Masih bingung dan tidak tahu berbuat apa, aku mulai terbangun dan mencoba membuat rencana untuk ke Jogya. Sebentar kemudian, putrinya yang di Belanda menelpon, memastikan aku sudah mendengar berita ini atau belum. Ternyata Bapak meninggal pukul 23. 30, 5 Juli 2014. Tepat sebulan setelah merayakan ulang tahun perkawinan yang ke 49.
Setelah kesadaran pulih, dan mata benar-benar melek, aku mulai bangun dan menyiapkan sahur untuk kakakku yang kebetulan menginap di rumah. Setelah itu aku tidak tidur lagi, dan menyiapkan diri untuk berangkat ke Jogya. Karena aku harus membawa mobil sendiri, maka kakaku perempuan berkenan menemani.
Akhirnya, pukul 4 pagi kami berangkat dari Wedi-Klaten ke Rumah Duka Pantirapih Jogyakarta. Jalanan sepi, hingga pukul 4.45 kami sudah tiba. Mama baru saja pulang ke rumah untuk istirahat dan berganti pakaian. Di sana hanya kedua putra dan menantunya.
Bapak masih di ruang jenazah dengan jas tenun Flores seperti tidur nyenyak, masih menunggu suntik formalin, karena masih akan dibawa ke Ende Flores, dan rencana baru hari Selasa, 8 Juli dimakamkan.
Baru kali ini aku tidak merasa takut dan canggung berada disamping jenasah.
Tangannya berkaus tangan putih. Ketika kupegang masih lemas. Aku genggam dengan pelan. Rasanya seperti aku hanya menunggui bapak tidur.
Aku tidak merasa ditinggalkan.
Ketika Bapak sudah di tidurkan dalam petinya yang putih indah... aku memasang bunga-bunga anggrek di dalamnya. Sebentar kusapa "maaf ya bapak, aku pasang bunga disini..." sambil kupasang persis di atas kepala beliau.
Hari itu, Bapak Gadi Djou masih ditempatkan di rumah duka, karena keluarga tidak berhasil untuk mendapatkan pesawat untuk membawanya ke Ende Flores.
7 Juli 2014, pukul 8.00 seluruh keluarga (18 orang) bersama Bapak, berangkat ke Denpasar, untuk kemudian dengan pesawat khusus keluarga terbang ke Ende - Flores.
Di Bandara Adisucipto, semua sudah berkumpul sejak pukul 6 pagi, karena harus mengurus ini itu yang cukup banyak dan ribet juga.
Sambil menunggu jam keberangkatan, kami semua berkumpul di restorant Bandara untuk sarapan. Aku melihat sebuah pemandangan yang luar biasa indah. Disinilah, kami berkumpul selayaknya satu saudara. Tidak ada perbedaan status, apalagi RAS. Aku melihat kami semua makan dan minum bersama-sama. Sulit bagiku untuk mengingat mereka satu persatu, walaupun aku pernah tinggal di Ende 3 minggu lamanya. Mereka biasa makan bersama, comot ini itu, cicip ini itu. Semua saudara, benar-benar satu saudara. Aku dan bapak tidak ada ikatan darah sama sekali. Kami hanya bertetangga ketika aku masih tinggal di Jogya. Tapi bapak memperlakukan aku seperti anaknya sendiri.
Aku merasakan keindahan luar biasa yang ditinggalkan bapak. Benar-benar warisan persaudaraan yang tulus, penuh kasih. Bapak seperti punya lengan yang sangat panjang dan kuat untuk merengkuh kami semua. Dalam satu dekapan persaudaraan yang erat, penuh kasih, perhatian, dan juga ketulusan.
Bapak adalah sosok yang tegas, kuat, berwibawa, keras dalam menghadapi segala sesuatu. Tapi beliau memiliki hati yang sangat lembut hingga membuat dia sering meneteskan air mata. Kelembutan hatinya membuat dia banyak berbuat orang lain.
Beliau adalah pendiri Universitas Flores di Ende. Ketika aku berkunjung ke Ende, beliau mengajakku berkeliling, melihat karyanya semasa beliau menjabat Bupati Ende dalam 2 periode. Bangunan, jembatan dan jalan-jalan. Juga ke Universitas Flores yang megah di atas bukit. Sangat nyaman untuk belajar mahasiswa. Dan beliau lebih senang dan bangga dengan universitasnya "...sekarang bapak membangun manusia..."
Selamat jalan bapak. Kepergianmu begitu tenang dan damai. Bagaikan tidur abadi yang membawamu pulang ke rumah Bapa di Surga.
Terimakasih Tuhan, telah menghadirkan Bapak dalam kehidupanku. Beliau selalu ada dalam suka-dukanya hidupku. Dalam situasi kritis, beliaulah yang datang membantu. Tulus, tanpa pamrih apa pun.... bahkan sebuah ucapan "terimakasih".
tangan Tuhan menyambutmu, bapak |
No comments:
Post a Comment