Ketika layat bareng mbak iparku, kami ngobrol. Tiba-tiba dia bertanya "lik, rumahmu di Jogja dulu Cemorojajar no berapa?" aku jawab "19 mbak, kenapa?" dia jadi antusias " itu sekarang buat kopitiam lho, kesana yuk, tak traktir wis... kamu bisa mengenang masa kecilmu". Ganti aku yang antusias. Ayuuuuk... seneng banget. Kami jemput anak2 dulu, lalu kami berenam meluncur ke Cemorojajar 19, yang sekarang nama jalannya sudah diganti menjadi Wolter Monginsidi.
Rumah itu masih seperti dulu. Teras di depan dan samping masih ada. Bahkan lantainya masih kuno. Menurut keterangan yang ada di meja, rumah belanda itu dibangun tahun 1923. Renovasi di dalam tidak banyak. Aku masih mengenali kamar depan yang dipakai bapak, ibu dan 2kamar di sebelahnya untuk kami, anak-anaknya. Pasti berdesakan karena kami berdelapan.
Di belakang masih ada beberapa kamar untuk saudara yang ikut kami dan juga ada yang kost disitu. Ingatanku nggak banyak tentang rumah itu. Aku berada disana sejak lahir, hingga klas 1 SD. Ternyata rumah itu lumayan besar, bisa untuk parkir mobil disamping dan depan rumah. Pantas aku dulu belajar naik sepeda cukup di halaman depan rumah saja.
Waktu itu, ibu bilang, kalau aku sudah jatuh berkali-kali baru bisa naik sepeda. Benar saja, akhirnya aku bisa naik sepeda dan hadiahnya, aku diberi uang jajan yang bisa kubelikan kacang rebus, yang dijual ibu-ibu di bawah lampu jalan. Rupanya nasehat ibu keren juga.... learn to fall before you learn to fly.. begitu bahasa sekarang. Sayangnya, setelah pindah ke Semarang, aku tidak bisa berlatih sepeda lagi, karena jalanan di Semarang naik turun tajam, terutama di daerah candi. Sekarang aku tidak trampil lagi naik sepeda.
Aku minta ijin berjalan keliling rumah. Pohon sawo besar, dihalaman belakang sudah tidak ada. Semua halaman bahkan sudah disemen, jadi kelihatan gersang sekali. Tapi letak dapur, kamar mandi di belakang masih sama. Jadi ingat waktu kecil suka prosotan di depan kamar mandi kalau pas dibersihan dan diberi air yang banyak. Betapa sederhananya sebuah kegembiraan diraih waktu itu.
Aku bercerita ke anak-anak, TV adalah barang mewah. Kami belum mampu membelinya. Kalau pingin lihat TV, kami mesti berjalan kaki ke Hotel Mairakaca di dekat situ, bareng dengan orang-orang kampung. Hasilnya, rambut kami penuh kutu, dan ibu marah-marah. Anak-anakku heran, masak sih waktu itu bisa berkutu rambutnya. Ya tentu saja waktu itu belum ada shampoo, kami kalau keramas pakai merang (batang padi) yang dibakar.
Beranda samping yang temboknya sudah diganti dengan pagar besi yang indah, mengingatkanku pada peristiwa yang membuatku aku takut ulat hingga sekarang. Waktu itu, ketika aku duduk sendirian disitu, jariku menyentuh tembok beranda. Aku merasakan sesuatu yang kenyal, dan ketika aku lihat ternyata ulat bulu.. hhhiiiiiii... aku bahkan masih bisa merasakan hingga sekarang kalau mengingat peristiwa itu. Itu sebabnya, aku takut ulat hingga sekarang.
Kenangan lain adalah tiap kali ada pedati lewat yang membawa panen kacang tanah. Aku bertiga dengan kakakku dan temannya, langsung diam-diam lompat di belakang, nyuri kacang, langsung dimakan mentah... kalau pak pedatinya tahu kami langsung lompat dan kembali lari ke rumah. Menyenangkan sekali....
Menyenangkan sekali bisa kembali ke masa lalu, masa kecil yang indah dan hangat. Anak-anak bisa mengerti dan memahami bagaimana kehidupanku dulu secara nyata. Rasanya suatu saat kalau kakak-kakakku berkumpul di Jogja pasti akan aku ajak kesana. Pasti mereka memiliki kenangan yang lebih banyak dariku.
wah saiki seneng nulis blog yo!
ReplyDeleteIya... biar tulisannya ngumpul... gak kececer kemana-mana. Nuwun yo... menyempatkan baca...
ReplyDelete