Mengikuti perjalanan hidup Hendra, membuat Inda merasa berjalan di gurun. Hamparan luas dengan tujuan yang masih samar. Namun toh dia jalani tanpa henti. Tetap bersiap sedia membantu dikala harus mengirim barang, memesan juga menagih. Tanpa pamrih. Dijalani saja, mengalir...
Semakin dalam mengenal Hendra, semakin paham bahwa perbedaan mereka sangat besar. Hendra yang selama ini tidak berhenti mengirim gambar, tetap membuat Inda tidak paham maksud dan perasaan hatinya.
Hendra dengan tanggung jawab besar untuk keluarganya, semakin sibuk dengan kuliah dan bekerja. Seluruh energi dan pikirannya dia pusatkan untuk bisa membantu ibu menghantar adik-adiknya hingga selesai pendidikan. Salah satunya bahkan sudah mulai kuliah di Universitas Indonesia Jakarta. Tak terbanyangkan betapa sibuknya dia. Sedikit energi tersisa untuk Inda. Menggambar kegiatan sehari-hari dan mengumpulkannya dan mengirimkannya ke Inda.
Menggambar seperti menuang beban hidup. Sungguh bersyukur ada seseorang tempat dia mengirim beban hati dan hidupnya.
Dimasa itu, komunikasi adalah waktu. Menunggu waktu untuk surat, paket dan gambar datang adalah belajar sabar. Telpon sebuah kemewahan yang tidak bisa dinikmati setiap orang. Hari, bulan dan tahun pun berganti dan berlalu.
Inda yang manis dengan senyumnya yang menawan tentu saja menarik beberapa pria teman kuliah atau dari fakultas lain. Ada yang mencoba mendekatinya. Sesekali Inda mau diajak nonton atau sekedar makan di luar. Inda mulai mundur ketika pendekatannya semakin serius. Inda tidak mampu melangkah melampaui batas. Entah siapa yang membuat batas begitu kuat. Inda atau Hendra, atau keduanya. Hubungan mereka datar, tanpa tuntutan, tanpa keluhan. Kalau pun sesekali Hendra bisa datang berkunjung ke Semarang, semata-mata tidak untuk Inda. Waktunya bisa habis untuk teman-teman Hendra maupun geng kecil Three Musketeer. Apalagi anggota geng kecil Wiwik dan Yayuk berasal dari Magelang dan Jogyakarta. Tempat yang sangat dikenal Hendra di masa kecil. Inda mulai terbiasa menjadi bagian terkecil dalam hidup Hendra. Kerendahan hati yang bahkan tidak disadarinya.
Suatu hari Hendra datang dan berkata,
"sekarang ibu sudah pensiun. Beliau membeli 6 angkot yang beroperasi dari Buah Batu ke Dago. Aku harus membantu mengelolanya untuk tambahan biaya adik-adik".
Semakin tak terbayangkan betapa sibuknya dia dengan beban yang semakin berat. Ada 2 adik yang kuliah di UI. Dan masih ada 4 lagi yang semuanya membutuhkan biaya pendidikan.
Terbiasa dengan hubungan yang tidak jelas bersama Hendra membuat Inda lebih menekuni kuliahnya. Yang penting dia ada ketika Hendra membutuhkan. Dia ada ketika lembar-lembar gambaran kehidupan sehari-hari Hendra dikirimkan. Dan dia tetap ada, bahkan selalu ada buat Hendra.
Ketika tiba-tiba ada seseorang datang mengajaknya menikah, itu seperti petir di siang bolong. Mereka berteman sejak SMP, tapi sudah lama tidak bertemu. Tentu saja Inda tidak berani menerimanya. Selama ini hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Peristiwa ini membuat Inda mulai menyadari sesuatu. Hubungan dia dan Hendra bertahun-tahun sudah berlalu tanpa kepastian. Inda sendiri tanpa sadar menutup diri terhadap pria lain yang mendekatinya. Seakan waktu sudah terbuang sia-sia. Sementara usia semakin bertambah. Mulai muncul kesadaran baru, mempertanyakan hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan. Sebetulnya hubungan dia dan Hendra mau dibawa kemana?
Apakah kita hanya akan menghitung bintang tanpa merencanakan masa depan? |
No comments:
Post a Comment