Mulai bekerja di ladang baru Jakarta butuh perjuangan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekaligus dalam pekerjaan. Inda menyukai hal-hal baru yang menjadi tantangan. Maka dia bekerja dengan sepenuh hati dan penuh semangat. Menyelesaikan berbagai pesoalan dalam pekerjaan dan juga tetap menjadi pendamping Hendra yang cukup sering ke Jakarta.
Ke dua adiknya sekarang kuliah di UI. Membuat Hendra sering ke Jakarta untuk mengawasi studinya. Maklum sekarang dia menjadi tulang punggung keluarga. Dia harus memastikan pendidikan adik-adiknya berjalan lancar.
Jakarta-Bandung lebih dekat dari pada Bandung-Semarang. Sesekali Inda yang ke Bandung. Semakin sering bertemu, semakin menemukan perbedaan di antara mereka. Yang sudah pasti ada dalam hal perbedaan visual dan kata. Hendra dengan darah seni memvisualkan segala sesuatu melalui gambar, lukisan juga patung. Sementara Inda sehari-hari bergelut dalam angka dan huruf. Dalam ilmu hukum setiap kata bermakna.
Hobbi pun berbeda. Hendra suka sekali nonton film, Inda siap menemani walaupun sering tertidur di sebelahnya. Perbedaan ini walaupun sangat bertolak belakang tapi tidak menyusutkan sedikitpun cinta mereka. Hanya satu hal yang sungguh memberatkan pikiran Inda, yaitu perbedaan agama.
Inda dibesarkan dalam keluarga Kristen, sedangkan Hendra muslim.
Sahabat dalam geng Three Musketeer pernah bertanya,
"kenapa sih diterusin kalau perbedaan itu menjadi beban banget buatmu, In?" tanya mereka.
"lha aku nerusin apa? hubungannya ngga jelas kok. Nggak ada ikatan sama sekali" kata Inda membela diri.
"nah trus kenapa kamu nggak pacaran aja sama orang lain yang se iman?" tanya mereka serempak..
"lhah kalian yang selalu nutupi cowok-cowok itu deketin aku... hayoooo" Inda menyerang balik.
"soalnya Hendra baiiiiiiiiikkk bangeeeeettt!!!" teriak mereka sambil memeluk Inda erat-erat.
Pergumulan batin Inda semakin berat sejalannya waktu membuat mereka makin dekat. Seandainya Hendra serius apakah orangtua mereka setuju? bagaimana kalau tidak?
Perasaan galau semakin menyesakkan dari hari ke hari, bulan demi bulan hingga tiba saatnya Hendra berhasil menyelesaikan kuliahnya.
Ada perasaan kehadirannya dalam hidup Hendra akan segera berakhir. Hendra sudah lulus. Setidaknya satu beban kuliah sudah terlampau. Sedikit mengurangi beban hidupnya. Mungkin ini saatnya Inda harus melepas Hendra. Merelakannya mendapatkan pendamping lain yang seiman.
Kali ini beban batinnya harus di sampaikan ke Hendra.
"Hen, aku mau ngomong nih" kata Inda dengan lembut, suatu hari di Jakarta ketika Hendra berkunjung. Hendra sedikit terpana karena tidak biasanya Inda mengajak bicara serius setelah mengenalnya hampir 10 th.
"Ngomongin apa?" tanya Hendra kawatir.
"Kamu kan udah lulus. Bebanmu sekarang sudah mulai berkurang. Kamu kan tahu kita ini berbeda, apa nggak sebaiknya kita pisah aja. Aku yakin kamu bakalan bisa bertemu wanita yang seiman, yang cocok untuk pendamping nantinya" akhirnya kalimat meluncur lancar dari bibir Inda.
"hah... enggak mau. Pokoknya aku nggak mau melepasmu. Aku mau menerimamu apa adanya dengan perbedaan ini. Pokoknya nggak mau!" suaranya Hendra terdengar panik.
"aku janji nggak akan nikah deh. Yang penting kita pisah aja, demi kebaikan kedua belah pihak" kata Inda membujuk. Karena Inda memang merasa jalan satu-satunya adalah berpisah, dari pada mereka dipisahkan oleh keluarga karena tidak setuju dengan perbedaan mereka. Kalau mereka yang memutuskan pisah berarti akan dilakukan dengan tulus ikhlas.
"enggak mau. Aku nggak mau kamu sendirian" sahut Hendra dengan tatapan nelongso.
"aku nggak papa sendirian. Udah niat nggak pingin nikah" tekad Inda sudah bulat.
"enggak mau. Kamu nanti susah sendirian" Hendra juga makin keras tekadnya mempertahankan Inda.
"kamu yang nggak mau susah sendirian, ya khan??" jawab Inda sambil tertawa mencairkan suasana.
Bagaimana ini? ketika sudah rela mau melepas, malah nggak mau dilepas. Bagaimana pun jawaban Hendra cukup membuat Inda tahu bahwa dia serius menjalin hubungannya selama ini. Bagaimana menyampaikan ini semua ke orangtua? apakah mereka merestui?
Ketika suatu hari kembali ke Semarang, Inda teringat lembaran gambar dari Hendra yang sebelum berangkat ke Jakarta dia simpan dalam doos. Tiba-tiba dia ingin melihatnya lagi, mengenang tahun-tahun yang sudah lewat.
Ketika Inda tidak menemukannya di gudang, bertanyalah dia ke adiknya,
"doosku yang aku simpan di sini dimana? kamu tahu?"
"yang di lakban itu ya? ada tulisannya jangan dibaca, jangan dilihat, lebih baik di bakar itu?"
"iya, iya, bener... mana?" tanyanya nggak sabar.
"udah tak bakar!" jawabnya polos. HHAAAHH..... leeeeemaaaaaasss...
pertanda apa ini? |
No comments:
Post a Comment