Hendra ini seperti punya kepekaan indra ke enam, pikir Inda. Jelas-jelas sudah punya rumah sendiri, malah ngajak tinggal serumah dengan ibu dan adik-adiknya. Mereka ber delapan dalam satu rumah. Ada Hendra di dekatnya yang mendampingi untuk mengenal keluarganya lebih dekat
Pagi itu Inda gelisah menunggu giliran ke kamar mandi yang hanya satu-satunya di rumah itu. Berkali-kali melirik jam. Gawat, bisa terlambat dia ke kantor. Ketika akhirnya gilirannya tiba dan keluar kamar mandi, ibu Hendra menyapanya dengan ramah,
"sudah sana bersiaplah, bibi sudah menyiapkan sarapan kalian" Inda kikuk, dan hanya mampu berucap.
"terima kasih ibu" dan segera lari ke kamar untuk bersiap diri. Pagi-pagi bibi sudah belanja atas instruksi ibu. Menu andalan yang gampang disajikan untuk seluruh anggota keluarga adalah tahu penyet sambal kecap dan telur dadar.
Sejak hari itu, Inda bangun pagi untuk bisa mendapat antrian lebih awal di kamar mandi. Tidak perlu terburu dan bisa menikmati sarapan yang disediakan bibi dengan tenang. Inda tidak pernah memasak atau menyediakan minuman untuk Hendra. Rasanya seperti masa kuliah dulu. Tidak pernah memikirkan urusan rumah tangga. Inda berangkat ke kantor pagi dan pulang sudah malam. Hendra pun menghabiskan waktu seharian di kampus. Mengajar di jurusan keramik, mengerjakan proyek bersama teman-temannya, dan masih punya waktu untuk menciptakan karya seni murni miliknya.
Baru dua bulan tinggal bersama, Hendra harus berangkat ke Tajimi-Nagoya Jepang untuk mengikuti program Japan International Cooperation Agency (JICA) selama 6 bulan. Sebuah program yang menyediakan training khusus untuk negara berkembang dalam hal kesehatan, industri dan pertanian. Hendra masuk bagian industri pembuatan keramik.
Sendiri lagi, batin Inda.
"aku percaya kamu bisa melewati masa ini, In. Itu sebabnya aku mengajakmu tinggal disini bersama ibu dan adik-adik supaya kamu nggak sendirian" kata Hendra sambil memeluknya erat.
"iya, kita sudah berlatih 12 tahun kalau nggak salah, bertemu dan berpisah" sahut Inda santai. Baiklah, mari kita jalani bersama.
Ibu Hendra sangat baik dan menyayangi Inda. Tidak ada yang berubah selama Hendra pergi. Sarapan tetap tersedia. Dan dihari Minggu bisa mengobrol. Ibu yang menderita ashma banyak memiliki waktu untuk dinikmati. Kesehatannya harus dijaga. Tidak boleh terlalu lelah dan hatinya dijaga supaya tidak kecewa. Seluruh anggota keluarga memanjakannya. Ibu juga suka bercerita,
"Inda jangan kaget dengan keluarga barumu ini. Kalau ibu lihat, Inda orang yang tertib dengan keseharian yang tertata rapi. Kami biasa hidup tanpa aturan yang jelas. Hanya ibu yang dulu bekerja seperti kamu. Pagi berangkat, sore pulang. Kalau bapak dengan usaha lampu dan mebel waktunya tidak tentu. Bebas. Sepertinya anak-anak banyak yang mengikuti bapaknya. Ada jiwa seni mengalir di darah mereka. Bebas berekspresi. Kadang ya jadi suka aneh sikapnya" cerita ibu sambil tertawa mengingat sesuatu.
"maksud ibu?" tanya Inda ikutan tertawa walaupun belum tahu apa.
"nah bapak almarhum itu, pernah lho mau antar ibu ke pasar naik motor. Belum lagi ibu naik ke boncengan dia sudah tancap gas.. hahaha.. baru sadar setelah sampai di pasar, ibu nggak ada" Mereka tertawa bersama.
"entah apa yang ada di pikirannya, sampai nggak tahu apa yang ada di sekitar." lanjut ibu sambil tertawa.
Selama Hendra pergi, Inda semakin mengenal keluarganya. Benar kata ibu. Suatu malam, masih ada kesempatan ngobrol dengan ibu di teras rumah, tiba-tiba adiknya datang.
"dari mana saja kamu, Den?" tanya ibu
"habis nonton film di bioskop" jawabnya
"kok tumben jalan kaki, nggak naik motor?" tanya ibu sedikit heran.
"astagaaaa!!, motorku ketinggalan di bioskop!" Hahahaha pecahlah tawa mereka... aneh tapi nyata dan benar-benar terjadi. Rasanya Inda harus bersiap diri. Bisa jadi suatu hari keberadaannya bisa terlupakan.
Inda mulai terbiasa hidup bersama keluarga besar Hendra. Ikut berbagi untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Kadang lupa memikirkan diri sendiri. Lupa kapan terakhir dia membeli baju, sepatu dan tas yang diperlukan untuk bekerja. Suatu saat ingin dia sampaikan ke Hendra, seberapa besar yang seyogyanya dia berbagi, supaya dia juga bisa menikmati jerih payahnya untuk diri sendiri.
Walaupun sudah terbiasa berpisah, kali ini Inda sering merasa kesepian. Merindukan Hendra. Ingin berbagi kegalauan hati sambil bertanya-tanya, kapan mereka disatukan seperti layaknya kehidupan berkeluarga?
Hendra pulang dengan membawa aneka assesories unik. Bukan emas berlian tentunya. Tapi oleh-oleh yang sudah cukup membuatnya diperhatikan dan selalu diingat. Hendra juga tidak melupakan adik-adik dan iparnya. Terutama ibu.
Keluarga besarnya sangat antusias menyambut kehadirannya. Hiruk pikuk membongkar oleh-oleh. Hendra bukan sosok yang suka memamerkan kemesraan. Hanya dengan bertatapan Inda tahu mereka saling merindukan. Dan di saat yang sama Inda menyadari sesuatu. Betapa banyak pembelajaran yang dia dapat dalam hidup bersama keluarga besarnya kali ini. Belajar dengan ikhlas menerima bahwa ternyata Hendra bukan miliknya sepenuhnya.
Hendra milik keluarga besarnya, miliknya fakultasnya, milik jiwa seninya, milik teman bisnisnya, milik lingkungannya, bahkan sepertinya milik semua orang. Sedangkan Inda 100% hanya milik Hendra.
menghancur leburkan kepentingan diri sendiri |
Lanjut belajar ilmu kehidupan...
No comments:
Post a Comment