Pages

Wednesday, February 6, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 12 - Mengolah Budi

Inda tidak ingin berhenti dan menyerah. Dia mengayuh roda perkawinannya dengan penuh semangat. Memusatkan pikirannya pada pekerjaan. Menikmati hidup bersama keluarga besar Hendra dengan pikiran positif. Menghargai segala hal yang sudah tersedia di meja makan, tanpa dia harus menyiapkan, sehingga bisa langsung berangkat ke kantor.
Hendra menyapanya setiap hari lewat telpon. Inda mulai bisa menerima setiap kali bergantian menerima telpon dengan ibunya. Dia lebih memilih untuk bekerja dan mulai memikirkan diri sendiri. Terasa berat ketika harus melewati hari Sabtu dan Minggu.
Maka Inda memutuskan untuk refreshing ke rumah kakaknya di Jakarta. Setiap Jumat pagi Inda berpamitan untuk pergi ke Jakarta. Jumat itu juga pulang kantor Inda langsung naik travel ke Jakarta. Baru Minggu sore dia kembali ke Bandung karena Senin harus bekerja.

Kariernya di bank mulai merangkak naik. Semakin giat bekerja sebagai pengalih rasa sepi dan rindu, justru memberi dampak positif dalam pekerjaannya. Semakin banyak persoalan yang bisa dia atasi dengan baik. Kebiasaan menerima telpon di kantor dengan nada tanya "ada apa?" sering dikritik Hendra. Karena Hendra kalau menelpon sekedar menyapa dan ingin tahu kabarnya. Bahkan ketika sedang tidak pergi keluar kota atau ke luar negeri, Hendra selalu menelpon pada jam Inda pulang kantor.
"apa kabar hari ini? nanti mau pulang jam berapa? pingin makan malam di mana?" selalu pertanyaan yang menunjukkan perhatian, bukan persoalan.

Telpon yang diterima dari Jepang setelah kepergian Hendra hampir 6 bulan membuat Inda bertanya "ada apa?" karena yang terdengar di ujung sana adalah suara temannya.
"Hendra sakit!" jawabnya pendek.
"Sakit gimana?" nada Inda penuh kekawatiran, karena selama ini dia belum pernah menghadapi Hendra sakit.
"nggak bisa bangun, kakinya nggak bisa digerakkan" HAAH.. sekarang Inda benar-benar panik.


Ibu bercerita Hendra pernah sakit seperti itu waktu SMP sampai harus opname. Inda segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke Jepang. Beruntung prestasinya yang bagus di kantor dan masa kerja dia yang sudah 6 th, membuat dia bisa mengambil cuti panjang. Pengajuan cuti 2 bulan disetujui kantor. Berangkatlah Inda ke Kyoto Jepang dengan diiringi doa dan harapan semoga segalanya dapat dilalui dengan baik dan Hendra kembali sehat.
Dengan penanganan dokter dan pendampingan Inda lambat laun Hendra pulih kesehatannya. Dua bulan selalu bersama memberi kesadaran baru bagi Hendra terutama, bahwa dia sangat membutuhkan kehadiran Inda di sampingnya. Namun, tugas memberi kabar ibu di Bandung harus tetap dilaksanakan. Karena sehari saja tanpa kabar akan membuat ibu kawatir.
Ketika Hendra masih sakit, Inda yang setiap hari ke telpon umum untuk mengirim kabar ke rumah. Tapi setelah Hendra sembuh, mereka berdua lah yang menjalankan kewajiban ini bersama.

Kewajiban ini mengganjal hati dan selalu membayangi hubungan  Inda dan Hendra. Karena saat Hendra berada di Bandung, dia akan menjemput ibu, mengajak jalan-jalan, menjemput Inda dan akhirnya makan malam bersama. Inda mencoba memahami situasi ini dengan hati lapang. Sepertinya Hendra sudah terjebak dalam rutinitas yang dia bangun sendiri untuk menjaga ibunya. Sehingga tidak ada keberanian untuk menghentikannya. Takut ibu kecewa dan sakit.

Dengan Hendra belajar di Jepang, mau tidak mau jarak memisahkan Hendra dari Ibunya. Inda menyadari ini dan mencoba hal baru yang akan mendekatkan dia dengan Hendra. Pengalaman 2 bulan selalu bersama membuat mereka menyadari pentingnya menjalin hubungan tanpa ada pihak ke tiga. 4 bulan setelah Inda kembali ke Bandung, mereka berjanji bertemu kembali di Singapore. Sekedar bertemu, melepas rindu dan merekatkan hubungan dengan berjalan-jalan menikmati keindahan negeri orang, walaupun hanya 3 hari sudah cukup bagi mereka. Bulan madu yang tertunda memberi energi untuk menjalani perpisahan ini dengan semangat baru.

Tiga bulan sebelum tugas belajar berakhir, Inda dan Hendra kembali bertemu di Bangkok. Menikmati pantai Pattaya dan kebersamaan mereka yang sangat langka. Betapa mahalnya bergandengan tangan dan berpelukan dengan bebas bahkan dihadapan banyak orang. Di depan keluarga, mereka tidak leluasa melakukannya.

2 tahun meninggalkan Inda. 2 bulan di dampingi di Kyoto Jepang, juga pertemuan di Singapore dan Bangkok membuka mata Hendra. Kekawatiran Hendra meninggalkan Inda sendirian dan membuatnya tinggal bersama keluarganya bukan keputusan yang bijaksana. Bahkan kalau diteruskan bisa menjauhkan hubungan mereka.

Hendra menyadari pentingnya rumah. Tempat mereka menjalin kasih sayang dan bisa mengenal lebih dalam. Rumah yang sudah mereka beli dan terbengkalai lebih dari 2 tahun menjadi tujuan kepulangan Hendra kali ini.



Harapan baru...



No comments:

Post a Comment