Pages

Saturday, February 2, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 9 - Kelegaan


Air mata Inda tumpah tak terbendung lagi, ketika melihat ibu duduk di ruang keluarga. Tangisnya meledak histeris tak tertahankan. Semua berhamburan menjadi air mata, jeritan dan rintihan kepedihan yang menyakitkan. Ibu memeluknya erat dengan penuh kasih dan pengertian.
"lepaskan... lepaskan... lepaskan semua In. Ibu sudah siap mendengar semuanya" bisik ibu ditelinganya. Hanya samar terdengar. Antara sadar dan tidak Inda juga tidak paham kenapa airmatanya tidak bisa berhenti mengalir.
Gelombang penyesalan membayangkan semua gambar Hendra menjadi debu, memporakporandakan pertahanan harga dirinya. Menghancurkan keangkuhannya untuk tidak menghargai karya Hendra dengan baik. Disaat yang sama Hendra baru saja menegaskan hubungan mereka. Sementara kekawatiran akan restu orangtua juga menghantui pikirannya.
Campur aduk, kacau balau, seakan masuk dalam pusar lingkaran tak berujung. Separuh jiwanya menjadi debu, dan habislah sudah.

Ibu masih memeluknya ketika dia masih dengan sesenggukan mengeluarkan isi hati dan pikiran setelah beberapa lama tangisnya mereda. Ibu memeluknya semakin erat,
"sudahlah, Hendra sudah menyampaikan semua ke bapak ibu. Selama kamu di Jakarta, Hendra tetap sering berkunjung. Kami merestui hubungan kalian. Kalau Hendra bisa mencintai kami, pasti dia juga mencintaimu" Inda diam. Lama tak bisa berkata-kata sehingga ibu melanjutkan lagi.
"Perbedaan kalian sudah disatukan dalam cinta yang diajarkan setiap agama. Bagaimana kalian berdua menjalaninya, itu terserah kalian" ploooong... kelegaan yang luar biasa merasuki hatinya. Semakin erat Inda memeluk ibunya yang bijaksana.

Hendra tidak hanya melakukan pendekatan ke orangtua Inda. Tapi dia juga menyampaikan maksud untuk melamar Inda kepada ibunya. Mereka sudah sering bertemu, tapi yang utama Hendra sudah menyampaikan semua isi hatinya kepada ibu dan ibu merestui. Jalan lapang ada di depan mereka. Tidak ada lagi penghalang, tidak ada lagi keragu-raguan dan ketidak pastian.


Sudah saatnya Inda dan Hendra dipersatukan dalam ikatan perkawinan. Bersatu dan tak terpisahkan. Inda menghargai Hendra sebagai kepala dan imam keluarga. Perbedaan disatukan dengan cinta. Dimana ada saling menghormati dan menghargai. Saling memahami dan mendukung.
Sudah terbiasa hidup terpisah, Inda kembali bekerja di Jakarta dan Hendra tetap di Bandung.
Dua tahun awal perkawinan hidup terpisah bukan masalah bagi mereka. Bukankah sudah terbiasa selama 10 th.

Setelah lulus dan menikah Hendra melepaskan semua usaha yang selama ini dikelola. Lampu dan mebel peninggalan bapaknya juga 6 angkot jurusan Buah Batu - Dago. Walaupun dengan kegiatan seabreg yang menyita seluruh energinya, ternyata Hendra juga berprestasi di fakultasnya. Setelah lulus dia diangkat menjadi dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Semua sekarang terpusat pada kariernya sebagai dosen, pelukis, pematung dari keramik dan ornamen yang sering menghiasi beberapa kantor bahkan bandara.
Bersama teman-temannya usaha yang bisa menghasilkan uang dikelola secara bisnis. Tapi jiwa senimannya tetap menghasilkan karya seni murni, yang nantinya diakui di dalam maupun di luar negeri.

Saling bertekun dalam karier, mereka berhasil membeli rumah di Bandung. Keluarga kecil nantinya akan diawali disana.
Ketika ada peluang untuk mutasi kerja di Bandung, Inda segera mendaftar. Beruntung sekali dia mendapatkan kesempatan untuk pindah ke Bandung.
Tapi bukannya menempati rumah sendiri seperti yang Inda bayangkan, tapi dia justru harus tinggal bersama mertua dan adik-adik iparnya. Sebuah pembelajaran hidup tanpa henti. Memahami Hendra seorang bukan hal yang mudah. Kini Inda harus tinggal bersama ibu mertua dan adik-adik iparnya.
Bersatu dengan Hendra berarti ikut menjadi tulang punggung keluarganya.


Kelegaan,
hanya seperti setetes air yang jatuh
meriakkan gelombang kecil
kemudian hilang...

Inda melanjutkan pembelajaran hidup.

No comments:

Post a Comment