The power of YOWIS. Ya sudah. Yang penting kuliah harus diselesaikan. Ini tanggung jawab Inda kepada orangtua yang sudah berjuang untuk pendidikan sebagai bekal masa depan. Hendra dibiarkan datang dan pergi sesuka hatinya. Ada sebersit keinginan untuk bertanya, apa tujuan hubungan ini. Kalaupun memang tidak ada pasti Inda akan membuat langkah baru.
Tapi di jaman itu, tidak mudah seorang wanita mempertanyakan sebuah hubungan. Wanita dipilih, bukan memilih. Pria lah yang menyatakan cinta, yang melamar, yang mengajak untuk hidup bersama selamanya. Mungkin ada wanita yang lebih tegas dan berani mempertanyakan hal ini kapada pasangannya. Tapi bukan Inda orangnya.
Inda ingat, kakak seorang temannya menanyakan hal tersebut kepada pacarnya karena usia sudah mendekati 28 tahun, tapi tidak pernah ada kepastian. Tapi ketika ditanyakan ternyata jawabannya "belum siap menikah". Hilanglah sudah penantian bertahun-tahun, dan jalinan yang menutup kemungkinan dia bertemu pria lain. Betapa rumitnya menjadi wanita di jaman itu. Tepatnya untuk sifat seperti Inda yang sangat tertutup, lugu, lurus dan berserah pada keadaan. Inda tidak ingin bertanya ke Hendra apa yang menjadi kegelisahan hatinya. Biarkan saja dan seluruh energi dia kerahkan untuk menyelesaikan kuliahnya. Namun selalu ada waktu untuk membantu kegiatan usaha Hendra dan menampung setiap lembar gambar yang dikirim.
Akhirnya Inda dengan bangga dan lega menyandang gelar Sarjana Hukum. Mempersembahkan prestasi yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh kepada orangtuanya. Langkah berikutnya adalah mencari pekerjaan. Lamaran pun di kirim ke berbagai Lembaga Pemeritah maupun swasta. Tapi, yang didapat adalah namanya tercantum untuk mengikuti Wajib Militer. Nama Wiwik juga. Mereka berdua melongo.... hah Wajib Militer? nggak ada bentuk badan yang cocok jadi militer!.
Panggilan negara harus diikuti! titik!. Kalau tidak menepati bisa dijemput paksa!. Astaga....
Berdua dengan Wiwik akhirnya mereka mengikuti test awal di Jogya. Setelah itu mereka harus melanjutkan test ke Lembang.
tanganmu melingkar di pinggang, menghangatkan hati |
Setiap kali bertemu Hendra mengajaknya berkeliling dari angkot ke angkot miliknya. Berboncengan sepeda motor sambil bekerja mengawasi ke 6 angkotnya. Kemesraan yang mereka miliki hanyalah tangan Inda yang melingkar di pinggang Hendra. Dan Inda cukup bahagia dengan bisa merasakan kehangatan tubuhnya di udara sejuk kota Bandung.
Hendra masih disibukkan dengan kuliah, meneruskan usaha lampu dan mebel peninggalan bapaknya dan 6 angkot. Sibuk sekali. Kelelahannya terbayar setiap kali dia bekerja dan ada Inda disampingnya. Kencannya pun juga sederhana. Cukup menikmati siomay, bakso dan batagor yang menjadi menu utama setiap kali bertemu.
Kadang pikiran nakal Inda muncul "Hendra ini tidak kreatif, atau nggak punya uang?". Apalah artinya semua makanan itu dan angkot-angkotnya, dibandingkan bisa duduk memeluk pinggangnya sepanjang perjalanan keliling Buah Batu dan Dago.
Wajib Militer ternyata bukan jalan hidup Inda. Ketika lamarannya di sebuah Bank Pemerintah diterima, dia memutuskan untuk meninggalkan Wamil dan meniti masa depan di Jakarta. Keputusan sudah bulat. Wiwik juga mengikuti jejaknya untuk meninggalkan Wamil. Tidak mudah, karena harus berdiskusi panjang lebar dengan pihak ABRI. Namun melihat keduanya memang benar-benar tidak tertarik untuk mengikuti Wamil, mereka berdua dilepaskan.
Kembali ke Semarang, Inda dan Wiwik duduk di bis menunggu keberangkatan. Mengobrol tak habis-habisnya tentang pengalaman di Wamil dan akhirnya berhasil bebas. Tiba-tiba Inda tertawa lepas membuat Wiwik kaget.
"kamu kenapa? kayak orang sinting" katanya heran.
"enggak... aku tiba-tiba ingat peristiwa konyol soal naik bis begini" kata Inda masih menahan tawa sambil meneruskan cerita.
"waktu jaman SMA aku mau ke Solo sama temanku Winny. trus ngobrol gitu di bis... keasikan ngobrol, baru sadar kok penumpangnya cuma kami berdua dan bis nya nggak berangkat-berangkat juga..." Inda masih menahan tawa.
"trus..." Wiwik penasaran.
"akhirnya kami nanya ke kernet bisnya... pak kok bisnya belum berangkat??" Inda menahan tawa lagi...
"gimana??" Wiwik makin penasaran.
"trus keneknya bilang gini.... maaf mbak... bannya belum dipasang!" hahahahah... pecahlah tawa mereka. Jangan-jangan bis ini juga begitu pikir mereka kawatir.
Kali ini bis yang mereka tumpangi ada bannya. Dan menggelindingkan mereka kembali ke Semarang.
Keterlibatan Inda di Semarang untuk membantu Hendra dalam hal pengiriman barang penagihan dan lain lain mulai berkurang, karena kemajuan sistem pos dan giro.
Saatnya menuju kehidupan baru yang sama sekali buta buat Inda. Tapi hati dan jiwanya yang kuat dan berani membuat langkahnya ringan menuju Jakarta.
Ketika mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke Jakarta, Inda melihat tumpukan lembaran gambar lukisan tangan Hendra. Masih tersusun dan tersimpan rapi di kamarnya. Ternyata banyak sekali sehingga harus dia masukkan dalam doos besar.
Inda terhenyak melihat begitu banyak gambar yang dikirim Hendra. Tapi sudah saatnya dia harus pergi. Ada kekawatiran lembaran gambar itu di lihat orang lain. Terbiasa menyimpan segala sesuatu sendirian, menjadi rahasia hati yang tersimpan rapat.
Setelah berpikir sejenak, di kumpulkan semua gambar dalam doos besar. Menutup dan merekatkan setiap sisinya dengan lakban. Rapat merekat, tidak mudah dibuka. Masih ada kekawatiran ada orang yang membukanya, maka dia mengambil spidol besar dan menulis di sisi doos,
JANGAN DI BUKA, JANGAN DI LIHAT, LEBIH BAIK DIBAKAR!
doos tersimpan di gudang, amankah?? |
bersambung...