Pages

Friday, July 8, 2011

Naik... Turun...

Pikiran memang tidak bisa dibendung. Melanglang kemana-mana sementara tanganku menyetrika baju-baju. Untung masih cukup waspada, sehingga tangan tidak kena setrika. Kala tanganku bergeser kekiri dan kekanan, pikiranku melayang ke pemandangan puncak G. Gede yang aku lihat di milis Loyola’77. Dan laporan detail pengalaman mendaki dan turun yang begitu mengesankan dan membuatku ingin suatu kali bisa merasakannya. Walaupun sedikit pesimis mengingat usia dan selama ini tidak punya kegiatan olah raga yang memampukan badan untuk bertahan sampai puncak.

Naik
Kegairahan untuk menghadapi tantangan hidup, itulah yang aku rasakan ketika aku memiliki suatu tujuan yang ingin aku capai. Mungkin hal yang sama dirasakan teman-teman ketika mempersiapkan mendaki dan mencapai puncak  G. Gede. Sebagai ibu, keinginan besarku adalah menghantar anak-anak sampai bisa hidup mandiri. Berbagai rintangan, tekanan, cobaan dan persoalan yang muncul, justru menjadi tantangan untuk bisa diatasi dan diselesaikan. Seperti cerita temanku Tiong Sien, yang bersyukur dengan adanya akar-akar pohon yang membantu dia naik setapak demi setapak. Dalam kehidupanku aku merasakan hal sama. Begitu banyak tangan-tangan yang membantuku dan memudahkan langkahku untuk merangkak naik… pelan… menghantar anak-anak.
Ada saat juga harus berhenti dan beristirahat. Menghimpun tenaga dan semangat untuk melangkah lagi. Keinginan, harapan dan cintaku kepada anak-anak memberikan energi yang luar biasa untuk membawanya sampai ke tujuan. Hingga akhirnya, mereka harus melanjutkan hidup mereka sendiri. Dengan puncak cita-cita yang mereka canangkan untuk masa depan mereka sendiri.

Puncak kehidupan
 Walupun belum pernah naik ke puncak gunung. Rasanya aku pernah sampai ke puncak kehidupan. Dengan berbagai perjuangan dan keinginan yang kuat aku  pernah mengalami sampai di puncak kehidupan. Apa itu? Dan kapan? Ya tentunya ketika aku mencapai sesuatu yang sungguh aku inginkan. Mengapa puncak? Bagiku, ketika aku mencapai suatu tahap dimana aku mampu meraih sesuatu, saat itulah aku berada di puncak. Misalnya, anak lulus, anak mendapat pekerjaan, anak menikah, membeli rumah, membeli mobil, pergi ke luar negeri, naik pangkat, mendapatkan order yang luar biasa, atau apalah… yang membuat kita merasa bahagia, puas, bangga, tersanjung, melayang-layang …. Sayangnya perasaan seperti ini tidaklah lama. Mungkin sama seperti kalau seseorang berada di puncak gunung, pasti juga tidak akan tinggal lama disana.  Ada saatnya harus turun.
Ketika aku mencapai puncak kehidupan, seharusnya saat itu aku melihat pemandangan hidup yang  dikaruniakan kepadaku. Ketika di puncak gunung, jelas sekali alam ciptaanNya pasti luar biasa indah. Sayangnya, sering aku lupa bahwa ketika aku berada dipuncak kehidupan, bukan karena kuasaNya, melainkan aku pikir itu berkat usaha kerasku. Itulah yang membuatku terlena, ketika rasa puas dan bangga merasuki hati. Apalagi menerima sanjungan, kehormatan, puja-puji dan kekaguman yang melenakan. Semuanya membuatku lupa, bahwa ada saatnya turun.  Turun untuk menyadari bahwa aku bukan apa- apa dan juga bukan siapa-siapa tanpaNya.

Turun
Baru sekarang aku tahu, kalau kita turun gunung sebaiknya menggunakan sepatu yang longgar. Setidaknya satu nomor di atas ukuran sebenarnya. Gunanya supaya ketika kaki mendesak ke depan, masih ada ruang yang cukup sehingga tidak sakit. Apalagi beban orang yang turun, katanya sampai 7 kali berat badan kita. Waduuuh… pasti berat sekali..
Seberat ketika aku sadar saatnya turun sudah tiba. Saatnya melepas, meninggalkan berbagai perasaan indah ketika kemarin mencapai puncak cita-citaku, yang kuperjuangkan habis-habisan. Melepaskan perasaan bangga, tersanjung, bahagia, melayang-layang akan berbagai puja dan puji…. Ternyata berat. Ingin berlama-lama dalam perasaan seperti itu. Tapi aku harus turun. Kembali menyadari kepapan yang kumiliki. TanpaNya, semua tidak mungkin bisa kuraih. Sama seperti butuh sepatu yang longgar ketika turun supaya tidak sakit. Ternyata akupun membutuhkan kelonggaran hati untuk menerima ini semua dan kerendahan hati untuk bisa menghayati kuasaNya. Mensyukuri segala sesuatu yang telah dicapai selama ini. Hati yang longgar dan lapang, akan mengurangi beban hidup, rasa sakit yang mendesak… dan membantuku menikmati perjalanan turun dengan kedamaian.


Tidak ada suatupun yang lebih baik bagi jiwa daripada kerendahan hati.
Dalam kerendahan hatilah terletak rahasia kebahagiaan,
Yakni, ketika jiwa mengetahui bahwa dari dirinya sendiri,
Kita hanyalah kepapan dan kehampaan,
Dan bahwa apapun juga harta yang kita miliki
Semua itu adalah anugerah dari Allah.
(BHSF. No 593)

(Thanks untuk cerita pengalaman naik G.Gede yang ditulis Tiong Sien… dan juga BHSF-Bacaan Harian St. Faustina yang selalu dikirim sahabatku Helena Winarti se tiap pagi)

No comments:

Post a Comment