Hendra bergulat dalam kegelisahan batin. Menyadari sesuatu yang selama ini diabaikan. Dia mengajarkan ketulusan dan keikhlasan hingga titik pasrah yang total kepada Tuhan dalam diri Inda. Tapi dia sendiri belum sampai ke titik tersebut.
Hendra kembali memutar balik segala hal yang dilakukannya terhadap Inda. Melibatkannya dalam beban hidupnya sejak kuliah hingga menyeretnya bersatu dengannya menjadi tulang punggung keluarga.
Memintanya hidup bersama keluarganya 2 tahun lebih, hanya karena ketidak tegaannya membayangkan Inda sendirian di rumah mercusuar kecil yang sudah dibeli Inda sendiri. Semuanya untuk menentramkan dirinya selama dia pergi. Bagaimana dengan Inda? dia tidak pernah memikirkan perasaannya.
Inda selalu diminta untuk memahami ibu dan adik-adiknya, tapi tidak meminta mereka memahami Inda.
Ketika tinggal bersama keluarganya, Inda pernah bercerita kalau sakit panas dingin sampai tidak bisa berangkat ke kantor. Dan tak seorangpun isi rumah yang mengetahuinya.
"lhah.. kenapa nggak bilang ke ibu kalau sakit, pasti kan dirawat" jadi Inda yang salah.
Inda berusaha datang ke pamerannya di Jakarta sepulang kantor, naik travel sendirian. Dan malam itu juga kembali ke Bandung tanpa Hendra karena masih sibuk menyelesaikan pameran. Ketika Inda mengeluh, kenapa tidak minta adiknya untuk menemaninya. Dia menjawab,
"kalau kamu nggak pingin datang, ya nggak usah datang"
Ya Tuhan, betapa jahatnya. Hendra terpukul mengingat ini semua.
Dia tidak membelanya ketika Inda menjadi bahan cerita lucu, karena suatu ketika dia ketinggalan di rumah sendirian, terkunci. Waktu itu semua sibuk ketika adik Hendra menikah. Hendra menjadi ketua panitia sehingga sibuk dengan berbagai persiapan. Inda waktu itu masih berdandan, ketika semua menganggap rumah sudah kosong dan menguncinya dari luar. Waktu itu belum ada HP, jadi Inda hanya pasrah menunggu keajaiban. Kebetulan teman adiknya kembali ke rumah karena ada yang ketinggalan. Barulah Inda bisa keluar dan ikut menghadiri pesta perkawinan. Saat itu menjadi cerita yang seru dan lucu. Dan Hendra diam saja.
Ketika Inda kesulitan memahami karya-karyanya, Hendra menganggap dia berpikiran terlalu lurus tidak peka dan tidak berperasaan. Haaaah... apa yang aku lakukan. Kejam sekali aku menyebut dia tidak berperasaan. Akulah yang tidak berperasaan!!
Rangkaian kesadaran memberondong hati dan pikiran Hendra.
Inda rela meninggalkan pekerjaanya selama 2 bulan untuk mendampinginya ketika sakit di Jepang. Mengisi waktunya sendiri ketika harus ditinggal ke kampus. Menjalani hari-harinya dengan gembira sebagai ibu rumah tangga. Atau menikmati Kyota yang indah dengan naik sepeda. Semua dilakukannya dengan tulus hati.
Inda mendukung kariernya sepenuh hati dan total. Dengan biaya sendiri dia berangkat ke Denmark untuk menemaninya. Tabungannya terkuras untuk membiayai karya-karyanya. Hendra mengakui dia adalah donatur utama dalam menciptakan karya seni yang luar biasa.
Tamu itu datang tiba-tiba. Mereka berdua kebetulan ada dirumah. Inda mempersilahkannya masuk. Ternyata tamu itu menawarkan berlian. Dengan keahliannya membujuk Inda untuk membeli. Kebiasaan di kantor kalau menerima tamu, pasti ada bumbu basa-basi supaya tidak kaku.
"iya ya, bagus-bagus. Tapi enggak sekarang mbak, lain kali saja" kata Inda. Rupanya kata "iya ya" ini menjadi senjata buat merayunya lagi. Kali ini yang ditatap Hendra.
"bagaimana pak? bapak nggak ingin membelikan ibu?" waktu itu Hendra nampak gelagapan. Inda memahami situasi dan lebih tegas menolak.
Ketika tamu penjual berlian sudah pergi. Hendra marah.
"In, kalau kamu bersikap seperti itu di depan tamu tadi, berarti kamu tidak menghargai suamimu karena tidak mampu membelikanmu berlian" lhoh.. waktu itu terjadi perdebatan cukup keras. Inda menjelaskan bahwa itu semua basa-basi dan penjual berlian selalu menggunakan berbagai cara supaya dagangannya laku.
Hendra sungguh tidak paham. Dia marah dan tersinggung karena tidak bisa membelikan berlian untuk Inda. Harga dirinya sebagai pria dan suami digoyahkan. Tapi kemarahannya ke Inda itu keterlaluan. Marah terhadap diri sendiri yang dilontarkan ke orang lain. Itu jahat Hen... kata suara hatinya semakin keras.
Menelponnya setiap hari, itu bukan cinta. Itu posesif!. Suara hatinya makin keras terdengar, seolah tidak ingin dibungkam lagi. Kamu hanya ingin memilikinya, tapi tidak memberikan kebebasan. Kamu mati-matian belajar tentang cara mendengarkan. Tapi kamu tidak mendengarkan orang yang paling kaucintai selama ini. Kamu bicara soal keikhlasan, tapi lihat! kamu bahkan membelenggunya dengan pemikiranmu sendiri.
CUKUP. Tegas Hendra pada dirinya sendiri. Ya aku mengakui bahwa selama ini sebetulnya aku malu dan minder dengan segala yang ada dalam diri Inda. Kesabaran, kesetiaan, ketulusan, keikhlasan yang sudah dia miliki sejak dulu. Bukan aku yang membuatnya menjadi begitu baik hatinya.
oooh Tuhan.. apa yang sudah aku lakukan?
Rangkaian peristiwa masa lalu yang muncul begitu saja, membuat Hendra lunglai dalam penyesalan. Malam itu dipandanginya dua buah hatinya, Inda dan Sari. Tenggorokannya tercekat, airmata tertelan dalam kepedihan yang sulit diungkapkan. Betapa egoisnya dia selama ini. Dia sudah menghancur leburkan kepentingan pribadi Inda, sementara kepentingannya sendiri dilambungkan menembus jarak bumi.
Ketika Hening Diletakkan |
Cukup sudah loncengnya berdentang
hingga gemanya terdengar kemana-mana.
Sudah saatnya lonceng diturunkan
Biarkan menyatu dengan bumi dimana hening diletakkan.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment