Pages

Monday, February 11, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 18 - Perjalanan Pulang

Yeeeyy... ayo jalan-jalan jauh ya nak...
Kamis pagi semua sudah siap untuk perjalanan ke Semarang. Mereka mampir dulu ke rumah ibu Hendra. Sampai disana, Inda dan Sari diminta turun dulu di rumah ibu. Hendra ingin ngajak ibu jalan-jalan dulu keliling Bandung seperti biasa. Inda sama sekali tidak keberatan, karena sejak ada Sari, Hendra tidak bisa mengajak ibu jalan-jalan setiap hari seperti dulu. Jadi dibiarkannya mereka berdua pergi menjalin ikatan ibu dan anak yang sangat penting buat Hendra.
Siang hari mereka berdua baru tiba kembali ke rumah. Rupanya mereka sudah makan siang bersama. Inda menikmati makan siang di rumah yang sudah disediakan bibi. Lama tidak menikmati masakah bibi, yang dulu menjadi menu sehari-hari lebih 2 th tinggal disitu.

Setelah beristirahat, mereka berpamitan. Sudah menjelang sore. Udara lebih segar dibandingkan perjalanan siang hari. Bagus untuk Sari, apalagi sore hari biasanya tidur, jadi akan lebih nyaman dalam perjalanan.
Dalam perjalanan ke Semarang, Hendra mengeluh capek dan ingin beristirahat. Inda mengusulkan untuk menginap atau apalah, yang penting bisa beristirahat.
"aku cuma pingin berhenti sebentar. Cari pohon yang rindang, jadi bisa tidur sebentar di mobil. Nggak usah menginap." kata Hendra. Di daerah Tegal, Hendra menghentikan mobil dan tidur. Inda tidak tidur, karena ada Sari yang juga tertidur nyenyak di belakang.
Inda menatap wajah Hendra yang dalam pandangannya "kok beda", tidak seperti biasanya. Tapi dia segera menepiskan kesan tersebut dari pikirannya.

Tengah malam mereka baru tiba di Semarang. Langsung beristirahat. Tidak ada yang istimewa. Semua berjalan seperti biasa. Pagi ngobrol dengan bapak dan ibu sambil sarapan. Membicarakan tentang rumah sebelah yang akan dijual. Tapi baru obrolan ringan belum mengambil keputusan akan dibeli atau tidak.
Bapak dan ibu juga sibuk dengan cucu cantik mereka Sari. Inda bahkan bisa bersantai karena Sari ada di tangan ibu dan adiknya yang sekarang sudah menjadi dokter di RS. Pantiwiloso dan tinggal serumah dengan bapak ibu.
Siang itu Hendra berpamitan, ingin jumatan di Mesjid Demak. Bapak yang sibuk dengan Sari tidak menyadari kalau Hendra sudah berangkat.
"Hendra mana?" tanya bapak ke Inda.
"Jumatan ke Mesjid Demak pak" jawab Inda santai.
"ah.. tahu gitu bapak ikut menemani" jawab bapak menyesal. Inda mencoba menghubungi Hendra, tapi sudah cukup jauh perjalanan. Kalau kembali ke Semarang takut terlambat ke masjid.

Selesai Jumatan, Hendra menelpon dengan suara yang ceria dan bahagia.
"tahu nggak In, ternyata lonceng yang aku buat dengan tatanan batu bata itu mirip dengan yang ada di Mesjid Kudus". Oya?? lho.. kok sampai Kudus? Tapi Inda senang mendengar suara Hendra ceria, bersemangat.

Siang menjelang sore Hendra tiba kembali di rumah. Tanpa mandi, langsung menggendong Sari. Memeluknya dan mendekapnya kesana kemari, sampai akhirnya Sari tertidur. Setelah menidurkan Sari baru Hendra mengajak Inda, bapak ibu dan adik membongkar oleh-oleh dari Demak dan Kudus.
Ada belimbing dan berbagai rasa jenang kudus yang terkenal. Hendra mengupas belimbing untuk Inda. Juga memotong jenang, minta Inda mencicipi semua rasa yang dibelinya.
Sore yang indah berlalu tanpa terasa. Menjelang malam Inda memutuskan untuk tidur lebih dahulu. Menidurkan Sari membuatnya ikut mengantuk. Tidak ada firasat apa pun, bahwa sore itu adalah sore terakhir kebersamaannya dengan Hendra.

Pagi hari, seperti biasa Inda terbangun dan membangunkan Hendra untuk sholat subuh. Inda terkejut melihat Hendra sudah bangun tapi dengan posisi sujud disamping Sari, dan nafasnya kelihatan sesak.
"kenapa Hen.." tanya Inda kawatir. Hendra tidak menjawab tapi langsung ke kamar mandi yang ada di kamar itu juga. Keluar dari kamar mandi Inda melihat wajah Hendra yang bersinar dan kelihatan tampan sekali. Kaget dan terkesiap dengan pemandangan itu, Inda membimbing Hendra kembali ke tempat tidur. Ketika menyelimutinya, kakinya sedingin es. Inda kawatir dan kaget melihat kondisi Hendra yang melemah tidak berdaya. Langsung dia berteriak hingga membangunkan seisi rumah.

Bapak dulu perawat, ibu bidan, sedangkan adiknya dokter. Semua membuat pertolongan pertama, membantu pernafasan. Sementara adik iparnya mempersiapkan mobil. Tanpa pikir panjang mereka membawanya ke Rumah Sakit Telogorejo yang paling dekat.
Berlari dan berlari, semua dilakukan dengan cepat. Peralatan untuk membantu pernafasan segera dipasang. Tapi Hendra sudah tidak bisa menarik nafas.
Semua lunglai dan kaget. Terduduk diam. Masing-masing dengan perasaannya sendiri. Inda baru menyadari kalau mereka semua pergi tanpa ganti baju tidur bahkan tanpa alas kaki.
Pikirannya cukup waras untuk segera melakukan sesuatu. Hendra harus segera dibawa ke Bandung untuk dimakamkan hari itu juga, sesuai dengan agama Islam.

Semua harus cepat. Keputusan harus segera diambil. Rencana untuk membawa jenazah dengan pesawat di alihkan ke mobil jenazah. Karena prosedur menggunakan pesawat lebih rumit dan tidak bisa dipastikan jam keberangkatannya. Sebagai dokter di RS. Pantiwiloso, adik Inda segera mengusahakan mobil jenazah.
Inda menghubungi kantor cabang Semarang untuk mengabarkan kepergian Hendra. Juga mengabari salah satu teman dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

Sari... Sari.. dimana Sari... ooohhh... ada ibu yang menemani.
Tiba-tiba ada rombongan dari kantor cabang Semarang yang membawakan baju dan sandal. Inda tidak tahu kapan mereka melihat kondisinya. Kapan mereka pergi berbelanja. Tahu-tahu mereka ada.
Semua harus cepat, supaya Hendra tiba di Bandung tidak terlalu sore.
Tidak ada kesempatan untuk menyadari apa yang terjadi. Lunglai tapi harus kuat. Harus tabah, harus waras. Semua harus bisa dihadapi dengan tenang.
Sebelum di sucikan Inda mendekati Hendra yang tertidur nyenyak. Memeluk dan meletakkan kepala di dadanya. Mengecup kening dan kedua pipinya. Tidak bisa menangis. Semua dilakukannya dengan hati dan pikiran kosong.


Banyak uluran tangan datang. Membantu menghantar Hendra pulang...

Bersambung...

No comments:

Post a Comment