Pages

Saturday, January 21, 2012

Debur Ombak Tepi Pantai



debur ombak tanpa henti


mendung mulai datang
 Debur ombak menjadi musik tanpa henti. Bergemuruh, memecah menerjang karang di tengah laut. Busanya terus bergulir hingga tepi pantai. Menipis dan hilang, ditarik kembali ke laut lepas. Musik alam yang indah penuh semangat. Deburnya yang keras menyamarkan suara halilintar di kejauhan. Yang terlihat hanya kilatan petir di ujung caklawala. Menghiasi langit yang semakin kelabu menebal.

 
“hujan…hujan…” teriak beberapa orang berlarian. Aku menengadahkan kepala, diantara keasikan jari-jariku merenda. Hujan seperti berjalan dari tengah laut ke tepi pantai. Memberi kesempatan bagi siapapun untuk menyelamatkan barang-barang yang ada di luar. Jemuran, kursi-kursi pantai yang semua dipajang di luar untuk para pengunjung. Dan semua berlarian menyelamatkan diri. Memenuhi rumah Saipan tempat aku berada.
Sebagian pengunjung tidak menyadari ada Zulu yang lalu berdiri ketika melihat banyak orang berdatangan. Sebagian terkejut dan takut. Sebagian lagi datang membelai kepalanya. Zulu tenang-tenang saja, cenderung acuh tak acuh. Sudah biasa kaleee…. Batinnya. Melihat Zulu yang dengan tenang menerima sapaan mereka. Jadilah dia foto model dadakan. Banyak yang minta foto dengannya.

Angin semakin kencang berhembus, berlomba dengan suara ombak. Apalagi ketika hujan turun dengan sangat deras. Bagaikan ditumpahkan dari langit. Berdiri di teras rumah Saipan tidak membuat mereka terbebas dari hujan. Maka mereka semakin masuk berdesak-desakan ke dalam. Genangan air mucul di beberapa tempat. Udara semakin dingin dan lembab.
Cukup lama hujan menyiram pantai Ngandong. Hingga akhirnya reda, dan semua bernapas lega. Kesempatan bagi mereka yang menggunakan sepeda motor segera berkemas pulang. Beberapa mobil masih tinggal. Air dengan cepat menyusut ke dalam pasir, seperti menghapus hujan badai yang baru saja terjadi. Dan debur ombak kembali terdengar…. Indah.

Pantai Ngandong 27 tahun lalu hanyalah semak belukar. Tidak ada rumah satu pun, bahkan kapal nelayan pun belum ada. Hanya pantai dan debur ombaknya yang tidak berubah hingga kini. Semak belukar sudah menjadi taman parkir yang rindang dan bersih. Ditepinya terjajar rapi kapal para nelayan. Di sekitarnya banyak rumah penduduk yang menyediakan makanan, minuman juga kamar mandi. Bahkan sudah ada penginapan sederhana. Di perbukitan di atas pantai didirikan resort. Penginapan yang indah dengan pemandangan laut di atas bukit. Di lengkapi taman dan perabot kayu yang artistic.
tempat pelelangan ikan

Di sebelah taman parkir ada Tempat Pelelangan Ikan. Hasil para nelayan melaut bisa langsung ditampung di tempat pelelangan. Dulu mereka harus membawanya ke pantai Baron.
Tahun demi tahun kehidupun semakin baik. Kebetulan sekali, ketika aku berada disini, aku melihat ada survey dari sebuah Biro Teknik Listrik yang mendata rumah penduduk yang akan diberi aliran listrik. Saat ini, penerangan listrik menggunakan genset yang dinyalakan hanya dari pukul 18.00 sampai dengan 21.00. 

di atas bukit buat nyari sinyal

Walaupun sinyal belum bagus, tapi hampir semua orang memiliki Hp. Untuk mendapatkan sinyal aku harus naik ke bukit. Cukup sehari sekali dan aku bisa menjalin hubungan dengan dunia luar. Selanjutnya, hari-hariku kuisi bersama para nelayan dan keluarganya.




Debur ombak tetap bernyanyi. Hujan tinggal sisanya. Pantai Ngandong kembali pada kehidupannya yang sunyi dan sederhana. Minggu segera berlalu, para pengunjung pun pergi satu persatu. Aku bersama zulu mengisi hari esok. Dalam diam kubiarkan debur ombak menjadi symphony yang abadi.

No comments:

Post a Comment