di rumah duka, karena keluarga tidak berhasil untuk mendapatkan pesawat untuk membawanya ke Ende Flores.

7 Juli 2014, pukul 8.00 seluruh keluarga (18 orang) bersama Bapak, berangkat ke Denpasar, untuk kemudian dengan pesawat khusus keluarga terbang ke Ende - Flores.
Di Bandara Adisucipto, semua sudah berkumpul sejak pukul 6 pagi, karena harus mengurus ini itu yang cukup banyak dan ribet juga.

Sambil menunggu jam keberangkatan, kami semua berkumpul di restorant Bandara untuk sarapan. Aku melihat sebuah pemandangan yang luar biasa indah. Disinilah, kami berkumpul selayaknya satu saudara. Tidak ada perbedaan status, apalagi RAS. Aku melihat kami semua makan dan minum bersama-sama. Sulit bagiku untuk mengingat mereka satu persatu, walaupun aku pernah tinggal di Ende 3 minggu lamanya. Mereka biasa makan bersama, comot ini itu, cicip ini itu. Semua saudara, benar-benar satu saudara. Aku dan bapak tidak ada ikatan darah sama sekali. Kami hanya bertetangga ketika aku masih tinggal di Jogya. Tapi bapak memperlakukan aku seperti anaknya sendiri.

Aku merasakan keindahan luar biasa yang ditinggalkan bapak. Benar-benar warisan persaudaraan yang tulus, penuh kasih. Bapak seperti punya lengan yang sangat panjang dan kuat untuk merengkuh kami semua. Dalam satu dekapan persaudaraan yang erat, penuh kasih, perhatian, dan juga ketulusan.

Bapak adalah sosok yang tegas, kuat, berwibawa, keras dalam menghadapi segala sesuatu. Tapi beliau memiliki hati yang sangat lembut hingga membuat dia sering meneteskan air mata. Kelembutan hatinya membuat dia banyak berbuat orang lain.
Beliau adalah pendiri Universitas Flores di Ende. Ketika aku berkunjung ke Ende, beliau mengajakku berkeliling, melihat karyanya semasa beliau menjabat Bupati Ende dalam 2 periode. Bangunan, jembatan dan jalan-jalan. Juga ke Universitas Flores yang megah di atas bukit. Sangat nyaman untuk belajar mahasiswa. Dan beliau lebih senang dan bangga dengan universitasnya "...sekarang bapak membangun manusia..."

Selamat jalan bapak. Kepergianmu begitu tenang dan damai. Bagaikan tidur abadi yang membawamu pulang ke rumah Bapa di Surga.

Terimakasih Tuhan, telah menghadirkan Bapak dalam kehidupanku. Beliau selalu ada dalam suka-dukanya hidupku. Dalam situasi kritis, beliaulah yang datang membantu. Tulus, tanpa pamrih apa pun.... bahkan sebuah ucapan "terimakasih".
tangan Tuhan menyambutmu, bapak