Duduk dilantai, minum kopi sambil ngemil kacang atom, kami ngobrol. Aku dan anakku. Ngrasani bossnya, wanita tengah baya yang taxi minded. Wanita tengah baya, single parent dan anak satu-satunya sudah menikah. Masih productive sebagai direktur di sebuah hotel bintang 5. Dia tidak bisa stir mobil. Diluar jam kerja kalau mau pergi ya pesan taxi. Rasanya dia pasti mampu membeli mobil, Cuma mungkin sudah nggak pede lagi kalau mau belajar stir mobil.
Aku melihat diriku sendiri. Di usia hampir 52 tahun, aku tidak bisa naik sepeda, apalagi sepeda motor. Tapi aku bisa stir mobil, Cuma aku nggak punya mobil. Apa aku jadi sopirnya dia saja ya?? Atau jadi sopir taxi?? Sopir bis, truk… tronton… hahaha… rasanya gemes sekali ketika menyadari ada dalam situasi yang terbalik-balik seperti ini. Bisa beli mobil gak bisa nyopir. Bisa nyopir ga bisa beli mobil. Nggak bisa nyopir tapi bisa kok bayar taxi. Beli mobil?? Siapa bilang nggak bisa?? Aku jadi ingat kata-kata kakakku “apa yang bisa dilihat mata, bisa kok dimiliki kalau kamu usaha...”
Mobil, motor, sepeda, bis, truk dan lain-lain hanyalah kendaraan untuk membawa kita ke suatu tempat, selain kaki kita tentunya. Dahulu pun, orang bisa kemana-mana walaupun belum ada kendaraan secanggih sekarang. Mengarungi samudra, ketika belum ada pesawat terbang. Berjalan kaki ketika belum ada sepeda, motor dan mobil. Ada kuda, onta yang menjadi alternative ketika kaki sudah lelah berjalan. Semuanya sama… membawa ke tujuan.
Suatu hari aku memutuskan untuk naik truk yang mau kembali pulang ke Klaten setelah mengirim barang ke Semarang. Keponakanku memandang dengan kawatir…”are you sure?”.. aku ketawa… ya iyalah.. kenapa tidak?? Dari pada naik bis, mesti turun Kartosura, pindah bis ke Klaten. Nah ini, tinggal duduk aja bisa sampai Klaten. Gak usah pindah-pindah dan sampai tujuan. Gengsi?? Malu?? Apa ruginya sih naik truk…? Kalau orang menterwakan aku, atau mencibir, atau merendahkan, atau meninggalkan aku karena merasa “nggak level” lagi.. apa ruginya buatku?? Mungkin akan lebih berarti kalau yang berkomentar itu menyewakan aku taxi yang menghantarku sampai tujuan dengan selamat. Tapi sudahlah… aku ingin menikmati perjalanan naik truk yang baru pertama kali kurasakan seumur hidup. Bukankah harus disyukuri.
Aku sampai tujuanku dengan selamat. Ternyata asik-asik aja kok naik truk. Semilir.. bahkan aku sempat tidur di perjalanan. Walaupun akhirnya aku tahu, sopirnya ternyata panik ketika tahu aku mau ikut truknya, lalu ban dia kurangi anginnya sedikit biar agak empuk jalannya…. Wah gak nyangka, dia punya pikiran seperti itu.
Perjalanan hidup bisa dicapai dengan kendaraan apa saja. Tidak ada seorangpun yang bisa meng klaim, yang naik pesawat jet super mewah, akan lebih baik hidupnya dari pada yang berjalan kaki, naik kuda, naik onta, naik becak, naik sepeda, motor, mobil, truk dan berbagai kendaraan lain. Tidak ada kendaraan apa pun yang bisa mengangkat kehidupan kita di hadapanNya lebih baik dari yang lain. Yang penting, bagaimana kita membuka mata hati kita selama dalam perjalanan hidup. Melihat bukan yang kasat mata. Belajar dari berbagai peristiwa. Menghargai apapun yang dilakukan orang lain terhadap kita. Melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Kendaraan terindah dan ternyaman sudah Dia sediakan bagi kita, yaitu ajaran-ajaranNya yang akan membawa kita semua kembali pulang ke rumahNya… dengan selamat.
No comments:
Post a Comment