Pages

Monday, February 4, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 11 - Belajar Ikhlas

Inda juga manusia. Hatinya bukan terbuat dari batu. Kadang pertanyaannya berisi ketidaktahuan, kadang bernada protes yang selama ini diendapnya.

Ikhlas adalah memberi dan melupakan
"Hen, aku ini mesti bersikap bagaimana di rumah ini. Hidup bersama ibu, adik-adik bahkan juga adik iparmu. Sementara aku juga harus bekerja dari pagi sampai malam" tanya Inda suatu hari.
"Bersikap biasa aja. Nggak ada aturan yang ketat kok" jawab Hendra santai.
"Masa? terus kalau ibu mengeluh ini itu, masak aku diam saja. Kalau aku turuti semuanya, aku jadi nggak bisa apa-apa. Jujur saja aku jadi mikir, setiap bulan aku tidak punya sisa gaji buat diriku sendiri. Sementara aku melihat ibu membeli baju baru, membeli perabotan baru. Dan aku juga melihat adikmu pergi kemana-mana sesuka hati, sementara aku selalu yang mengisi bensin".. tiba-tiba semua meluncur keluar dari bibir Inda, dengan nada jengkel dan protes.
"wow... wow... ini rupanya yang membuatmu gelisah sejak aku pulang" tatap Hendra dengan sabar.
"pikiranmu banyak dipenuhi hal-hal yang sebetulnya tidak perlu kamu pikirkan. Pekerjaanmu sudah menyita waktu dan energi. Sebaiknya mulai sekarang harus merubah cara berpikirmu" kata Hendra sambil mengecup keningnya.
"Maksudmu?" tanya Inda mulai luluh.
"Keluarga seperti inilah tempat aku tumbuh dan dibesarkan. Kami memang berantakan. Suka-suka sendiri. Kalau tidak di tegur ya tidak paham. Ibu membeli baju dan perabotan bisa jadi dari uang pensiunnya atau pemberian adik-adikku yang sudah bekerja. Jadi sebaiknya, mulai sekarang kamu mulai memberi sesuai kemampuan dan keinginanmu saja. Jangan semua kamu selesaikan persoalan di rumah ini, tapi kemudian kamu mengeluh" kata Hendra sambil menatapnya lekat.
"Keikhlasanmu lebih memberi berkah dibandingkan jumlah yang kamu berikan" lanjutnya.

Inda malu tapi paham. Selama ini dia berkutat dalam pikirannya sendiri. Menyampaikan isi hatinya ke Hendra membuatnya nyaman. Inda jadi lebih bisa mengatur hidupnya. Memberi sesuai kemampuan. Ikhlas dan lupakan.

Percakapan singkat ini menjadi bekal berharga bagi Inda  ketika Hendra harus kembali lagi ke Jepang. Kali ini lebih lama lagi. Dengan sponsor dari Japan Foundation, Hendra belajar keramik di Kyoto Sheika University dan Shigaraki dengan Prof. Chitaru Kawasaki selama 2 th. Inda harus bersiap untuk lebih lama lagi tinggal bersama keluarga besar Hendra, sendirian.

Hendra menguatkan Inda dengan cara yang luar biasa. Selama tinggal di Jepang, tak sehari pun Hendra melewatkan satu hari tanpa menelpon Inda juga ibunya. Ibu adalah pemain tunggal dalam kehidupan ana-anaknya. Kondisi kesehatan menjadikannya pusat perhatian seluruh keluarga.
Kalau Hendra tidak sedang bepergian, dia akan mengajak ibu jalan-jalan, makan di luar sambil menjemput Inda pulang kantor, setiap hari. Ibu ada dalam bayang-bayang hubungan mereka. Inda belajar menerima kondisi ini dengan ikhlas. Walaupun ada rasa cemburu. Pantaskah cemburu dengan ibunya sendiri?

Ibu Inda pun mendapat perhatian dengan porsi yang sama. Hendra tahu apa kesukaan ibu. Karena ibu suka menjahit, oleh-oleh dari Jepang berupa peralatan menjahit. Kadang membelikan kain. Semua tidak terduga. Inda baru tahu ketika ibunya berkata,
"ibu bisa merasakan cinta Hendra ke ibu" katanya suatu hari.

Inda sering merenung sendirian, di saat Hendra tidak ada. Begitu mudahnya orang lain merasa dicintai Hendra. Kenapa aku tidak? Inda selalu merasa menjadi no sekian dalam kehidupan Hendra. Yang utama adalah ibu Hendra, bapak ibunya sendiri. Lalu keluarga besarnya, kariernya, karya keramiknya. Dimana aku? Atau mungkin harapannya ke Hendra terlalu tinggi sehingga kenyataan yang ada membuatnya kecewa. Inda semakin menarik diri.

Awalnya berat, karena pekerjaan Inda di bank membuatnya berpikir seperti neraca. Rugi laba yang tercatat dengan jelas. Dalam relasi kehidupan semuanya menjadi kabur. Bisa gila kalau setiap hari harus berada di dunia yang bertolak belakang. Perhitungan yang ketat di kantor dan keikhlasan di rumah. Inda mulai memikirkan diri sendiri. Membeli keperluan pribadi yang sewajarnya. Membagi semampunya untuk keluarga dan menyisakan gaji untuk ditabung. Namun Inda tetap butuh keseimbangan hidup. Kalau tidak, membayangkan 2 tahun ditinggal Hendra ke Jepang sudah membuatnya tak berdaya.


Keseimbangan hidup yang bagaimanakah?

No comments:

Post a Comment