Pages

Thursday, January 19, 2012

Bapak.. dalam kenangan



Akhirnya aku melihat bapak menangis. Bapak duduk di tempat tidur dalam kamar, setelah melihat jenazah ibu di kamar tamu. Bapak yang tegar, kuat, pelindung bagi seluruh keluarga luruh dalam kesedihan. Separoh jiwanya hilang, mimpi di hari tua bersama ibu sirna, terbangun dalam kenyataan yang tak terduga. Ketika kami, anak-anaknya mendekapnya bersama-sama, semakin membuat hatinya terluka.
Bapak hanya berguman lirih “seharusnya, aku yang pergi lebih dahulu”. Dan di makam, beliau langsung memesan tanah di sebelah ibu untuknya kelak. Kelak?? Kapan??

Ibu tidak mungkin tergantikan. Walaupun aku dan mbakku berusaha semampu kami untuk memberikan yang terbaik, tak mungkin menandingi kehadiran ibu 40 tahun bersamanya. Aku mencoba menyiapkan sarapan pagi, diet khusus untuk diabetesnya. Yang kudapat adalah sarapan pagiku, berupa pesan yang menggores hati “kamu harus siap, karena bapak juga tidak akan lama lagi pergi” duuuuh…
Seminggu setelah ibu meninggal, bapak sudah kembali masuk kantor. Penghiburan dan pengalihan kesedihan yang paling mungkin bapak lakukan, dari pada larut dalam kesedihan. Tapi hati tidak mungkin berbohong. Tercermin dari kesehatan bapak yang semakin turun dari hari kehari-kehari. Kesehatan yang tidak mungkin dipulihkan lagi. Walaupun bapak ingin, walaupun kami semua berusaha keras untuk menjaga kesehatannya. 

Setelah setahun kepergian ibu, semua seperti berjalan normal. Tapi tidak baginya. Apalagi tiga bulan setelah bapak pensiun. Tinggal di rumah tanpa ibu, semakin membuatnya kehilangan semangat hidup. Hingga suatu hari bapak pingsan dan mengalami prakoma. Ternyata gula darahnya mencapai 550. Dalam sehari, entah berapa insuline yang disuntikkan ke dalam tubuhnya untuk mengembalikan kesadarannya. Beberapa hari di rumah sakit, tidak membuat bapak sehat. Ketika pulang, selain diabetes, bapak menderita liver. Dua hal yang bertentangan. Aku kuwalahan memberikan diet yang seimbang. Ketika gula darahnya membaik, livernya memburuk. Demikian sebaliknya.
Hingga, tiga bulan kemudian, bapak pingsan. Aku tahu, kali ini harapanku semakin tipis. Di saat menunggu ambulance datang. Aku tidur di sampingnya, mendekapnya, menghantarnya dalam doa, dan berbisik… “bapak, maafkan semua kesalahanku selama ini”. Dalam kelemahannya dia mengangguk. Dan ketika kakakku datang bersama istrinya, beliau berpesan untuk menggantikan peran bapak dan ibu bagi adik-adiknya dan “nggak usah menangis…” mungkinkah???
Bapak pergi malam itu juga, hanya beberapa jam setelah tiba di rumah sakit.

Selama ini, aku hidup dalam gelembung yang diciptakan bapak. Perlindungan dan pendampingan yang membuat hidupku terasa nyaman dan tenteram, tak tersentuh berbagai persoalan. Karena semua persoalan sudah bapak selesaikan. Kami, terutama aku yang semasa kecil sakit-sakitan, bab hidup dalam karantika bebas virus.
Ketika bapak pergi… gelembungpun pecah. Serta merta kehidupan nyata terbentang luas dalam kehidupanku. Kehidupan yang harus aku jalani walaupun dengan terseok-seok, tanpa tangan kuat dan kukuh yang selama ini menggenggamku. Namun, bapak ternyata tidak pernah meninggalkan aku. Gelembung kasihnya yang besar melindungi hatiku. Hingga tetap kuat bertahan dalam menjalani hidupku. Aku mampu menangkis berbagai persoalan yang melukai hati. Dan aku mampu menjalani hidup ini dengan perlindungan kasihnya yang tetap kukuh dan kuat mendekap hatiku.
Terimakasih bapak, untuk semua yang bapak lakukan untukku. Tahun-tahun sudah berlalu, tapi aku tidak pernah merasa ditinggalkan. Bapak selalu ada dan tetap ada di hatiku selamanya. Semoga Tuhan juga memberikan hidup damai yang kekal bersama ibu, adik dan kakak yang sudah bersatu di surga. Amin.

No comments:

Post a Comment