Pages

Tuesday, February 12, 2019

Ketika Hening Diletakkan

Kisah 19 - Menghantar Pulang
Pukul 8 pagi semua siap berangkat ke Bandung. Mobil jenazah paling depan, ada Hendra dan beberapa teman dari Semarang. Inda, Bapak, Ibu dan Sari menggunakan mobil dinas yang kemarin dibawa dari Bandung. Sopirnya dari RS. Pantiwilasa yang sudah biasa mengikuti mobil jenazah yang biasanya dikemudikan dengan kencang. Dibelakangnya menyusul mobil yang berisi adik-adiknya.

Mobil jenazah meraung dan melaju kencang. Tidak pernah berhenti. Mendapat prioritas di lampu merah dan bisa didahulukan di tempat-tempat yang penuh kendaraan. Mobil Inda melaju ketat di belakangnya, supaya bisa ikut menerobos lampu merah dan kerumunan. Tidak peduli lagi, apa yang dirasakan di dalam mobil. Semua pasrah. Diam. Badan melompat-lompat walaupun sudah terikat seat belt.
Sari... sariku sayang. Kasihan sekali kamu nak... Inda merintih dalam hati.
Perjalanan yang sangat cepat tapi terasa lambat buat semua penumpang. Akhirnya pukul 2 siang lebih mereka mulai memasuki Bandung. Apa pun yang terjadi, pasrah. Inda sudah tidak bisa berpikir, hanya berbisik ke ibu,
"Titip Sari bu. Biar dia di rumah saja. Kasihan dua hari ini perjalanan jauh"
"Iya, Sari dengan ibu. Kamu kuat nak... ibu tahu kamu kuat" ibu memeluknya dengan erat.

Pemandangan yang tak terlupakan adalah melihat jajaran krans bunga duka cita yang menyambut dari jalan hingga masuk depan kompleks rumah dinas. Inda seperti robot. Mengikuti protokol apa yang harus dilakukan. Ada yang datang memeluknya, menangis. Ada yang menyalaminya dengan genggaman erat penuh simpati. Dia tidak ingat siapa. Hati dan pikirannya begitu kosong. Semua sudah dipersiapkan. Dari ITB maupun dari kantornya. Belakangan dia tahu kalau mobil polisi yang mengiringi jenazah ke pemakaman adalah bapak dari salah seorang anak buahnya.
ITB menyediakan 2 bis untuk para pelayat yang ingin menghantar hingga ke makam.

Jenazah Hendra di sholatkan di mesjid kemudian baru dibawa ke pemakanan di Cibarunei. Untuk sampai kesana harus melalui jalan tol. Adik Hendra bersiap di gerbang tol untuk membayar semua kendaraan yang akan menghantar hingga makam, dihitung ada sekitar 60 mobil. Luar biasa.
Upacara pemakaman berjalan lancar dan khusuk. Jenazah dimasukkan ke liang lahat dan tanah mulai menutupinya. Bunga bertaburan di atasnya.
Setelah semua selesai, Inda mempersilahkan kalau ada yang ingin menyampaikan sesuatu untuk Hendra. Salah satu teman seniman Hendra, menyampaikan pesan terakhir. Cukup panjang sehingga Inda tidak bisa mengingatnya. Hanya kalimat teakhir yang diingatnya. Bahkan selalu diingatnya, karena kata-kata tersebut sungguh menguatkan hati dan memberikan kesejukan.

 “ saya iri sama kamu Hen. Kamu tidak pernah madon, berjudi, mabok, maling, nipu. Asyiklah hidup kamu. Kamu mencintai Indamu abis banget. Lalu Sari, ratu dimatamu, ratu dihatimu. Berbahagialah Inda dan Sari mu punya suami setia dan ayah sepenuh cinta”

Hampir magrib semua pelayat  mulai meninggalkan makam. Seluruh keluarga masih tinggal untuk beberapa saat. Pandangan semua mengarah ke Inda. Mereka hanya akan meninggalkan makam kalau Inda sudah siap. Ditatapnya gundukan penuh bunga hingga menutupi nisan. Inda berjongkok sebentar. Menyentuh tumpukan bunga,
"selamat malam kekasih, selamat tidur abadi" bisiknya sangat pelan. Tak seorangpun mendengar.

Kembali ke rumah. Lunglai, letih dan lelah. Banyak tamu di rumahnya, datang dan pergi. Inda tidak ingin peduli. Bahkan ingin menjauh sebentar dari Sari. Semua terlalu cepat. Sangat sulit dipahami. Dihempaskannya badan di tempat tidur. Kosong. 
Tiba-tiba menyadari bahwa sejak dari Semarang dia belum mandi, belum makan, tidak tidur sekejapnya di perjalanan dan juga tidak menangis.
Dadanya sesak dan perih, tapi tidak bisa menangis.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment