Pages

Sunday, January 22, 2012

Cacing Laut

Pagi-pagi berjalan-jalan di pantai bersama Zulu. Udara masih sejuk, angin tidak bergitu kuat bertiup. Padahal semalam angin begitu keras, sampai tiba-tiba Zulu naik ke tempat tidur karena ketakutan. Langit jernih, rupanya sudah di sapu angin yang menghalau mendung tebal dua hari ini.

Dua orang nelayan sudah bersiap turun ke laut mencari ikan. Mereka baru menunggu beberapa orang teman yang membantu mendorong kapal mereka ke air.
Kakiku menikmati pasir putih yang basah terkena sapuan ombak setiap kali menghantam tepi pantai. Zulu dengan riang berjalan di sampingku. Kadang dia menjauh kalau ada sesuatu yang menarik baginya untuk dilihat. Zulu sengaja tidak kuikat, supaya bebas bergerak kemana dia ingin pergi. Toh pantai sepi, tidak ada seorangpun.

Tapi, kemudian aku melihat seseorang sedang mengaduk-aduk pasir di tepi laut. Bekas adukannya sudah cukup panjang. Aku mendekat, dan mengamati apa yang dia lakukan. Disebelahnya ada bola plastic yang dibelah dua. Ada sesuatu yang dia ambil dan dia letakkan dalam bola plastic. Semula aku tidak tahu apa itu.
‘pados nopo mas?” cari apa mas?... karena dia masih muda, jadi kupanggil mas.
‘cacing bu… ngge mancing” cacing buat umpan pancing rupanya.
cacing campur pasir
“mbok cobi dicuci mas… ben ketok cacinge”.. aku minta dia mencuci dengan air laut biar kelihatan cacingnya. Karena sepintas dalam bola plastik separo yang kelihatan hanya pasir dan sesuatu yang bergerak-gerak. Dia diam saja tidak menyahut. Karena merasa diacuhkan, aku potret saja apa adanya. Dan pelan-pelan aku ngeloyor pergi melanjutkan perjalanan menyusuri pantai hingga ke ujung.

Aku ingat, 27 tahun lalu, saat pertama kali mengenal Saipan. Bocah kecil itu baru berusia 10 tahun. Dia mengais pasir, mencari cacing dan menjualnya ke kami untuk umpan pancing. Saipan hanyalah bocah nelayan yang menghidupi dirinya sendiri. Orangtuanya sudah bercerai, ibunya menikah lagi. Dia sebetulnya diminta tinggal dengan mbahnya, tapi nggak mau. Akhirnya dia menjalani hidup sendirian. Pantai menjadi lahannya. Tempat Pelelangan Ikan menjadi rumahnya. Saipan kecil, mencuri hati kami. Dan inilah yang membuatku tertarik untuk menggali lagi kehidupan nelayan di Pantai Ngandong. Pantai kecil bagian dari Pantai Sundak.
27 tahun kemudian, pantai ini semakin dikenal. Dan kehidupan nelayan tidak lagi bergantung pada ikan dan cacing. Banyak wisatawan datang di hari libur. Dan ini menjadi penghasilan yang lumayan bagi mereka.

Perjalanan kembali setelah sampai di ujung pantai, aku masih bertemu dengan pria yang mencari cacing. Ketika zulu mendekatinya, barulah dia memberikan respon yang ramah.
“oooo… niki kagungane ibu to?” ini miliknya ibu to… dan aku mengiyakan. Tidak putus asa, aku kembali minta dia mencuci cacingnya supaya bisa kuambil fotonya. Barulah dia menjawab,
“nek dicuci air laut pejah sedaya bu..”…. oooo jadi ternyata cacing itu kalau dicuci air laut malah mati semua, karena dia hidupnya di pasir. Lhah..coba dia bilang dari tadi…
Walaupun aku sudah mengenal banyak nelayan di sini. Masih banyak yang belum mengenalku, terutama yang muda-muda. Mungkin dia heran juga dengan permintaanku untuk mencuci cacing laut. Yaaah… namanya juga nggak tahu mas….
Banyak hal di dunia yang tidak aku ketahui. Dan pasti tidak mungkin aku ketahui semuanya. Semoga dengan tinggal disini 10 hari aku bisa mendapatkan pengetahuan baru. Pasti bukan sesuatu yang baru bagi mereka. Tapi jelas baru buatku.

No comments:

Post a Comment