Pages

Thursday, April 4, 2019

Dibalik Cerita Bersambung


Setahun lalu telinga kiriku berdenging dan sangat mengganggu. Setelah diperiksa secara medis, aku hanya diberi obat. Katanya butuh waktu lama untuk bisa sembuh. Resep sudah aku kopi 3 kali dan rajin minum vitamin untuk otak. Tidak ada perubahan sama sekali. Iseng bertanya ke mbah Google, kenapa telinga berdenging?. Ternyata gejala ini disebut Tinnitus. Ada faktor usia atau juga bisa karena stress.
Stress? apa aku stress? rasanya kok biasa saja, tapi siapa tahu?. Penasaran, akhirnya aku ke psikolog yang kebetulan suaminya terapis. Berdua mereka mewawancarai aku dan dengan terapi bisa membuka peristiwa lama yang tidak disadari menjadi luka batin.
Ada pertanyaan menarik,
"ibu sekarang kegiatannya apa?" tanya mereka.
"kebetulan ada kerjaan merenda dan membuat macrame. Kadang ya momong cucu". Tiba-tiba dia berkata,
"nah ini yang bikin ibu stress. Merenda dan macrame!" katanya seperti menemukan sesuatu.
"lhoh... masak?? kan aku suka sekali merenda dan macrame" kataku tidak percaya.
"bukan bu, itu hanya pengalihan tapi tidak mengobati. Apa lagi kesukaan ibu yang lain?"
"apa yaaa?... " lama aku mengingat "menulis??" jawabku ragu-ragu.
"nah, itu yang tepat. Ibu menulis aja. Itu aktivitas yang bisa mengurangi stress. Karena ibu punya potensi untuk bicara jujur tentang apa yang ibu rasakan".

Menarik sekali khan?!. Dan aku menulis lagi, setelah 4 tahun berhenti menulis di blog. Menulis menjadi aktivitas untuk diriku sendiri. Kalau tulisanku bisa menjadi inspirasi atau hiburan bagi pembaca, itu bonus untukku.
Pada awal aku menulis, dengingan di telinga kadang hilang, kadang datang. Tapi aku yakin, kalau bisa hilang walaupun hanya beberapa hari, pasti nantinya bisa hilang selamanya, berarti sembuh. Hingga hari ini, dengingan di telinga sudah jarang sekali muncul.

Aku dan Rini
Aku dan Rini, Semarang 2019
Aku biasa menulis tentang diriku sendiri. Tentang peristiwa yang terjadi dan apa yang aku pikirkan tentang hal tersebut. Menyenangkan bisa kembali menulis. Seperti menulis buku harian tapi dengan tema tertentu. Hingga suatu hari aku tertarik dengan cerita Rini yang hanya sepotong-sepotong dalam sebuah reuni di Baturaden baru-baru ini. Kisah hidupnya menarik dan banyak peristiwa yang membuat kami terpesona mendengarnya waktu itu.

Tidak mudah meyakinkan Rini untuk mau bercerita dan ceritanya aku tulis. Hingga aku mencoba menuliskan sepotong cerita tentang dia. Dan komentarnya "waduuh kok jadi bagus". Dan aku bersemangat.
"bagaimana? mau dilanjutkan?" tanyaku. Dan gayung bersambut. Muncullah cerita bersambung "Ketika Hening Diletakkan". Kami mulai berkomunikasi lewat email dan wa setiap hari. Dan dia mulai mencoba mengingat kisah cintanya.
Menulis kisah cinta Rini benar-benar mengolah rasa. Ikut merasakan jatuh cinta, kecewa, jengkel, sabar dan tidak sabar, marah dan sedih dan bisa ikut berurai air mata ketika menulis.
Imajinasi mengalir begitu saja. Setelah draf disetujui baru aku upload di blog dan menjadi cerita bersambung yang dinantikan pembaca.

Yang paling sulit menulis kisah no 16 tentang pergumulan batin Hendra. Rini memberikan info sangat sedikit. Dan aku harus berimajinasi sendiri untuk melihat apa yang membuat perubahan sikap Hendra. Dalam kebuntuan aku bernyanyi bak Lady Gaga dalam film A Star is Born yang berjudul Shallow "...tell me something.. Boy.." (Boy = Hendra) ... hahaha... dan anehnya, mengalirlah kisah no 16 dengan lancar. Seakan ada yang menuntunku untuk menulis. Pengalaman yang luar biasa dan membuatku merinding.
Kesulitan lain memahami tentang karya Hendrawan. Rini dengan santainya mengirimkan katalog hasil karyanya. Jujur sama sekali aku nggak paham. Aku hanya memahami garis besarnya saja. Aneh juga buatku ketika bisa menjadikannya puncak cerita di no 16, tema yang pas dengan judulnya.
Semua ilustrasi aku ambil dari pinterest. Ada yang bisa diambil bebas. Tapi kalau ada yang aku suka tapi harus ada keterangan sumber, baru aku cantumkan sumbernya. Selain harus "metani" gambar juga membayangkan ilustrasi apa yang pas untuk setiap kisahnya.
Asik sekali menjadi sibuk. Aku bekerja untuk diriku sendiri. Bersyukur Rini bersedia menjadi sumber cerita. Terimakasih Rini, untuk hari-hari penuh email dan WA.
Inilah komentar Rini tentang proses penulisan Ketika Hening Diletakkan.
-----------
Berawal dari ikutan nimbrung cerita saat santai dengan teman-teman semasa SMA di Baturaden. Jujur baru pertama kali ini saya banyak ngomong tentang hal-hal pribadi kepada audience yang tidak semua  mengenal saya secara dekat.  Lebih tepatnya saat itu saya merasa “naif” = lugu yang cenderung bodoh 😂 
Nyesel sih enggak cuma malu. 

Pas mbak Lilik bilang mau nulis tentang ocehan saya, adanya cuman bengong antara iya, enggak, iya, enggak... Karena mbak Lilik ahlinya bikin tulisan, blognya keren. Saya cuma cerita sedikit, dia bisa menjadikannya 1 episode. Ibarat saya nulis 1 cm ditangan mbak Lilik jadi 1 meter ajaib lah. Terheran heran kok bisa ya? kalimat-kalimat yang ditulisnya itu muncul dari mana, wong cerita hidup saya nggak istimewa, cenderung dagelan. Malah yang nggak berkenan pasti saya dibilang sombong. 

Akhirnya saya memilih iya ...mbak Lilik bukan orang yang iseng dan catatan di blog nya bisa menginspirasi banyak orang. Rasa nano-nano (campur aduk) dihati bisa saya rem. Pada saat saya mulai di interogasi mbak Lilik,  pastilah perasaan masa lalu  bersama Hendrawan mulai bermunculan. Rasanya ingin dia hidup kembali. 

Maaf ya Hendrawan, saya hanya bercerita dari sisi yang saya alami dan rasakan semoga kamu juga akhirnya tahu dari tulisan mbak Lilik  bahwa saya selalu mengasihi dan mencintaimu. Saya tidak pernah mempertanyakan tentang sikap dan tindakan yang kamu lakukan terhadap saya semasa hidup, namun mbak Lilik bisa mengungkapkan dan menghidupkannya dalam tulisan. 

Terima kasih mbak Lilik untuk energi dan emosi yang dilibatkan dalam cerita hidup saya, semoga mbak Lilik bisa terus berkarya dengan tulisan-tulisan yang spectacular lainnya 😘🙏🏻.

Rini
-----------------

Aku dan Yongkie
Aku dan Yongkie, Jakarta 2010
Menulis cerbung tentang kisah perjalanan 10.254 miles, 22 states in 63 days merupakan pengalaman baru yang penuh tantangan, karena perjalanan ini di tahun 1988, 31 tahun lalu dan di Amerika!. Kalau "Ketika Hening Diletakkan", mengolah rasa, ini mengolah data.
Beruntung, Yongkie yang punya cerita juga bersemangat untuk menggali pengalaman dan mengingat kembali kisah yang berkesan selama perjalanan tersebut. Bahkan mendigitalkan kembali foto-foto lama.
Kami bersama-sama saling mendukung dalam mencari data. Tentu saja yang menjadi andalan adalah internet. Yang menjadi hambatan adalah ukuran kacamataku yang sudah minus 8.5 dan plus 3. Kadang masih ingin mencari data ini itu, tapi mata sudah nggak mau diajak kompromi. Biasanya aku langsung duduk di teras melihat pemandangan hijau.
Waktu yang dibutuhkan benar-benar siang malam. Ketika aku di siang hari, Yongkie malam hari, demikian sebaliknya. Betapa seringnya kami saling mengingatkan "wis turu kana..." ketika kami sama-sama bersemangat hingga lupa waktu.
Pernah suatu ketika saking udah ngantuk aku menulis Yong, menjadi Yang... langsung Yongkie menanggapi kok jadi ...saYang... hahahaha... untung Pokie nggak cemburuan.

Tentu saja dengan perbedaan waktu ini, aku sering kehilangan ide menulis, apalagi ada saat beberapa kali aku salah memahami maksudnya. Bolak balik koreksi. Tapi menulis ini just for fun. Tidak ada tekanan sama sekali. Semua dilakukan dengan senang hati.
Untuk selingan aku mengisinya dengan menyelesaikan gorden macrame, atau menghantar cucuku sekolah. Sabtu dan Minggu biasanya aku refreshing dulu ke Kaliurang atau main ke Jogya dengan keluarga, supaya bisa mendapatkan ide untuk menulis.
Walaupun TV sudah dinyalakan tetep laptop jadi pilihan
Sebaliknya ada juga saat dimana ide sudah muncul, tapi laptopku di monopoli Mosha, cucuku untuk nonton Pororo, atau sekedar mencet-mencet keyboard. Untuk cucu semua terkalahkan.
Menulis dibuat mengalir saja. Kadang sudah mantap bahkan draf sudah disetujui Yongkie, tapi aku yang tiba-tiba nggak mantap. Lalu aku revisi lagi. Kadang Yongkie juga dengan santai bilang, "aku lunga sik ke San Fransisco 3 hari ya..." hahaha... atau "aku ke Seattle dulu sehari".

Semula, aku pikir dengan menabung cerita sampai 10 aku bisa mengupload setiap hari seperti ketika aku menulis "Ketika Hening Diletakkan". Ternyata tidak. Begitu banyak data yang harus dicari di internet. Sehingga membutuhkan waktu lebih banyak dalam penulisan. Akhirnya lega rasanya ketika semua bisa selesai.

Berikut adalah tulisan Yongkie yang menggambarkan bagaimana sibuknya dia menjawab pertanyaanku dan menyediakan data-data yang tidak bisa aku peroleh di internet.
----------
It all started when I ask Lilik if she is interested to write a section of my trip to Alaska with a “life lesson” that I learned from the late Lynn Bodle about “no regrets in life” in 2006. When Lilik agreed to my story, I started to gather my thought and to look the websites that I created of my travel. 
But when Lilik questioned me and interviewed me how did I start to like traveling, Lilik opened a can of worms 🐛OMG , I had to think hard more than 30 years of first traveling of 22 states, 10,254 miles and 63 days. 
I searched my photo albums and go from there, I basically remember where to go, but precisely I have to look at the photo albums. 
No digital pictures back then, all I have is 3 x 5 prints, a total of three albums. 
I have a challenge, how can I digitized these photos to the best I can ? I had been thinking for 2 to 3 days, and finally I kind of figure it out the how too. 
Yongkie tried so hard to digitized the photos
Taking pictures of old photographs is not easy, the camera and the prints has to be the same and parallel otherwise the distortion is visible. I made a temporary contraption that consists of 2 yogurts cans and a cutting boards. Then I had to deal with reflections from the prints since old pictures mostly were printed on glossy surfaces. So I try to find old cardboard that has a darker non reflective surface and started to place it on top of the whole contraption to eliminate the glares. 
I used my smartphone to capture the old images, then process it through Photoshop program to achieve ultimate quality. I then make a website and Lilik can capture the images that she can use. 
Another challenge is the terms that I use to describe my journey to Lilik, many times the meaning is construed differently. So I have to explain it very clear so the meaning is what I intended. 
The distance does not make any different since we use both email and WhatsApp to communicate. Lilik always sends me the DRAFT makes sure it makes sense and the story flow is correct. As of this writing ✍️ we think it is half way done, we do this with no deadline and we do it in relaxing atmosphere. 
Lilik is good to make the story flowing from point A to point B, many friends have contacted me on how good Lilik writes the story.
I thank you as well, because you asked, I have two more websites, one is Hawaii 1997 and 1988 trip. So thank you for that and keep on writing ✍️. Bravo, one more time.

Yongkie  
----------------
Buat Rini dan Yongkie, tidak ada kata yang bisa aku rangkaikan lagi selain TERIMAKASIH.
Untuk waktu, tenaga dan segala upaya merekam kembali kenangan masa lalu. Aku akan merindukan 
pengalaman ini bersama kalian berdua.
Semoga tulisan ini sungguh menjadi kenangan kita dalam merangkai dan menjadikannya cerita 
bersambung di blogku. Dan bagi yang membaca terimakasih sudah meluangkan waktu dan memberi 
semangat untuk terus menulis. Semoga bisa mendapatkan inspirasi dan manfaat dari tulisanku.

1 comment:

  1. Waaaikiiii bhs ingg ku jaman biyen etuk 5 je mb teluk iki ra thumlong aku😂

    ReplyDelete