Kemarin, aku menghadiri pesta perak adik ipar di Semarang. Dalam misa yang menjadi ungkapan berbagai rasa syukur, Romo menyampaikan khotbah yang sangat menarik. Walaupun dia masih sangat muda, baru 7 tahun menjadi Romo, namun isi khotbahnya begitu menyentuh kehidupan keluargaku yang sudah mencapai usia 26 tahun. Mungkin juga menyentuh setiap keluarga yang hadir dalam doa syukur tersebut.
Ular Tangga
Kenapa keluarga di sebut rumah tangga? Kok yang muncul justru gambar mainan ular tangga. Dalam permainan ular tangga, langkah kita ditentukan dari berapa banyak titik yang tertera dalam dua dadu yang kita lempar. Banyak sedikitnya titik, tidak menggambarkan keberuntungan kita melangkah. Bisa jadi kita turun tangga, atau naik tangga. Semuanya proses mendebarkan tapi harus dijalani hingga kita sampai ke tujuan terlebih dahulu dari lawan main kita. Dan yang pertama itulah yang menang. Rumah tangga memang rasanya mirip dengan permainan ular tangga. Walaupun sudah dirancang dengan bagus dan teliti, jalan yang kita tempuh kadang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Bahkan kadang merosot, hingga kita harus mulai lagi ke titik awal. Tujuanlah yang membuat kita tidak henti-hentinya mencoba, dengan kenyakinan pasti akan sampai juga ke tujuan. Menang atau kalah, untungnya tidak ada dalam rumah tangga.
Rumah Tangga
Mengapa disebut Rumah Tangga? Pasti yang dimaksud bukan rumah tetangga khan…?? Rumah kita sendiri. Rumah terdiri dari 3 hal: fondasi, tiang dan atap. Fondasi rumah adalah cinta pasangan suami istri. Awalnya disebut “cinta… Karena…”. Maksudnya? Yah dulu.. waktu kita jatuh cinta, apa sih yang membuat kita jatuh bangun… pingin banget hidup bareng selamanya dengan dia. Cinta karena dia… karena ganteng atau cantik… karena janjinya yang gila banget bikin kita melayang… karena dia kaya, pasti enak deh hidup kita… karena dia pandai.. pasti membanggakan deh punya pasangan yang pinter seperti dia… dan berbagai alasan lain.. yang mungkin bisa juga konyol seperti… yaaah… karena nggak ada pilihan lain… yaah.. karena dijodohkan…. Yaaahhh… karena sudah terlanjur… uuppss…!!!
Ketika kita akhirnya memutuskan untuk berjanji setia di hadapan Tuhan. Dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, dalam suka dan duka… saat itulah “cinta… karena…” berubah menjadi “cinta… walaupun...” Gila banget tantangannya… tetep cinta.. walaupun ternyata nggak pinter, ternyata pembohong tingkat tinggi, ternyata pemalas, ternyata… ternyata… ternyata…. Banyak banget ternyatanya. Tapiiii… yah harus tetep cinta walaupun… ada yang lebih ok dari pasangan kita. Tetep cinta walaupun masa depan menjadi tidak jelas… berat memang!!.. Bukankah membuat fondasi rumah lebih berat dan lama dari pada memancangkan tiang dan atap?
Nah, tiangnya apa? Tiang adalah komintmen. Komitmen yang harus dijalankan bersama supaya atap bisa dipasang. Kalau komitmen dilanggar terus, ya tiangnya patah terus.. kapan dong atapnya bisa dipasang. Sementara atap adalah gambaran dari utuhnya sebuah rumah. Dimana seisi rumah bisa terlindung dari panas dan hujan… dari berbagai bahaya dll… selama tiang-tiang ini tidak bisa berdiri tegak, dengan menghormati dan menepati komitmen yang dibuat bersama, atap yang menghadirkan kenyamanan, kebahagiaan dan kedamaian tidak akan terwujud.
Ibu di sebelahku, berbisik.. “lha Romo gak ngerasain hidup berumah tangga ya…” hehehe rupanya tergelitik juga dia. Sejujurnya aku berpendapat sama dengan ibu sebelah. Bagus memang khotbahnya, cuma menjalankannya yang berat. Seberat hati kalau melihat tiang-tiang patah terus… seputus asa melihat atap nggak bisa juga kepasang… dan sekuat hati menolak berbagai godaan untuk melirik rumah tetangga….
Pitutur Jawa
Kalau sudah mencapai 25 tahun perkawinan, pastilah fondasi rumah sudah dibangun. Mungkin tiang dan atap masih dalam proses. Patah.. pasang… patah.. pasang… belum lagi kalau kena badai, tsunami, lahar dingin, banjir dan lain-lain. Toh dadu tetap dilempar, hidup terus dijalani. Kadang naik tangga, kadang turun tangga. Kadang maju, kadang mundur…. hingga nantinya sampai juga ke tujuan. Nggak pernah kok main ular tangga tuh kembali awal dan berhenti. Yang ada, mungkin kita menjadi yang pertama, atau kedua, ketiga atau yang terakhir. Tapi semua sampai ke tujuan.
Pitutur atau nasehat Jawa di bawah ini sungguh sederhana, namun memuat kekuatan yang membuat kita bisa terus berjalan.
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan hidup” (lelakon) manusia.Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang wajib berihtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”.
Maka sesungguhnya manusia itu tidak semestinya mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Seandainya mengetahui (kejadian yang akan datang), kurang baik kalau diberitahukan kepada orang lain, karena akan mendatangkan bencana (bilahi).”
No comments:
Post a Comment